Di antara rupa dan performa yang
terlihat sangat buruk dalam lapangan ghuluw pada era ini adalah apa yang kita
saksikan dilakukan oleh para pemuda yang terseret memasuki pintu ini oleh
faktor husnuz zhon, pemahaman yang salah atau kealpaan. Semua itu membawa
mereka terjatuh dalam bahaya besar, menyeret mereka untuk terperosok dalam
banyak problema yang semestinya tidak perlu terjadi jika saja kebanyakan orang
mau menanganinya.
Para pemuda tersebut mencela, mencaci, dan meremehkan para salaf yang sholeh,
generasi yang membawa agama ini sampai kepada kita dan telah menghabiskan
seluruh umur untuk membela syariat pemimpin para utusan, Rasulullah Muhammad
Shollallahu Alaihi Wasallam.
Generasi itu pula satu–satunya kelompok yang menjadi pelayan sunnah nabawiyyah
sehingga bisa sampai kepada kita dalam keaadaan putih dan bersih.
Imam Abu Hanifah, misalnya, oleh mereka (para pemuda) dikatakan sebagai seorang
Jahmiyyah Murji’ah, seorang ahli bid’ah yang sesat dan pembawa naas bagi Islam
dan pemeluknya.
Begitu pula Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al Asqolani, Imam Ghozali, Imam Juned,
Imam Ibrahim bin Adham, Imam Fudhel bin Iyadh, Imam Sahl at Tustari, Imam
Dzahabi, Sulthonul Ulama, Syekh Izzuddin bin Abdussalam, dan lainnya.
Sungguh, pena merasa malu untuk menulis caci maki yang mereka keluarkan dan
julukan–julukan jelek yang mereka lontarkan terdengar begitu risih oleh telinga
orang yang mendengarkan.
Dan hal ini terdapat dalam seluruh isi buku dan sepanjang isi kaset yang telah
disebarkan. (Jika perlakuan demikian diterima oleh para generasi salaf), maka
sudah barang tentu caci maki itu juga dilontarkan terhadap ulama–ulama masa
sekarang. Laa Haula walaa Quwwata illaa billaah.
Kedangkalan Tsaqafah dan Pengertian Agama
Sudah barang tentu kita semua sepakat bahwa penghinaan, hujatan, dan caci maki
kepada para ulama seluruhnya bersumber dari ketidakluasan ilmu dan pengertian
agama, atau belajar tanpa adanya pengajar.
Hal inilah yang menyeret sebagian para pemuda kita pada ketidaktepatan dalam
menggali sebagian hukum, cenderung memusuhi setiap orang yang berbeda dengan
mereka, dan menganggap pendapat pihak yang bertentangan dengan mereka sebagai
hal yang bodoh.
Fanatik Pendapat
Kedangkalan wawasan keagamaan, seperti kita saksikan dewasa ini, juga membawa
sebagian dari para pemuda kita bersikap fanatik (ta’assub) danmenuhankan
pendapat sendiri (istibdad bir ro’yi) khususnya dalam masalah–masalah yang
sebetulnya di situ ijtihad bisa diterima.Orang–orang yang biasa berdebat,
bertukar pendapat, dan berdialog pasti mengenal ungkapan, “Pendapatku benar,
tetapi mungkin juga salah. Dan pendapat lawanku salah, tetapi mungkin juga
benar.”
Adapun tidak mengakui pendapat dan mengingkari kebenaran yang dimiliki orang lain
yang bersilang pendapat dengannya maka sungguh itu adalah salah satu bencana
besar yang diakibatkan oleh ghuluw, khususnya pada saat ini. Kiranya tak ada
satu pun orang berakal yang mengingkari bahwa jika manusia tidak mengerti akan
sesuatu maka pasti memusuhi sesuatu tersebut.
Faktor bencana ini, (sekali lagi adalah), minimnya pengetahuan agama, bangga
dengan pendapat sendiri (i’jaab bir ro’yi) dan cenderung menuruti hawa nafsu.
Sebagian dari kaum ekstremis bahkan sampai bertindak kelewat batas dengan
membodohkan orang lain dan menuduhnya sesat dan keluar dari agama.
Ini pun disebabkan oleh fanatik dan keyakinan bahwa hanya pendapat sendiri yang
paling benar serta berusaha mempertahankan egonya. Sudah barang tentu bahwa hal
tersebut merupakan bentuk fanatik yang paling dominan, eksklusif, dan semaunya.
Karena itu, wajib bagi para ulama untuk menyelamatkan para pemuda dari
fanatisme. Wajib pula bagi para ulama menyadari bahwa hal ini merupakan
tantangan yang harus mereka hadapi. Mereka harus memiliki semangat tinggi untuk
memberikan perhatian dan terapi kepada pasien-pasien yang sudah terlanjur
terjangkit wabah ini agar mereka bisa segera sembuh.
Jika hal itu dibiarkan, akan berdampak pada kehancuran, umat tercabik, dan
terpecah belah. Padahal, Allah telah berfirman, “Jangan kalian saling
berselisih karena itu membuat kalian lemah dan hilang bau kalian.” (Q.S. al
Anfaal: 46)
“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dengan berjama’ah dan
jangan berpecah belah.” (Q.S. Ali Imran: 103)
Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad
bin Alwi Almaliki Alhasani
Posting Komentar