Setelah mencapai usia sekitar 66 tahun, Sayyidah 'Aisyah R.Anha
mengalami sakit yang kemudian membawa kepada wafat beliau. Dzakwan menceritakan bahwa Abdullah ibn Abbas datang meminta
izin untuk masuk menemui Aisyah di rumahnya.
Ketika itu dekat Aisyah ada putera saudaranya, yakni
Abdullah bin Abdurrahman, lalu Dzakwan berkata: “Ibnu Abbas meminta izin
masuk.” Abdullah, anak saudaranya, membisikkan kepadanya (Aisyah): “Abdullah
bin Abbas meminta izin masuk.” Ketika itu Aisyah hampir wafat, beliau berkata:
“Aku tidak memerlukan Ibnu Abbas.” Abdullah (anak saudaranya) berkata: “Wahai
Bunda, sesungguhnya Ibnu Abbas termasuk anak-anakmu yang shaleh, biarkanlah dia
(masuk) mengucapkan salam kepadamu dan melepasmu.” Aisyah berkata: “Berilah dia
izin bila engkau mau.”
Maka Dzakwan pun memasukkannya. Ketika Ibnu Abbas duduk, dia
berkata: “Bergembiralah.” Aisyah pun berkata: “Engkau juga.” Ibnu Abbas berkata
lagi: “Tidak ada (perbedaan) antara engkau dan pertemuanmu kepada SAW dan para
kerabatmu, kecuali keluarnya ruh dari jasad. Engkaulah istri Rasulullah SAW
yang paling dicintai, dan Rasulullah tidak mencintai kecuali yang baik.
Ketika kalungmu terjatuh di malam hari di Abwa’, Rasulullah
SAW tetap bertahan (di sana) hingga pagi hari masih di tempat itu, sedangkan
orang-orang tidak mempunyai air, maka Allah menurunkan ayat: ‘Maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)’, itu adalah kerana asbabmu. Dan
tidaklah Allah ‘Azza Wajalla menurunkan rukhsah (keringanan) bagi umat ini
(kecuali kerana itu).
Allah pun telah menurunkan kebebasanmu (dari tuduhan zina)
dari atas langit ketujuh, yang dibawakan oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), sehingga
tidak ada satu pun dari masjid-masjid Allah yang (di dalamnya) disebut nama
Allah, kecuali (ayat itu) sentiasa dibaca di waktu malam dan di waktu siang.”
Lalu Aisyah berkata: “Biarkan aku wahai Ibnu Abbas, demi Dzat yang jiwaku
berada di tangan-Nya, aku ingin menjadi seseorang yang dilupakan.” (HR Imam Ahmad)
Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 58 Hijrah pada masa
Khalifah Muawwiyah bin Abi Sufyan. Peristiwa dan dialog itu menunjukkan
beberapa informasi penting. Pertama, kedatangan Sayyidinaa Ibn Abbas
menunjukkan bahwa hubungan baik di antara kerabat Rasulullah SAW masih terjaga
baik dan Sayyidah 'Aisyah tetap diperlakukan dengan sangat hormat oleh
Dzurriyah Bani Abdul Muthalib, dengan kedudukan yang sangat dihormati. Pujian
Ibn Abbas menunjukkan dengan jelas hal tersebut. Hal itu menolak pandangan kalangan
Syi'ah yang menggambarkan buruknya hubungan keluarga antara istri Nabi tersebut
dengan keluarga Ali dan juga kerabatnya.
Yang kedua, ternyata makna waladun shalih yad'uulaah (anak
shalih yang mendoakan orang tua) itu tidak terbatas pada anak kandung. Ungkapan
Dzakwan kepada 'Aisyah bahwa Ibn Abbas termasuk anak beliau yang shalih
menunjukkan hal tersebut. Memang sejak kecil Ibn Abbas sering ke rumah Nabi SAW
dan setelah wafatnya Nabi SAW, beliau juga tetap datang untuk belajar kepada
Sayyidah 'Aisyah R.Anha.
Ketiga, masalah rukhshah tayammum yang asbab nuzul nya
adalah peristiwa hilangnya kalung beliau yang kemudian berbuntut pada
tertundanya keberangkatan rombongan, sehingga mereka kehabisan air. Ketika
itulah turun rukhshah (keringanan) dari Allah SWT berupa perintah tayammum bila
tidak ada air.
Keempat, tawadlu nya Sayyidah 'Aisyah R.Anha yang tidak
ingin dirinya diagung-agungkan, bahkan suka menyembunyikan diri dan amalnya.
Beliau ingin menjadi orang yang dilupakan saja. Ini adalah salah satu ciri waliyullah,
tidak ingin menonjolkan diri dan amalnya. Mereka suka amal dan dirinya
dirahasiakan saja, kecuali bila telah ada perintah tegas untuk menunjukkan
diri. Wa Allah A'lam.
