Atas
perkenan dan pertolongan Allah, kita, Alhamdulillah, telah berhasil
menyelesaikan ujian Tuhan terhadap kita dengan merampungkan kewajiban berpuasa
sebulan suntuk di bulan Ramadan. Marilah kita rayakan dengan penuh kesyukuran
dan ketakwaan, seraya merenungi hikmahnya yang agung.
Tugas puasa yang telah kita selesaikan, sebenarnya merupakan gemblengan bagi
mencapai kemerdekaan diri yang sesungguhnya. Merdeka dari penjajahan penjajah
paling laknat yang sekaligus kekuasaannya paling membelenggu diri kita: nafsu
dan syahwat yang mendapat dukungan setan.
Dengan dukungan setan, selama ini nafsu dan syahwat telah berhasil menguasai
diri dan memperbudak banyak pribadi manusia. Sehingga acapkali bahkan berhasil
membuat pribadi-pribadi itu lupa kemanusiaannya. Mereka menjadi kejam melebihi
binatang buas, rakus melebihi hewan, memangsa siapa saja, melalap apa saja; tak
terkecuali sesama mereka. Melebihi hewan dan binatang, karena memang mereka
mempunyai kelebihan-kelebihan yang tak dimiliki hewan dan binatang.
Sebenarnya,
oleh kasihsayang Allah, manusia telah dibekali hati nurani dan akal pikiran
yang didukung oleh malaikat, bagi mendapatkan kesempuranaan hidayah. Hati
nurani dan akal pikiran itulah yang merupakan sumber dari segala kelebihan
manusia. Dengan nurani dan akal pikiran itu sebenaranya manusia, bisa mencapai
ketinggian martabat paling tinggi di atas makhluk-makhluk Allah yang lain.
Namun, seringkali nafsu dan syahwat dipesonakan setan kepada gemerlap dan
kenikmatan kehidupan duniawi sesaat, sehingga mengaburkan mata hati manusia dan
kemudian menjerumuskannya ke jurang kerendahan paling rendah.
Di bulan suci Ramadhan kemarin, sementara setan dibelenggu, nafsu dan syahwat
kita hajar. Ruang-geraknya kita batasi. Sementara, dominasi atas diri, kita
kembalikan kepada nurani dan akal pikiran. Kita pun menjadi manusia yang
benar-benar merdeka.
Setelah merdeka dari penjajahan nafsu dan syahwat kita sendiri, melawan dan
mengusir penjajah dari luar kita kiranya akan lebih ringan. Maka, berbahagialah
mereka yang di bulan bahagia ini dan seterusnya dapat mempertahankan
kemanusiaan dan kemerdekaannya.
Agaknya, di samping tentu saja berkat taufik Allah, kemauan keras dan
terlebih-lebih kebersamaan kita telah membuat musuh dalam diri kita bersama itu
tidak dapat berbuat banyak. Puji dan syukur kepada Allah. Kalaulah kita
bertekad mempertahankan kemenangan dan kemerdekaan ini, bertekad terus waspada
melawan musuh kita itu, apakah kita akan tetap dalam kebersamaan, ataukah kita
akan sendiri-sendiri menghadapi mereka?
Dalam kebersamaan, ternyata kita menjadi jauh lebih perkasa. Bukan saja karena
keterbatasan masing-masing, kita menyatu saling mengisi menjadi kekuatan yang
tak terbatas; tapi lebih dari itu, dalam kebersamaan–tidak seperti dalam
kesendirian–rasa malu dan sungkan, terutama kepada Allah, dapat membudaya;
sesuatu yang dapat menjadi benteng ampuh menghadapi gencar dan canggihnya
godaan.
Dengan kebersamaan, terbukti tugas-tugas berat pun menjadi terasa
ringan kita lakukan dan kenikmatan terasa lebih nikmat kita enyam. Dan
kebersamaan bukan lain merupakan ciri mereka yang sehati. Ciri orang-orang
mukmin. Ciri kita, seperti Firman Allah di ayat 71 surat 9. al- Taubah,“Dan
orang-orang mukmin lelaki dan orang-orang mukmin wanita, sebagian mereka adalah
kekasih sebagian yang lain; mereka menyuruh kepada makruf dan mencegah
kemungkaran, mendirikan shalat, menunaikan zakat, mentaati Allah dan Rasul-Nya.
Merekalah orang-orang yang akan dirahmati Allah. Sesungguhnya, Allah itu Maha
Perkasa dan Maha Bijaksana.”
Nah, dalam rangka membina kondisi dan menjaga kebersamaan itu, marilah modal
spiritual Ramadhan, kita manfaatkan sebaik-baiknya. Kita jaga agar diri-diri
kita tetap akrab dengan kemanusiaan kita dan keimanan kita. Kita jaga agar musuh
dalam diri kita tidak berdaya memperdayakan kita terutama dalam usahanya
mengurai ikatan Allah atas sesama kita. Jangan kita biarkan musuh kita
menggunakan perbedaan-perbedaan status, aspirasi dan pendapat diantara kita,
sebagai belati pengoyak persaudaraan yang telah ditetapkan Allah atas kita.
Kiranya, masih dalam rangkaian menjaga kebersamaan itu juga, setelah kita
ber-husnuddhan kepada Allah bahwa hari ini Allah telah mengampuni dosa-dosa
kita, marilah kita saling melebur dosa-dosa di antara kita sendiri dengan
saling memaafkan, seraya bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan. Sehingga
dengan demikian, sempurnalah kesucian diri kita; bersih dari dosa kepada Allah
SWT dan bersih pula dari dosa kepada sesama. Dan kita bisa memulai kembali
hidup dan kehidupan ini dalam kesucian dan kefitrian. Semoga.
KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus)
Posting Komentar