Pusat ibadah haji adalah masjid, yakni masjid Al Haram, bahkan meskipun bukan
merupakan bagian dari ibadah haji, para jamaah mendapat dan menyempatkan diri
dengan penuh kesungguhan untuk beribadah di Madinah yang berpusat di Masjid
Nabawi, mereka dengan penuh antusias melaksanakan shalat berjamaah yang lima
waktu sebanyak 40 waktu di masjid Nabawi, mereka juga antusias melaksanakan
shalat berjamaah di Masjid Al Haram, bahkan mereka menunggu datangnya waktu
shalat. Keutamaan shalat apalago dengan cara berjamaah di kedua masjid ini
memang memiliki keutamaan yang amat besar. Namun antusiasnya umat Islam dari
berbagai negara di dunia dalam melaksanakan shalat berjamaah di masjid Al Haram
dan Masjid Nabawi seperti itu bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan, tapi
yang lebih penting lagi adalah bagaimana seorang haji bisa menunjukkan hasilnya
dengan rajin shalat berjamaah di masjid yang berada di lingkungannya
masing-masing.
Karena itu, amat disayangkan bila seorang haji, khususnya yang laki-laki
setelah kembali ke kampung halamannya justru tetap saja tidak nampak di masjid
dalam shalat berjamaah, apalagi dalam aktivitas lainnya yang sebenarnya amat
menuntut partisipasi mereka secara aktif, dan yang lebih tragis lagi adalah
bila ada seorang haji yang sama sekali merasa tidak perlu melaksanakan shalat
karena dengan rajin shalat di kedua masjid Makkah dan Madinah itu ia merasa
sudah mendapat pahala yang begitu banyak, lebih dari cukup, padahal sebesar-besarnya,
setinggi-tingginya dan sebanyak-banyaknya keutamaan yang diberikan Allah SWT
tidak akan menggugurkan kewajiban yang harus kita tunaikan, inilah rumus yang
harus kita pahami dengan baik.
5. Bergerak dan Berjuang.
Ibadah haji merupakan ibadah bergerak, para jamaah memang selalu bergerak
bahkan sejak sebelum berangkat ke Tanah suci. Para jamaah sudah banyak bergerak
sejak sebelum berangkat dengan latihan berjalan yang banyak, pada saatnya
bergerak ke asrama haji, terus ke bandara, peSAWat segera diberangkatkan ke
bandara King Abd. Aziz Jedah, terus ke Madinah, Ke Makkah, tawaf, sa’i, mabit
di Muzdalifah, melontar dan mabit di Mina hingga tawaf ifadhah dan tawaf wada
dan akhirnya kembali ke bergerak lagi menuju Tanah Air masing-masing.
Pergerakan jamaah haji masih dilanjutkan dengan melihat dan berziarah ke
tempat-tempat bersejarah dalam konteks perjuangan para Nabi, khususnya Nabi
Ibrahim, Ismail dan Nabi Muhammad SAW.
Manakala seseorang meraih haji yang mabrur, semua itu seharusnya bisa
membuatnya mau bergerak dan terus bergerak dalam upaya memperjuangkan tegaknya
nilai-nilai kebenaran Islam hingga mencapai kematiannya. Karena itu, seorang
haji yang mabrur idealnya menjadi tokoh-tokoh pergerakan yang memperbaiki
keadaan diri, keluarga dan masyarakatnya sebagaimana yang dikehendaki oleh
Allah dan Rasul-Nya. Seorang haji juga akan terus bergerak untuk mencari nafkah
yang halal dan harta yang diraihnya itu akan selalu digunakannya untuk segala
kebaikan, termasuk mendanai perjuangan di jalan Allah SWT. Namun yang amat
disayangkan adalah begitu banyak orang yang telah berhaji, namun ia menjadi
pasif dan diam saja, padahal banyak hal yang harus dilakukan dan diperbaiki
dalam kehidupan ini.
Dengan pengaruh positif yang sedemikian besar dari haji yang mabrur seperti
tergambar di atas, apalagi bila terbawa sampai mati, maka wajarlah bila
Rasulullah SAW menyatakan bahwa “haji yang mabrur itu tidak ada balasannya
kecuali surga”. Ini berarti, bila sesudah haji meskipun dilakukan berkali-kali
tapi tidak nampak pengaruh poisitifnya, bisa jadi surga masih jauh bagi orang
yang demikian.
drs. H. Ahmad Yani
Posting Komentar