Dzikir merupakan kebutuhan manusia
untuk mengingat Tuhannya. Dalam pelaksanaannya, dzikir itu boleh dilakukan
dalam hati dan boleh pula dengan lisan. Dan dzikir yang lebih utama adalah yang
dilaksanakan dengan lisan dan hati. Jika hendak dilakukan dengan salah satunya
saja, maka dzikir di dalam hati lebih afdhal.
Tidak sepantasnya seseorang
meninggalkan dzikir lisan dan dzikir hati hanya takut disangka riya, tetapi
seyogyanya ia berdzikir dengan lisan dan di dalam hati karena Allah. Perlu
diketahui bahwa meninggalkan beramal karena manusia adalah termasuk riya.
Seandainya dibukakan kepada mereka
pintu kesempatan untuk mengamat-amati perbuatan orang lain, maka setiap orang
akan menghindar dari sangkaan orang lain yang tidak benar kepada dirinya dan
niscaya tertutuplah baginya kebanyakan dari pintu kebaikan dan tersia-sialah
darinya sesuatu yang besar dari urusan agamanya yang lebih penting. Cara ini
bukanlah jalan yang ditempuh oleh para arifin (orang-orang yang selalu dekat
kepada Allah).
Diriwayatkan di dalam kitab Sahih
al-Bukhari dan Sahih Muslim dari Aisyah R.Anha, ia berkata:
نَزَلَت هذِهِ الاَيَة : وَلاَتَجهَر
بِصَلاَتِكَ وَلاَتُخَافِت بِهَا …./ فِى الدُّعَاْء
Turunlah ayat ; … janganlah
menyaringkan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula kamu merendahkannya ……. (QS
al-Isra’ 110). Maksudnya pada doa di dalam shalat.
Syekh Ahmad Bahjad dalam bukunya “Mengenal Allah”, memberikan pengertian sebagai berikut, “Dzikir secara lisan seperti menyebut nama Allah berulang-ulang. Dan satu
tingkat diatas dzikir lisan adalah hadirnya pemikiran tentang Allah dalam
kalbu, kemudian upaya menegakkan hukum syariat Allah dimuka bumi dan membumikan
Al Qur’an dalam kehidupan. Juga termasuk dzikir adalah memperbagus kualitas
amal sehari-hari dan menjadikan dzikir ini sebagai pemacu kreatifitas baru
dalam bekerja dengan mengarahkan niat kepada Allah ( lillahita’ala ).”
Sebagian ulama lain membagi dzikir menjadi dua yaitu: dzikir dengan lisan,
dan dzikir di dalam hati. Dzikir lisan merupakan jalan yang akan menghantar
pikiran dan perasaan yang kacau menuju kepada ketetapan dzikir hati; kemudian
dengan dzikir hati inilah semua kedalaman ruhani akan kelihatan lebih luas,
sebab dalam wilayah hati ini Allah akan mengirimkan pengetahuan berupa ilham.
Imam Alqusyairi mengatakan, “Jika seorang hamba berdzikir dengan lisan dan
hatinya, berarti dia adalah seorang yang sempurna dalam sifat dan tingkah
lakunya.”
Dzikir kepada Allah bermakna, bahwa manusia sadar akan dirinya yang berasal
dari Sang Khalik, yang senantiasa mengawasi segala perbuatannya. Dengan
demikian manusia mustahil akan berani berbuat curang dan maksiat dihadapan-Nya.
Dzikir berarti kehidupan, karena manusia ini adalah makhluq yang akan binasa
(fana), sementara Allah senantiasa hidup, melihat, berkuasa, dekat, dan mendengar, sedangkan menghubungkan (dzikir) dengan Allah, berarti
menghubung-kan dengan sumber kehidupan (Al Hayyu).
Sabda Rasulullah, “Perumpamaan orang yang berdzikir dengan orang yang tidak
berdzikir seperti orang yang hidup dengan orang yang mati.” (HR. Bukhari)
Itulah gambaran dzikir yang dituturkan Rasulullah SAW. Bahwa dzikir kepada
Allah itu bukan sekedar ungkapan sastra, nyanyian, hitungan-hitungan lafadz,
melainkan suatu hakikat yang diyakini didalam jiwa dan merasakan kehadiran
Allah disegenap keadaan, serta berpegang teguh dan menyandarkan kepada-Nya
hidup dan matinya hanya untuk Allah semata.
Firman Allah, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu (jiwamu) dengan merendahkan diri
dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang,
dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS 7:205)
Aku hadapkan wajahku kepada wajah yang menciptakan langit dan bumi, dengan
lurus. Aku bukanlah orang yang berbuat syirik, sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku, dan matiku kuserahkan (berserah diri) kepada Tuhan sekalian Alam.
Adapun hitungan-hitungan lafadz, seperti membaca Asmaul Husna, membaca
Alqur’an, shalat, haji, zakat, dll, merupakan bagian dari sarana dzikrullah,
bukan dzikir itu sendiri, yaitu dalam rangka menuju penyerahan diri (lahir dan
batin) kepada Allah. Tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi dari pada dzikir dan
tidak ada nilai yang lebih berharga dari usaha menghadirkan Allah dalam hati,
bersujud karena keagungan-Nya, dan tunduk kepada semua perintah-Nya serta
menerima setiap keputusan-Nya Yang Maha Bijaksana
Dzikir berarti cinta kepada Allah, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi
diatas kecintaan kepada Allah, maka berdzikirlah kamu (dengan menyebut )
Allah, sebagaimana kamu ingat kepada orang tua kalian, atau bahkan lebih dari
itu. (QS 2:200)
“Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai
dari pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang fasik.” (QS 9:24 )
Kitab al-Adzkaarun Nawawiyyah
Posting Komentar