Semestinya, kalau melihat sambutan dan pernyataan-pernyataan
kaum muslimin menjelang Ramadan, tentu bulan suci itu adalah bulan yang
istimewa. Tapi di manakah letak istimewanya? Apakah hanya pada perubahan jadwal
makan, ramainya tarawih keliling, dan lomba ceramah agama, termasuk
dagelan-dagelan di televisi? Bukankah selain itu semuanya seperti berjalan
sebagaimana biasa?
Simaklah media massa, media cetak, atau elektronik; bacalah
berita-berita. Bukankah isinya tidak banyak berbeda dengan hari-hari sebelum
Ramadan? Anda masih dapat menikmati gosip selebritas, sinetron percintaan, dan
film kekerasan. Anda masih bisa membaca berita, mulai copet yang dikeroyok di
pasar hingga korupsi dengan manuver-manuver politikus. Anda masih bisa
menyaksikan demo-demo dan tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama. Anda
masih melihat tokoh-tokoh memamerkan keahliannya mengulas dan memutarbalikkan
fakta.
Apakah hanya pedagang-pedagang warung yang harus
“menghormati” Ramadan dan mereka yang merusak tatanan justru bisa terus
melenggang “melecehkan” kesucian Ramadan? Atau apakah sebenarnya maksud kita
dengan penghormatan terhadap Ramadan itu?
Bukankah lebih mirip dan cukup jika penghormatan kita
terhadap bulan suci itu berupa berpuasa dan beribadah? Mendekatkan diri kepada
Allah Yang Maha Suci? Konon puasa berasal dari bahasa Sanskerta: upavasa. “Upa”
berarti dekat dan “vasa/wasa” berarti yang maha agung. Upavasa berarti
mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung. Mendekatkan diri kepada Allah dengan
melaksanakan perintah-perintah-Nya adalah yang paling disukai-Nya. Semua
perintah Allah adalah untuk kepentingan hamba-Nya. Untuk kesempurnaannya
sebagai hamba sehingga pantas dekat dengan-Nya.
Para wali, kekasih Allah, memulai pendekatannya kepada Allah
dengan cara itu. Dengan menunjukkan kehambaan mereka yang tulus dan tuntas
kepada Tuan mereka. Allah Yang Maha Agung. Melaksanakan segala perintah Tuan
adalah prioritas utama hamba sejati. Jadi mereka memulai dari niat dan
membersihkan hati.
Puasa adalah salah satu perintah Allah yang istimewa.
Kebanyakan perintah-perintah Allah sangat rentan terhadap godaan pamer. Salat,
misalnya, yang seharusnya sebagaimana ibadah-ibadah yang lain dan dilaksanakan
semata-mata untuk Allah, sering kali pelaksanaannya tak dapat mengelak dari
godaan pamer. Puasa, karena sifatnya, lebih jauh dari godaan itu. Kecuali,
mereka yang memang maniak pamer, hampir sulit dibayangkan orang yang berpuasa
pamer kepada orang lain: menunjukkan puasanya.
Orang yang berpuasa seharusnya adalah orang yang
berkeyakinan kuat bahwa puasanya dapat membuat Tuhannya ridha, atau minimal
yakin ada pahala untuk puasanya. Kalau tidak, alangkah ruginya berpuasa hanya
untuk menahan lapar dan haus.
Semua amal ibadah diganjar minimal 10 kali lipat dan bisa
sampai 700 kali lipat dan seterusnya, kecuali puasa. Puasa merupakan ibadah
yang hanya Allah sendiri yang tahu seberapa besar Ia akan mengganjarnya.
“Kullu
‘amali Ibni Adam lahu illash shiyaam,” kata Allah dalam hadis Qudsi, “fainnahu
lii wa anaa ajzii bihi.” (HR Bukhari Muslim dari Abu Hurairah r.a). “Semua amal
manusia miliknya, kecuali puasa. Puasa adalah milik-Ku; Aku sendiri yang akan
membalasnya.”
KH. Musthofa Bisri
Posting Komentar