Telah ditegaskan di dalam Al-Qur’an
bahwa jumlah bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan. Empat di antaranya
merupakan bulan-bulan mulia, sebagaimana tertuang dalam firman Allah subhanahu
wata’ala, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas
bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit
dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang
lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu.”
(At-Taubah [9] : 36).
Sebagai penjelas ayat ini terdapat
sebuah hadits riwayat dari Abi Bakrah bahwa Nabi Shallahu alaihi wasallam
bersabda, “Sesungguhnya masa berputar sebagaimana keadaan sejak Allah
menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Empat di antaranya
merupakan bulan haram. Yang tiga bulan berurutan, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul
Hijjah, dan Muharram. Dan satu lagi bulan Rajab Mudhar, antara bulan Jumadil
Akhir dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari [2958]).
Dari hadits ini telah jelas
bahwa bulan haram yang dimaksud di dalam ayat di atas ialah keempat bulan
tersebut. Sedangkan bulan yang paling utama dari keempatnya ialah bulan Rajab
menurut sebagian ulama Syafi’iyah. Meskipun ada ulama lain yang
memperselisihkannya.
Kebetulan kita sekarang tengah
memasuki bulan Rajab yang merupakan salah satu bulan yang dimuliakan oleh
Allah. Sebagai hamba Allah tentunya kita juga harus memuliakan bulan ini sesuai
dengan apa yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat
dimanifestasikan dengan perbuatan yang bersifat ritual transendental maupun kegiatan-kegiatan
sosial. Orientasinya, mengisi bulan ini dengan hal-hal yang bersifat positif
dan menjauhi segala bentuk kegiatan yang kontradiksi dengan kemuliaan bulan
ini.
Bulan-bulan ini disebut bulan haram
(mulia) berdasarkan dua hal;
Pertama, pada bulan-bulan ini dilarang
melakukan peperangan.
Walaupun sebagian ulama berpendapat bahwa larangan perang
di bulan haram ini telah di-nasakh. Hal ini juga menjadi tradisi di
kalangan orang-orang jahiliyah zaman dulu. Mereka senantiasa menghentikan
peperangan ketika memasuki bulan-bulan haram. Makanya, bulan Rajab disebut pula
dengan Rajab ‘Al-Asham’ yang artinya tuli lantaran pada saat bulan
Rajab, orang-orang jahiliyyah menanggalkan senjata mereka. Tidak ada peperangan
dan tidak terdengar sedikit pun suara gemerincing pedang pada bulan tersebut.
Ini berarti bulan-bulan haram, khususnya bulan Rajab merupakan bulan perdamaian
dan lepas dari pertikaian.
Kedua , sebagaimana disebutkan di dalam ayat di atas, bahwa Allah
melarang manusia berbuat kezaliman pada bulan-bulan haram.
Hal ini bukan
berarti kita boleh melakukan keharaman pada bulan-bulan lainnya, tetapi pada
bulan-bulan haram ini larangan melakukan kemaksiatan lebih ditekankan. Demikian
pula pada bulan-bulan ini manusia lebih diperintah untuk melakukan ketaatan.
Hal ini dikarenakan setiap perbuatan dosa yang dilakukan pada bulan-bulan ini
akan dilipatgandakan. Sebaliknya, jika berbuat baik pada bulan ini, maka
pahalanya juga dilipatgandakan. Sebab, jika Allah telah mengagungkan sesuatu,
maka kemuliaannya pun berlipat ganda, sehingga jika seseorang melakukan
kemaksiatan di dalamnya, maka dosanya akan dilipatgandakan sebagaimana jika
melakukan amal saleh, maka pahalanya pun dilipatgandakan. Hal ini senada dengan
orang yang melakukan amal kebaikan di tanah haram, maka pahalanya pun lebih
banyak dari pada beribadah di selain tanah haram.
Hal ini berarti pada bulan
ini kita harus lebih menahan diri dari melakukan berbagai bentuk kezaliman,
baik berbuat zalim pada diri sendiri maupun kepada orang lain. Perbuatan zalim
merupakan kontradiksi dari keadilan. Sehingga, secara tersirat pada bulan ini
terdapat perintah untuk menegakkan keadilan. Dari dua hal ini, dapat dipetik
kesimpulan bahwa bulan haram khususnya bulan Rajab memberikan spirit perdamaian
dan keadilan.
Mengingat fenomena yang dialami
bangsa kita akhir-akhir ini selalu dipenuhi dengan berbagai konflik dan
pertikaian. Baik pertikaian antar warga, antar kelompok, antar aliran, bahkan
antar rakyat dengan aparat keamanan, atau pertikaian antar elite politik. Tidak
jarang pula pertikaian ini pun menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Konflik dan
pertikaian ini seakan-akan tidak pernah habis. Selesai satu, tumbuh yang lain
lagi dan begitu seterusnya. Makanya, datangnya bulan mulia ini seyogyanya kita
jadikan sebagai momentum untuk memelihara perdamaian dan menghentikan
pertikaian dan segala bentuk kekerasan. Segala permasalahan yang menghimpit
bangsa ini hendaknya diselesaikan dengan cara yang damai dan dialogis tanpa
menggunakan kekerasan.
Di sisi lain, kezaliman dan ketidakadilan
di bumi pertiwi ini sudah menjadi hal yang lumrah. Sebaliknya keadilan justru
menjadi barang langka. Yang benar dipersalahkan, yang salah dibebaskan, yang
jujur dicemooh, yang berbohong justru disanjung-sanjung. Kezaliman ini telah
merambah ke semua level dan lini masyarakat, mulai dari penentu kebijakan,
pembuat undang-undang, maupun penegak hukum. Misalnya, tidak sedikit kebijakan
pemerintah yang lebih berpihak kepada penguasa dan orang-orang berduit yang
justru menggencet rakyat lemah, korupsi semakin merajalela, orang-orang yang
menilap uang rakyat miliaran rupiah dengan bebas dapat melenggang ke luar
negeri, sementara rakyat kecil yang hanya mencuri sebuah semangka atau beberapa
gelintir kakao harus mendekam di penjara. Masih banyak kasus-kasus lain yang
merupakan bentuk kezaliman di negeri ini. Bulan Rajab ini hendaknya dapat
dijadikan momentum untuk memerangi segala bentuk kezaliman dan ketidakadilan.
Sehingga, keadilan di negeri tercinta ini tidak hanya menjadi angan-angan
kosong.
Oleh karena itu, berangkat dari
spirit yang dibawa oleh bulan Rajab ini, marilah kita secara bersama-sama
memupuk persaudaraan dan perdamaian, menghindari segala bentuk kezaliman dan
menegakkan keadilan serta mengisinya dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang positif
untuk kemasalahatan diri kita sendiri dan masyarakat pada umumnya dengan
memperbanyak melakukan amal saleh, misalnya berpuasa, berzikir, dan berdoa.
Ingat bahwa dosa dan pahala dilipatgandakan pada bulan mulia ini.
Taufiq Aulia Rahman Penulis adalah
Musyrif (Ustadz Pembimbing) Ma’had Qudsiyyah Menara Kudus Tulisan ini dimuat di KOLOM JUM’AT, Harian
Radar Kudus Jawa Pos Edisi Jumat 17 Juni 2011
Posting Komentar