Ciri-ciri pertama dari kecerdasan emosi ini sudah tercakup
di dalam konsep sabar menurut Islam. Dalam sebuah hadith yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah ra dikatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "Orang
yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang
yang memiliki jiwanya ketika marah." (HR. Bukhari).
Dengan kata lain, orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan
emosinya. Walaupun Rasulullah tidak secara khusus menyebutkan kata sabar di
dalam hadith ini, tapi para ulama menjelaskan hadith ini dalam konteks
kesabaran. Orang yang mampu mengendalikan emosinya adalah orang yang sabar.
Ketika ia berhadapan dengan situasi yang mendorongnya merespon dengan emosi
negatif, maka dalam situasi semacam itu ia tetap mampu memilih respons emosi
yang positif.
Ini seperti yang digambarkan oleh Abdullah bin Mas'ud ketika ia berkata, "Seakan-akan
aku memandang Rasulullah SAW menceritakan salah seorang nabi, yang dipukuli
oleh kaumnya hingga berdarah, kemudian ia mengusap darah dari wajahnya seraya
berkata, 'Ya Allah ampunilah dosa kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak
mengetahui." (HR. Bukhari) Orang-orang semacam ini adalah orang-orang
yang kuat, orang-orang yang sabar, dan orang-orang yang memiliki kecerdasan
emosi tinggi.
Ciri yang kedua dari kecerdasan emosi adalah ’kemampuan dalam menunda
pemuasan.’ Orang yang cerdas emosinya, memiliki kemampuan untuk menunda
pemuasan dirinya. Sementara orang yang tidak cerdas secara emosi, cenderung
ingin memuaskan dirinya sesegera mungkin.
Orang-orang yang mau menunda pemuasan dirinya, melakukan hal itu karena mereka
ingin mendapatkan kepuasan yang lebih sempurna di masa depan. Dan itu hanya
bisa dilakukan dengan cara menunda pemuasan yang ada saat ini. Oleh karenanya,
orang yang cerdas secara emosi memiliki potensi lebih besar dalam meraih
keberhasilan dalam hidup.
Mari kita ambil permisalan. Seorang anak memutuskan untuk belajar dan menahan
keinginannya nonton TV demi meraih keberhasilan di masa depan. Nonton TV
merupakan kepuasan yang segera. Namun dengan menahan diri, ia hendak meraih
kepuasan yang lebih besar lagi di masa depan.
Seorang pekerja memutuskan untuk hidup hemat dan menabung, walaupun sebenarnya
ia bisa menghabiskan uangnya untuk membeli makanan yang enak-enak atau membeli
berbagai kesenangan lainnya. Itu semua merupakan pemuasan diri yang segera.
Namun ia memutuskan untuk menundanya demi kepuasan yang lebih besar. Ia
menabung dan setelah uangnya banyak ia menginvestasikannya, sehingga ia bisa
meraih penghasilan lebih besar suatu saat nanti.
Sekumpulan anak SD di sebuah sekolah di Amerika pernah dites dengan sekeranjang
permen marshmallow. Mereka boleh langsung mengambil permen yang lezat tersebut,
tapi mereka hanya akan mendapatkan satu buah saja. Adapun yang mau menunggu
sepuluh menit akan mendapatkan dua permen.
Sebagian anak langsung berhamburan ke depan dan mengambil satu permen. Mereka
mencari pemuasan yang segera. Namun ada sebagian anak yang memilih untuk
menunggu sepuluh menit. Mereka menunda pemuasan diri demi kepuasan yang lebih
besar: mendapatkan dua buah permen. Nama-nama anak itu dicatat berikut pilihan
mereka. Perkembangan hidup mereka diamati. Anak-anak yang mampu menunda
pemuasan diri, dengan kata lain anak-anak yang memiliki kecerdasan emosi lebih,
terbukti lebih sukses di sekolah dan di dunia kerja.
Perhatikan baik-baik ciri yang kedua di atas. Bukankah ini juga bagian dari
konsep kesabaran. Kesabaran juga membimbing seseorang untuk menunda pemuasan
diri yang segera demi kepuasan yang lebih besar.
Seorang Muslim diarahkan untuk bersabar dalam menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya. Ketika melakukan itu, ia terhalang dari pemuasan diri
yang segera. Tapi semua itu dilakukan demi mencapai kepuasan yang lebih besar
dan lebih abadi. Ia dilarang memuaskan diri dengan meminum khamr, karena dengan
itu ia akan meraih kepuasan yang lebih sempurna, yaitu kesehatan pikiran dan
jiwa.
Ia dilarang memuaskan lidahnya dengan berkata dusta atau membicarakan orang
lain, karena dengan itu ia akan mendapatkan kepuasan yang lebih besar berupa
kepercayaan dan persahabatan yang tulus. Ia diperintah bersabar mengerjakan
shalat dan puasa, karena dengan itu ia akan mendapat kepuasan yang sangat besar
berupa ketenangan, kebersihan jiwa, kesehatan, dan dimasukkan ke dalam
surga-Nya. Seorang Muslim memang diperintah bersabar dan menunda pemuasan
dirinya, karena agama ini hendak membimbingnya pada kepuasan yang lebih indah
dan lebih sempurna.
Ketika seorang berpuasa di bulan Ramadhan, ia terpaksa bersabar dan menunda
pemuasan yang segera berupa makan di saat perutnya terasa lapar dan minum
tatkala ia merasa haus. Namun, pada akhirnya ia akan mendapatkan kepuasan dan
kegembiraan yang lebih tinggi dan agung. Rasulullah SAW bersabda, ”... Bagi
orang yang berpuasa ada dua kegembiraan (farhatain), yaitu kegembiraan tatkala
ia berbuka dan kegembiraan tatkala ia bertemu dengan Rabb-nya....”
(Muttafaq ’alaihi).
Coba perhatikan bagaimana rasanya ketika kita berbuka puasa setelah seharian
menahan haus dan lapar. Bukankah rasanya nikmat sekali? Bukankah kepuasannya
jadi berlipat ganda? Belum lagi kepuasan jangka panjang lainnya yang akan ia
raih: kesehatan tubuh, dan juga perjumpaan dengan Rabb-nya di surga kelak.
Berdasarkan penjelasan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa puasa di bulan
Ramadhan merupakan suatu sarana penting dalam melatih kesabaran. Melatih
kesabaran secara otomatis juga berarti melatih kecerdasan emosi. Karena orang
yang sabar adalah orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi.
Ketika berpuasa seorang Muslim diarahkan untuk bersabar dan
menahan/mengendalikan emosinya. Ketika berpuasa ia juga dibimbing untuk menunda
pemuasan dirinya. Ini semua juga merupakan ciri-ciri kecerdasan emosi. Melalui
ibadah Ramadhan ini, seharusnya kaum Muslimin bisa membentuk dirinya menjadi
pribadi yang lebih sabar. Seharusnya ia bisa keluar dari bulan Ramadhan sebagai
pribadi yang lebih cerdas secara emosi.
Dengan demikian, melalui bulan Ramadhan seorang Muslim seharusnya mampu
membentuk kepribadiannya menjadi seorang yang siap untuk meraih kesuksesan dan
keberhasilan dalam hidup. Karena Ramadhan mempersiapkan diri kita untuk menjadi
pribadi yang berprestasi dan siap menghadapi tantangan dan kesulitan hidup.
Semua itu akan bisa diraih sekiranya kita menjalaninya dengan pemahaman dan
kesungguhan. Wallahu a’lam bis showab
Ust. Alwi Alatas
Posting Komentar