Ketika
ada teman, jamaah dan keluarga kita menunaikan ibadah haji, do’a dan harapan
yang kita panjatkan adalah semoga yang bersangkutan menjadi haji yang mabrur.
Harapan ini didasari pada besarnya nilai keutamaan dari haji yang mabrur, yakni
jaminan surga dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Secara harfiyah, mabrur artinya
baik. Haji yang mabrur berarti haji yang membuat orang yang menunaikannya
menjadi baik bila sebelumnya ia orang yang tidak baik dan bila ia sudah baik
akan bertambah kebaikannya yang tidak hanya dirasakan oleh diri dan keluarganya
tapi juga oleh masyarakat banyak. Ini berarti, Seorang haji disebut mabrur
hajinya bila kehidupannya sesudah menunaikan ibadah itu semakin baik.
Oleh karena itu, seorang haji disebut memperoleh haji yang mabrur tidak hanya
diukur dari pelaksanaan ibadah yang baik dan benar dari aspek fiqih saat di
Tanah suci dengan segala rangkaiannya, tapi justeru tantangan pembuktiannya
adalah sesudah ia melaksanakan ibadah itu setelah kembali ke Tanah Air
masing-masing hingga mencapai kematian, apalagi ibadah haji hanya diwajibkan
sekali seumur hidup.
Untuk mengukur apakah seseorang betul-betul memperoleh haji yang mabrur, paling
tidak diantara tolok ukurnya ada lima hal.
1. Dekat Kepada Allah.
Pergi haji adalah perjalanan menuju Baitullah, para jamaah begitu antusias
untuk kembali kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Karena itu, bila
seorang haji meraih haji yang mabrur seharusnya ia selalu merasa dekat kepada
Allah SWT. Kedekatannya kepada Allah membuatnya tidak menyimpang dari
ketentuan-ketentuan-Nya. Kearah itu, seorang haji telah memulai hajinya dengan
berihram yang berarti pengharaman dan mengakhirinya dengan tahallul yang
berarti penghalalan, Ini berarti seorang haji sebagai bukti kedekatannya kepada
Allah SWT siap meninggalkan segala yang diharamkan dan hanya mau melakukan
sesuatu bila memang dihalalkan oleh Allah SWT. Halal dan haram, haq dan bathil
merupakan sikap dan prilaku yang tidak akan dicampur-campur dalam kepribadian seorang
muslim, Allah SWT berfirman: Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan
yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu
Mengetahui. (QS 2:42)
2. Berakhlak Mulia.
Seorang haji telah berinteraksi dengan manusia yang jumlahnya begitu banyak
dari segala penjuru dunia dengan bahasa, warna kulit dan kebiasaan yang
berlainan. Dari sini, kita sadari bahwa kemuliaan manusia bukan karena bahasa,
warna kulit atau postur tubuhnya, tapi pada ketaqwaan yang dicerminkan dengan
akhlak yang mulia. Ketika seorang haji memakai pakaian ihram yang hanya terdiri
dari dua helai kain putih dan tidak beda dengan kain kafan, lepas pula pakaian
lain yang kadangkala membuat manusia menjadi sombong, keberhasilan ibadah haji
akan membuat seorang haji meninggalkan hal-hal yang keji dan amat bertentangan
dengan akhlak yang Islami, dalam kaitan itu pula, Allah SWT berfirman: (Musim)
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats [mengeluarkan
perkataan yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau bersetubuh], berbuat
fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu
kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan
Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai
orang-orang yang berakal (QS 2:197).
3. Berkorban Untuk Kebaikan.
Tidak ada jamaah haji yang bisa melaksanakan ibadah ini kecuali dengan
pengorbanan, mulai dari pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, harta sampai nyawa
sekalipun. Meskipun ada jamaah haji yang bisa menunaikan ibadah ini dengan
biaya dinas atau dibiayai pihak lain, ia tetap harus berkorban dengan
pengorbanan lain seperti yang sudah disebutkan di atas. Ini berarti, bukti haji
mabrur adalah seseorang mau dan selalu siap berkorban dengan apa yang
dimilikinya untuk tegaknya nilai-nilai kebenaran yang datang dari Allah SWT.
Dalam hal apapun, haq maupun bathil manusia harus berkorban, bila untuk yang
bathil saja manusia mau berkorban, mengapa untuk yang haq kita tidak mau
berkorban. Karena itu, ibadah haji dan hari raya Idul Adha mengingatkan dan
mengokohkan semangat pengorbanan kita dalam kebaikan, karenanya apapun yang
kita miliki jangan sampai membuat kita lupa kepada Allah SWT, bila ini yang
terjadi kita hanya akan mengalami kerugian di dunia dan akhirat, Allah SWT
berfirman: Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu
melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian Maka
mereka Itulah orang-orang yang merugi (QS 63:9).
drs. H. Ahmad Yani
Posting Komentar