Daripada mikirin dunia melulu, sedikitnya pikiran kita
alihkan ke tempo seabad yang lalu, ke satu masa, dimana masyarakat dan ulama
masih baik-baik perilakunya dan bersih jalan pikiranya. Perilaku baik itu dalam
bahasa arab disebut suluk atau sirah. Yaitu hal baik yang tidak hanya
menyangkut tindakan atau perbuatan, tetapi juga baik dalam hal pikiran dan
perasaan. Orang yang alam pikir dan rasanya baik akan melahirkan perilaku atau
suluk yang baik. Sebaliknya orang yang perilakunya atau suluknya buruk, timbul
dari alam pikir dan rasa yang rusak. Sudah pasti alam pikir dan rasa yang rusak
inilah yang mendorong perilaku atau suluk menjadi jahat seperti merusak di muka
bumi, menipu, mencuri, koropsi, mencuci-maki, memfitnah, dst.
Perilaku atau suluk dalam tindakan, perbuatan dan perasaan
itu pernah menjadi motif cita-cita mufti besar pertama di Indonesia, Habib
Utsman bin Yahya seabad yang lalu atau lebih, yang hidupnya penuh disegani oleh
semua lapisan masyarakat. Bukan dari masyarakat Muslim saja, bahkan non Muslim
juga sangat menyeganinya. Beliau dikatagorikan sebagai ulama dahulu yang
berda’wah penuh dengan perasaan, penuh dengan ilmu dan perilaku baik dalam
tindakan dan perbuatan, menghormati sesama, tidak berlebih-lebihan atau
ikut-ikutan.
Cita-cita mufti besar Habib Utsman bin Yahya adalah ingin
mengangkat derajat dan martabat manusia Muslim Indoneisa menjadi manusia yang
berperilaku baik dalam muamalatnya kepada Allah dan kepada sesamanya, terhormat
dalam perbuatan, tindakan, serta pikiran dan perasaanya. Orang yang terhormat
itu adalah orang yang tidak tercela perbuatannya. Ia adalah orang pintar dan
terpelajar, berani dan jujur serta cinta kasih terhadap sesama. Itulah ajaran
utama mufti besar Habib Utsman bin Yahya yang ingin membebaskan Muslimin Indonesia
dari belenggu kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan, serta mengangkat mereka
menjadi manusia terhormat, terpelajar, berakhlak dan bersuluk baik.
Adapun ulama yang terhimpun dalam wadah Habib Utsman bin
Yahya, mereka pintar-pintar, terpelajar, dan digembleng di madrasah Rasulallah
saw puluhan tahun. Di samping menguasai bahasa Arab, mereka menguasai ilmu-ilmu
agama secara menyeluruh. Di antara tokoh-tokoh itu adalah Habib Ali Al Habsyi
(Kwitang), penerus ajaran dan cita-cita Habib Utsman bin Yahya. Ribuan umat
Islam datang ke majlis Habib Ali semasa hidupnya hanya sekedar mendengar
nasihat, wejangan dan diakhiri dengan pembacaan kalimat tauhid. Tidak pernah
kita mendengar di majlis itu caci-maki terhadap seseorang atau golongan,
melaknat atau mengkufurkan seseorang atau golongan. Majelis penuh dengan ilmu
dan nasihat, penuh dengan akhlak dan suluk yang baik, penuh dengan doa dan
rahmat.
Da’wah semacam inilah yang telah diwasiatkan Rasulallah SAW,
lima belas abad silam, yang datang sebagi rahmat dan membawa perdamaian bagi
alam semesta. Bukankah Rasulallah, setelah berhijrah ke Madinah pertama-tama
yang dilakukannya, setelah mepersaudarakan antara kaum Ansor dan Muhajirin,
adalah mengadakan perdamaian dengan tiga kelompok Yahudi yang berada disana,
Bani Qainuqa’, Bani Nadzir dan Bani Quraidzoh. Beliau telah membuat hubungan
baik dan menggelar perjanjian untuk hidup damai dan saling menghormati. Akan
tetapi orang-orang Yahudi sendirilah yang mengkhianati dan merusak perjanjian
tersebut.
Islam adalah agama yang membawa damai dan rahmat lil a’lamin
(bagi semesta alam). Islam diambil dari kata “salam” yang berarti damai, damai
di dunia dan damai di akhirat. Damai yang dimaksudkan disini adalah berperilaku
baik dan berbuat hormat kepada sesame manusia.
Contohnya, suatu saat Rasulallah sedang duduk di beranda
rumahnya. Tiba-tiba ada orang-orang lewat mengusung keranda janazah. Beliau pun
berdiri karena rasa hormat terhadap jenazah tersebut. Namun salah seorang
sahabat memberi tahu Nabi SAW, serta berkata “Wahai Rasulallah, itu adalah
jenazah orang Yahudi? “ Nabi menanggapi “Bukankah ia juga jiwa manusia“ ( HR
Imam Bukhari )
Islam mengajarkan damai dan berbuat baik bukan hanya
terhadap manusia, akan tetapi sampai terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Bukankah dalam hadist Nabi saw telah diriwayatkan bahwa seorang wanita masuk
neraka karena telah menganiyaya seekor kucing? Begitu pula seorang pelacur
masuk sorga karna telah memberi minum seekor anjing yang kehausan?.
Rahmat Islam rupanya benar-benar lil a’lamin (bagi semesta
alam). Tidak hanya manusia, tetapi hewan, tumbuh-tumbuhan dan lingkungan hidup,
semua memperoleh rahmat Islam. Ibnu Abbas meriwayatkan, ada seorang lelaki yang
merebahkan kambingnya sementara dia masih menajamkan pisaunya. Lalu Rasulallah
bersabda, “Apakah engkau ingin membunuh kambing itu dua kali? Jangan lakukan
itu. Tajamkan pisaumu sebelum kamu merebahkan kambingmu”
Ibnu sirin juga meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab
pernah melihat seseorang sedang menyeret kaki kambing untuk disembelih. Beliau
marah dan menegur orang itu, “Jangan lakukan itu! Giringlah hewan itu menuju
kematiannya dengan baik.” (HR Imam Nasai)
Itulah kebesaran agama Islam. Itulah kehebatan agama kita.
Rahmat semacam inilah yang pernah dirintis rastusan tahun yang lalu oleh ulama
pendatang dahulu. Mereka datang tidak membawa pendang atau keris, belati atau
penangkis, akan tetapi berkat ilmu yang luas serta akhlak dan perilaku (suluk)
yang luhur, Islam menjadi agama terbesar di seluruh lapisan masyarakat Indoneisa.
Rasulallah tidak mengajarkan kita berda’wah dengan
kekerasan, paksaan dan berutal. Akan tetapi beliau mengajarkan umatnya
berda’wah dengan hikmah dan mauidzah hasanah, dengan akhlak dan suluk yang
ramah. Ini konci kesuksesan da’wah ulama kita masa lalu. Wallahu’alam
Habib Hasan Husain Assegaf
Posting Komentar