Seorang istri melakukan perselingkuhan dengan seorang lelaki
karena ditinggal merantau suami yang tak kunjung kembali selama kurun dua
tahun. Dari hasil selingkuh, si istri melahirkan anak. Siapakah yang berhak menjadi wali nikah anak
tersebut ? Dalam hal waris apakah anak tersebut berhak atas warisan kedua ayah
tersebut atau malah tidak mendapat warisan sama sekali?
Anak tersebut tidak ada hubungan dengan ayah biologisnya
(selingkuhan si istri). Anak tersebut bernasab kepada suami wanita tersebut jika
anak tersebut lahir tidak lebih dari 4 tahun setelah berhubungan terakhir
dengan suaminya. Kalau lahir setelah 4 tahun maka tidak bernasab kepada
siapa-siapa.
Dalam Kitab Al-Qolyubi IV / 32 dijelaskan:
ولو أتت بولد عُلِمِ أنه ليس منه مع إمْكَانِه مِنْهُ ( لَزِمَهُ
نَفْيُهُ ) لِأَنَّ تَرْكَ النَّفْيِ يَتَضَمَّنُ اسْتِلْحَاقَ مَنْ لَيْسَ مِنْهُ
حَرَامٌ.
Apabila seoarang perempuan datang dengan membawa anak, dan
diketahui bahwa anak tersebut bukan dari suaminya, dan dapat mungkin dari
suaminya (namun secara yakin tidak dari suaminya). Maka wajib meniadakan
(menolak mengakui), karena bila tidak dilaksanakan penolakan, dapat dimasukan
nasab dari orang yang tidak haram (suaminya).
Jika dilahirkan kurang dari enam bulan atau lebih dari empat
tahun, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami dan tidak wajib
bagi suami untuk meli’an istrinya. Bagi anak tidak berhak mendapatkan waris
karena tidak ada sebab-sebab yang mendukung hubungan nasab.
Dan juga penjelasan dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin
halaman 235 - 236 :
مسئلة ي ش ) نكح حاملا من الزنا فولدت كاملا كان
له أربعة أحوال إما منتف عن الزوج ظاهرا وباطنا من غير ملاعنة وهو المولود لدون
ستة أشهر من إمكان الإجتماع بعد العقد أو لأكثر من أربع سنين من آخر إمكان
الإجتماع وإما لاحق به وتثبت له الأحكام إرثا وغيره ظاهرا ويلزم نفيه بأن ولدت
لأكثر من الستة وأقل من الأربع السنين وعلم الزوج أو غلب على ظنه أنه ليس منه بأن
لم يطأ بعد العقد ولم تستدخل ماءه أو ولدت لدون ستة أشهر من وطئه أو لأكثر من أربع
سنين منه أو لأكثر من ستة أشهر بعد استبرائه لها بحيضه وثم قرينة بزناها ويأثم
حينئذ بترك النفي بل هو كبيرة وورد أن تركه كفر وإما لاحق به ظاهرا أيضا لكن لا
يلزمه نفيه إذا ظن أنه ليس منه بلا غلبة بأن استبرأها بعد الوطء وولدت به لأكثر من
ستة أشهر بعده وثم ريبة بزناها إذ الاستبراء أمارة ظاهرة على أنه ليس منه لكن يندب
تركه لأن الحامل قد تحيض وإما لاحق به ويحرم نفيه بل هو كبيرة وورد أنه كفر إن غلب
على ظنه أنه منه أو استوى الأمران بأن ولدت لستة أشهر فأكثر إلى أربع سنين من وطئه
ولم يستبرئها بعده أو استبرأها وولدت بعده بأقل من الستة بل يلحقه بحكم الفراش كما
لو علم زناها واحتمل كون الحمل منه أو من الزنا ولا عبرة بريبة يجدها من غير قرينة
فالحاصل أن المولود على فراش الزوج لاحق به مطلقا إن أمكن كونه منه ولا ينتقي منه
إلا بللعان والنفي تارة يجب وتارة يحرم وتارة يجوز ولاعبرة بإقرار المرأة بالزنا
وإن صدقها الزوج وظهرت أماراته .بغية المسترشدين ص235 – 236
Ibnu Abdil Bar, At-Tamhid 8/183, Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni
9/123 dan juga pendapat senada dalam Al-Istidzkar 7/171; Al-Hawi al-Kabir 8/162,
dalam Hadits riwayat Muslim dalam “Kitab Radha” Sahih Muslim, hadits no. 1458,
2/1080 dijelaskan:
Apabila seorang perempuan yang telah bersuami, berselingkuh
serta melakukan hubungan zina dengan lelaki selingkuhannya sampai hamil, maka
status anaknya saat lahir adalah anak dari suaminya yang sah; bukan anak dari
pria selingkuhannya. Bahkan, walaupun pria yang menzinahinya mengklaim (Arab,
istilhaq) bahwa itu anaknya. Sebagai anak dari laki-laki yang menjadi suami sah
ibunya, maka anak berhak atas segala hak nasab (kekerabatan) dan hak waris
termasuk wali nikah apabila anak tersebut perempuan. Ini adalah pendapat ijmak
(kesepakatan) para ulama dari keempat madzhab sebagaimana disebut dalam kitab
At-Tamhid:
وأجمعت الأمة على ذلك نقلاً عن نبيها، وجعل رسول
الله كل ولد يولد على فراش لرجل لاحقًا به على كل حال، إلا أن ينفيه بلعان على حكم
اللعان… وأجمعت الجماعة من العلماء أن الحرة فراش بالعقد عليها مع إمكان الوطء
وإمكان الحمل، فإذا كان عقد النكاح يمكن معه الوطء والحمل فالولد لصاحب الفراش، لا
ينتفي عنه أبدًا بدعوى غيره، ولا بوجه من الوجوه إلا باللعان
(Ulama sepakat
atas hal itu berdasarkan hadits Nabi di mana Rasulullah telah menjadikan setiap
anak yang lahir atas firasy [istri] bagi seorang laki-laki maka dinasabkan pada
suaminya dalam keadaan apapun, kecuali apabila suami yang sah tidak mengakui
anak tersebut dengan cara li’an berdasar hukum li’an. Ulama juga sepakat bahwa
wanita merdeka menjadi istri yang sah dengan akad serta mungkinnya hubungan
intim dan hamil. Apabila dimungkinan dari suatu akad nikah itu terjadinya
hubungan intim dan kehamilan, maka anak yang lahir adalah bagi suami [sahibul firasy].
Tidak bisa dinafikan darinya selamanya walaupun ada klaim dari pria lain. Juga
tidak dengan cara apapun kecuali dengan li’an).
Pandangan ini disepakati oleh madzhab Hanbali di mana Ibnu
Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan:
وأجمعوا على أنه إذا ولد على فراش رجل فادعاه آخر أنه لا يلحقه،
وإنما الخلاف فيما إذا ولد على غير فراش
(Ulama sepakat bahwa apabila seorang anak lahir dari
perempuan yang bersuami kemudian anak itu diakui oleh lelaki lain maka
pengakuan itu tidak diakui. Perbedaan ulama hanya pada kasus dimana seorang
anak lahir dari perempuan yang tidak menikah).
Kesepakatan ulama atas kasus ini didasarkan pada sebuah
hadits sahih riwayat Muslim yang menyatakan:
الولد للفراش وللعاهر الحجر
Anak bagi suami yang sah, bukan pada lelaki yang menzinahi.
fb.com/groups/piss.ktb/794473787242098 oleh Ust. Buana, Ust.
Rizal, dan Ust. Nur Hasyim S. Anam
Posting Komentar