Tawadlu nya Sayyidah 'Aisyah R.Anha juga tampak pada
pilihannya untuk tidak dimakamkan bersebelahan dengan Rasulullah SAW, melainkan
memilih dikumpulkan bersama makam istri-istri Rasulullah SAW yang lain di
Baqi'. Qais menceritakan bahawa Aisyah R.Anha pernah berwasiat:
“Sesungguhnya aku
melakukan suatu kesalahan setelah wafatnya Rasulullah SAW, maka kuburkanlah
jasadku bersama isteri-isteri beliau yang lain.” (Atsar Riwayat Ibnu Sa’ad)
Maksud ucapan Aisyah bahwa dia melakukan satu kesalahan
adalah kerana terlibat dalam Perang Jamal. Aisyah sangat menyesalinya, walaupun
niat asalnya ingin mencapai pendamaian antara kaum Muslimin setelah pembunuhan
Khalifah Uthman bin Affan. Dia cuma berijtihad melakukan kebaikan, sebagaimana
dilakukan oleh Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Al-Awwam dan sahabat-sahabat
yang lain, semoga Allah meridhai mereka semuanya. Para shahabat itu, termasuk
Sayyidah 'Aisyah telah bertaubat dari hal tersebut, sehingga tidak tepat bila
ada yang mendiskreditkan beliau terkait hal tersebut. Wa Allah A'lam.
Salah satu wasiat beliau sebelum wafat adalah permintaan
untuk dimakamkan di malam hari. Hal itu menunjukkan, selain rasa tawadlu, juga
rasa malu beliau yang sangat besar. Rasa malu itu juga yang membuat beliau
enggan dimakamkan bersebelahan dengan makam suami dan makam ayah beliau, karena
di situ telah ada makam Sayyidinaa Umar bin Khattab yang bukan mahramnya.
Permintaan beliau dimakamkan di malam hari menunjukkan bahwa sama sekali tidak
ada larangan menguburkan jenazah di malam hari, sebagaimana fatwa sebagian
Ulama akhir zaman yang mengharamkan pemakaman di malam hari. Adapun bahwa Nabi
SAW pernah melarang pemakaman di malam hari, maka harus ditafshil illat
hukumnya, terkait alasan pelarangan tersebut.
Dari Jabir bin ‘Abdillah R.A. bahwa pada suatu hari
Rasulullah SAW berkhutbah dan menyebut seorang lelaki dari kalangan sahabat
beliau yang wafat lalu dikafani dengan kain kafan kurang memadai lalu
dimakamkan pada malam hari. Beliau melarang mengubur jenazah pada malam hari,
supaya jenazahnya dishalatkan (banyak orang), kecuali dalam keadaan terpaksa. (HR Imam Muslim)
Perhatikan bahwa peristiwa itu sangat khusus, yakni terkait
orang yang sangat miskin dan sama sekali tidak terkenal. Dikhawatirkan bila ia
dimakamkan langsung di malam itu, akan sedikit orang yang datang dan
menshalatkannya. Sedangkan shalat janazah itu bisa memberi manfaat dan syafaat
bagi si mayyit. Semakin banyak yang menshalatkan semakin baik, karena ada
riwayat dari Ibn Abbas bahwa Nabi SAW bersabda: "Tidaklah seorang lelaki
muslim meninggal, kemudian disholatkan jenazahnya oleh 40 laki-laki yang tidak
mensekutukan Allah dengan suatu apapun kecuali Allah akan memberikan syafaat
mereka kepadanya." (HR Imam Muslim)
Dengan demikian, larangan itu bukan bersifat tahrim
(pengharaman), melainkan anjuran agar ditunda paginya saja supaya bisa
dishalatkan oleh lebih banyak orang. Anjuran Nabi SAW itu juga tidak memaksa,
karena bila terpaksa juga dimakamkan malam itu ya tidak apa-apa. Apalagi
terdapat fakta bahwa putri Nabi SAW, Fathimah, dimakamkan di malam hari.
Demikian pula Abu Bakar, Utsman, dan Ibn Mas'ud juga dimakamkan di malam hari.
Bahkan boleh jadi Sayyidah 'Aisyah R.Anha ingin meniru Rasulullah SAW,
sebagaimana beliau ungkapkan bahwa Nabi SAW juga dimakamkan di malam hari.
Beliau berkata, “Nabi SAW wafat pada hari Senin dan dikuburkan pada malam
Rabu.” (HR Imam Ahmad). Wa Allah A'lam.
Ummul Mukminin 'Aisyah R.Anha wafat pada malam Selasa
bertepatan dengan tanggal Nuzulul Quran (17 Ramadhan) tahun 58 Hijrah (678 M).
Pada waktu itu Abu Hurairah sedang menjabat sebagai Gubernur sementara kota
Madinah. Ia pun mengimami sholat jenazah. Kemudian jenazah Aisyah R.A
dikebumikan di Baqi’ sesuai dengan wasiatnya. Kaum muslimin turut serta
mengantarkan jenazahnya sampai ke pemakaman.
Pada malam Aisyah R.Anha wafat, para perempuan berkumpul di
Baqi’, ramainya seperti hari raya. Tidak pernah ada orang berkumpul sebanyak
itu pada suatu malam kecuali pada malam wafatnya Aisyah R.A. Semua orang
tenggelam dalam kesedihan seakan-akan mereka kehilangan ibu kandungnya sendiri. Wa Allah A'lam.
KH. M. Dawud Arif Khan
Posting Komentar