“Amal yang pertama kali akan
diperhitungkan mengenai diri seorang hamba kelak pada hari Kiamat ialah salat;
Jika salatnya baik, maka baik pulalah seluruh amalnya, dan jika salatnya rusk,
maka rusak pulalah seluruh amalnya.”(HR.
Tirmidzi dan Ibn Majah)
Dari
Hadis ini, agaknya salat merupakan ‘suplemen’ atas keseluruhan ajaran dan
tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau sari pati semua bahan
ajaran dan tujuan keagamaan, sehingga salat oleh Allah Idijadikan barometer
untuk ibadah lainnya. Buktinya, salat dijadikan tolok ukur baik dan tidaknya
bermacam-macam kebajikan dan bentuk kegiatan yang telah ditetapkan oleh
Allah I; jika salatnya baik, maka baik pulalah segala amalnya, dan jika
salatnya rusak, maka rusak pulalah segala amalnya. Di satu sisi salat menuntut
pelakukanya untuk meninggalkan perbuatan keji dan mungkar.
Allah I menjelaskan dalam al-Qur’an, "Sesungguhnya salat itu
mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS
al-Ankabut [29]: 45).
Diberlakukannya
kewajiban salat lima waktu mungkin masih menyisakan pertanyaan, apa
hikmah yang terkandung di dalamnya? Mengapalima waktu harus kerjakan
dengan cara dicicil, tidak sekaligus dalam satu waktu? Pertanyaan itu tentunya
harus dijawab meskipun dengan jawaban yang bersifat rabaan, karena menyangkut
hikmah. Namun, baiklah di sini penulis akan memberikan sedikit gambaran
mengenai mengapa umat Islam diwajibkan salat lima waktu?
Sebelumnya,
kita coba untuk mengingat kembali tujuan dari salat, yang merupakan tindakan intraktif
antara hamba dan Tuhannya, sebagaimana yang digambarkan oleh
Rasulullah bahwa salat sebagai mi‘râjul Mu’minîn. Di satu sisi, sebagai seorang hamba tentunya manusia
dituntut untuk selalu mengingat Allah setiap waktu. Maka di sini
Allah memfasilitasi hamba-Nya untuk menghadap setiap waktu-waktu
yang telah ditentukan. Sebab, dengan melaksanakan salat lima waktu
sehari semalam, seorang hamba akan selalu ingat kepada Tuhannya setiap saat,
sehingga hubungan itu terus terjalin. Jika salat lima waktu hanya
dikerjakan satu kali dengan diropel, tentunya lebih banyak nganggurnya daripada
mengingat Allah, sehingga kontinuitas pengaruh ibadah berupa pertemuan
dengan Allah tidak tercapai.
Asy-Sya’rani
dalam Mîzânul-Kubrâ-nya menyatakan, justru dijadikannya
salat lima waktu secara berulang-ulang setiap hari adalah salah satu
nikmat yang diberikan oleh Allah. Setiap kali seseorang melakukan wudhu,
maka ia akan mengingat dosa-dosa yang telah diperbuatnya hari itu, kemudian
bersimpuh di hadapan Allah untuk memperoleh ampunan-Nya. Di
sisi lain, saat wudhu, secara khusus seseorang dapat memohon ampunan dari-Nya
dari dosa-dosa yang telah diperbuat melalui doa-doa yang diajarkan. Kemudian
dilanjutkan dengan salat secara intens dan berharap ampunan-Nya, maka dosa-dosanya
akan rontok satu persatu setelah mendapat ampunan dari Allah . Mungkin
kenyataan seperti ini kelihatannya konyol, namun orang-orang yang diberi
kemampuan lebih oleh Allah (al-Kasyfu) pasti akan melihat rontoknya dosa-dosa seorang hamba yang
melakukan ibadah. Dan, merupakan nikmat dan rahmat dari Allah agar
manusia tidak selalu menumpuk-menumpuk dosa.
Imam
Bujairami mengakui bahwa ketentuan liwa waktu dalam sehari semalam
sifatnya ta‘abbudiy (peribadatan) yang tidak perlu dicari alasan rasionalitasnya,
karena ini bukan bidang nalar. Namun, menurut sebagian ulama hikmah, di balik
ketentuan lima waktu ini ada kaitannya dengan siklus kehidupan
manusia. Sebab, kelahiran manusia yang diawali oleh kesempurnaan penciptaan
Allah sewaktu di dalam perut ibunya, seperti halnya watu matahari
terbit, yang diawali oleh fajar shadiq (waktu salat Subuh). Masa pertumbuhannya
diibaratkan matahari yang meninggi, dan dewasanya ibarat waktu istiwak (awal waktu salat Zhuhur). Sedangkan ketika berumur
30-50, diibaratkan matahari yang condong ke ufuk barat (akhir waktu salat
Zhuhur). Dilanjutkan masa tuanya yang diibaratkan matahari yang hampir terbenam
(waktu salat Ashar). Matinya ibarat matahari yang terbenam (waktu salat
Maghrib), dan hancurnya tubuh manusia seperti hilangnya mega merah di ufuk
barat (waktu untuk salat Isya’).
