Dalam syarahnya terhadap Al-Hikam, Syeikh Zarruq menegaskan, bahwa dekatnya
Allah SWT itu tidak dipahami sebagai dekatnya suatu benda dengan benda lain,
atau dekatnya jarak, atau dekatnya sesuatu yang dikaitkan dengan yang lain.
Karena dekat semacam itu mustahil bagi Allah SWT.
Yang dimaksud dengan dekatNya adalah kedekatan meliputiNya melalui sifat
Ilmu, Qudrat dan IradatNya, selayaknya keMahaBesaran dan keMahaIndahanNya. Dan
sudah nyata bahwa Qudrat dan IradatNya meliputi wujudnya hamba dan IlmuNya
meliputi seluruh waktu dan gerak gerik hambaNya. Yang menggerakkan aktivitas
dan mewujudkan makhluk adalah Dia, karena itu Dialah yang Maha Dekat kepada
makhliuk dibanding adanya makhluk itu sendiri.
Sedangkan hijab (tirai) bagi makhluk muncul karena wujud makhluk atau karena
makhluk itu diwujudkan. Ketika semakin kuat eksistensi wujud makhluk dan
semakin luas ekspresi aktivitasnya, maka semakin kuat pula hijab mereka,
disebabkan kesibukan mereka tersebut. Itulah realitas manifestasi kedekatan
yang meliputi. Sedangkan kuatnya sifat Dekat membuat makhluk terhijab dari
dekat dan yang mendekat. Dalam al-Qur’an disebutkan, “Dan Kami lebih dekat
padanya dibanding kalian, tetapi kalian tidak melihatnya.” (Al-Waqi’ah 85)
Maka Syeikh Abul Abbas Al-Mursy bermunajat: “Wahai Yang Maha Dekat,
Engkaulah Yang Dekat, sedangkan akulah yang jauh. Kedekatanmu padaku membuat
aku putus asa pada selain DiriMu, sedangkan jauhku padaMu, mengembalikan aku
untuk terus mencari anugerah dariMu. Maka limpahkanlah anugerahMu padaku
sehingga hasratku terhapus oleh kehendakMu, Wahai Yang Maha Kuat nan Maha
Mulia.”
“Allah SWT tertutup karena dahsyatnya kejelasanNya, dan Dia tersembunyi dari
pandangan mata karena agungnya cahayaNya.”
Kejelasan Allah SWT tampak dalam tindakanNya, itulah yang membuat para
makhluk tertutup melihatNya langsung. Kejelasan itu disebabkan pancaran Nur
SifatNya yang tampak pada seluruh semesta makhluk, yang dinunia ini hanya bisa
dilihat secara maknawi (spiritual). Kadar ruhani maknawi seseorang sangat erat
kaitannya dengan aktivasi penglihatannya di akhirat kelak, menurut Sunnatullah SWT.
Sangat kuatnya wujud kejelasanNya, membuat terhalangnya untuk memandangNya.
Sebagaimana mata kelelawar ketika tersorot oleh cahaya matahari, semakin
dekat cahaya itu semakin buta matanya – “Dan bagi Allah adalah contoh yang
luhur“ –
Inilah para Sufi menegaskan, “Orang yang memandang – dalam bertauhid –
seperti orang yang memandang matahari, ketika pandangannya semakin bertambah
kuat ia semakin buta.”
Maka Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq ra, mengatakan, “Maha Suci Dzat yang
tidak menjadikan jalan bagi makhluk untuk mengenalNya, kecuali jalan itu adalah
ketakberdayaan untuk mengenalNya.”
Syaikh Ibnu Athaillah As Sakandary
Posting Komentar