Lebih
dari itu, jika dikaji lebih lanjut, justru dengan disyariatkan limawaktu
melalui tahapan yang telah ditentukan, manusia bisa menjalankan aktivitas kerja
dengan efektif, sehingga seseorang bisa mengatur waktu sesuai dengan
aturan menejemen Ilahi, sesuai dengan peredaran matahari. Pada akhinya,
selain memperoleh kebaikan dunia juga dapat meraih kebahagiaan akhirat, dengan
menunaikan ibadah secara sempurna. Apalagi salat adalah aktifitas fisik yang
paling besar yang dapat membangkitkan spirit serta mengembalikan stamina tubuh
yang kurang tenaga. Di saat tubuh lelah akibat bekerja keras, salat berfungsi
sebagai suplemen tubuh. Di samping itu, salat yang diharuskan tepat waktu
mengajarkan manusia untuk hidup dengan budaya on time (tepat waktu). Menyelaraskan diri dengan
gerakan-gerakan planet, perubahan-perubahan musim dari beberapa variasi
geografis, harmonis dengan siklus alam.
Kemudian,
dari sisi jumlah rakaat, kalau kita hitung dalam sehari semalam umat Islam
mengerjakan kewajiban salat sebanyak 17 rakaat. Apakah hikmah di balik 17
rakaat?
Sama
halnya dengan salat lima waktu yang ditentukan waktunya, Imam
Bujairami mengatakan jumlah ini bersifat ta‘abbudiy. Namun
sebagian ulama ada yang menafsirinya dengan mengaitkan angka 17 itu dengan
kehidupan keseharian manusia. Sebab,biasanya dalam sehari semalam manusia
berada dalam keadaan terjaga selama 17 jam; 12 jam di siang hari, 3 jam di
permulaan malam, dan 2 jam di akhir malam. Di saat terjaganya, bisa jadi
manusia melakukan tindakan dosa yang dilarang oleh agama, sehingga Allah memberikan
fasilitas kepada manusia untuk menghapus dosa tersebut dengan diwajibkannya
salat lima waktu yang berjumlah 17 rakaat. Dengan demikian, setiap
satu rakaat dalam salat memiliki fungsi menghapus dosa dalam satu jamnya.
Hal
tersebut selaras dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah :
إنَّ
الْعَبْدَ إذَا قَامَ يُصَلِّي أُتِيَ بِذُنُوبِهِ فَوُضِعَتْ عَلَى رَأْسِهِ أَوْ
عَلَى عَاتِقِهِ فَكُلَّمَا رَكَعَ أَوْ سَجَدَ تَسَاقَطَتْ عَنْهُ (رواه ابن
حبان)
Sesungguhnya seorang hamba di kala berdiri mengerjakan
salat, akan didatangkan dosa-dosanya, lalu diletakkan dosa-dosa itu di atas
kepalanya atau di atas pundaknya. Bila ia rukuk atau sujud, maka dosa-dosa
itu berguguran darinya. (HR. Ibnu
Hibban).
Rasulullah juga
menjelaskan dalam Hadis yang lain:
الصَّلَاةُ
الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ
تُغْشَ الْكَبَائِرُ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ
إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ (رواه مسلم)
Salat lima waktu, begitu pula salat Jumat hingga
Jumat berikutnya, adalah pelebur dosa antara satu salat dengan yang lain,
selama tidak dilakukan dosa besar. Puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya
adalah pelebur dosa antara keduanya apabila dosa besar dijauhi. (HR. Muslim).
Pada
akhirnya, salat dengan lima kali dalam sehari semalam, mengajarkan
kepada manusia untuk dapat membersihkan diri dengan mengerjakan syarat yang
harus dipenuhi sebelum salat, yaitu bersuci. Di samping itu,
salat lima waktu mengajarkan kontinuitas pada pelakunya, baik dalam
segi peribadatan maupun pekerjaan
Penulis berasal dari Pondok Pesantren Sidogiri
Posting Komentar