Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Kaidah Hewan Menjijikkan Yang Haram Dimakan

Kaidah Hewan Menjijikkan Yang Haram Dimakan

Perkara menentukan suatu hewan menjijikan atau tidak akan berbeda dari satu orang ke orang lain dari satu komunitas dengan komunitas lainnya. Secara basic, syariat hanya menghalalkan hal-hal yang baik dan mengharamkan hal-hal yang jelek. Allah Subhanahu wa Ta'alaa berfirman :

ﻭَﻳُﺤِﻞُّ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﻟﻄَّﻴِّﺒَﺎﺕِ ﻭَﻳُﺤَﺮِّﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢُ ﺍﻟْﺨَﺒَﺎﺋِﺚَ

“dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (QS. Al A’raf : 157).

Yang jadi inti pertanyaan adalah kepada siapakah kriteria dalam menentukan “al-Khobits” dikembalikan? Apakah kepada per individu atau kepada urf (kebiasaan) masyarakat setempat atau siapa lagi?

Tentunya lingkup pertanyaan diatas adalah dikecualikan dari hewan-hewan yang sudah ternashkan kehalalan dan keharamannya. Dan juga jawaban dari pertanyaan untuk mengecualikan hukum asal perkara kedunian yang termasuk didalamnya mengkonsumsi daging binatang, dimana hukum asalnya adalah halal, berdasarkan beberada dalil, seperti Firman-Nya :

ﻫُﻮَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺧَﻠَﻖَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﺟَﻤِﻴﻌًﺎ

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ” (QS. Al Baqoroh : 29).

Jawaban dari pertanyaan itu alangkah baiknya kita hadapkan kepada Aimah kita :

1. Imam asy-Syafi’i dalam kitabnya “al-Umm” (2/264) berkata :

ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏَ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺗُﺤَﺮِّﻡُ ﺃَﺷْﻴَﺎﺀَ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺨَﺒَﺎﺋِﺚِ ﻭَﺗُﺤِﻞُّ ﺃَﺷْﻴَﺎﺀَ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻄَّﻴِّﺒَﺎﺕِ ﻓَﺄُﺣِﻠَّﺖْ ﻟَﻬُﻢْ ﺍﻟﻄَّﻴِّﺒَﺎﺕُ ﻋِﻨْﺪَﻫُﻢْ ﺇﻟَّﺎ ﻣَﺎ ﺍﺳْﺘَﺜْﻨَﻰ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻭَﺣُﺮِّﻣَﺖْ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺍﻟْﺨَﺒَﺎﺋِﺚُ ﻋِﻨْﺪَﻫُﻢْ

“sesungguhnya orang arab mengharamkan suatu hal karena itu dianggap “khobits” (jelek/menjijikan) dan menghalalkan sesuatu karena itu dianggap baik, oleh karenanya dihalalkan hal-hal yang baik menurut kebiasaan orang Arab, kecuali yang dikecualikan (oleh nash, pent.) dan diharamkan kepada mereka hal-hal yang khobits menurut mereka” –selesai-.

Dalam hal ini Imam Syafi’i berpendapat acuan menentukan suatu makanan itu khobits atau tidak, maka dikembalikan kepada pandangan orang Arab yang diajak bicara oleh Al Qur’an pada saat turun.

2. Imam ibnu Qudamah dalam kitabnya “al-Mughni” (9/406) lebih jelas dan gamblang lagi pernyataannya, dimana beliau berkata :

ﻭَﺍَﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺗُﻌْﺘَﺒَﺮُ ﺍﺳْﺘِﻄَﺎﺑَﺘُﻬُﻢْ ﻭَﺍﺳْﺘِﺨْﺒَﺎﺛُﻪْﻡُ ﻫُﻢْ ﺃَﻫْﻞُ ﺍﻟْﺤِﺠَﺎﺯِ، ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﺄَﻣْﺼَﺎﺭِ؛ ﻟِﺄَﻧَّﻬُﻢْ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻧَﺰَﻝَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏُ، ﻭَﺧُﻮﻃِﺒُﻮﺍ ﺑِﻪِ ﻭَﺑِﺎﻟﺴُّﻨَّﺔِ، ﻓَﺮُﺟِﻊَ ﻓِﻲ ﻣُﻄْﻠَﻖِ ﺃَﻟْﻔَﺎﻇِﻬِﻤَﺎ ﺇﻟَﻰ ﻋُﺮْﻓِﻬِﻢْ ﺩُﻭﻥَ ﻏَﻴْﺮِﻫِﻢْ، ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﻌْﺘَﺒَﺮْ ﺃَﻫْﻞُ ﺍﻟْﺒَﻮَﺍﺩِﻱ؛ ﻟِﺄَﻧَّﻬُﻢْ ﻟِﻠﻀَّﺮُﻭﺭَﺓِ ﻭَﺍﻟْﻤَﺠَﺎﻋَﺔِ ﻳَﺄْﻛُﻠُﻮﻥَ ﻣَﺎ ﻭَﺟَﺪُﻭﺍ

“dan yang dijadikan referensi dalam menentukan ke-khobatsi-an adalah mereka penduduk hijaz dari kalangan penduduk kotanya, dikarenakan mereka adalah orang yang berinteraksi langsung ketika turunnya Al Qur’an dan juga berinteraksi dengan sunnah, maka dikembalikan kemutlakan lafadz khobits kepada urf (kebiasaannya) mereka, bukan urf masyarakat selainnya dan jangan dijadikan rujukan penduduk kampungnya, karena dalam kondisi darurat dan nekat, mereka makan apa saja yang ditemuinya”.

3. Namun di lain pihak ada ulama yang berpendapat kriteria penentuan khobitsnya diserahkan kepada urf masyarakat setempat dan yang dijadikan acuan adalah suara terbanyaknya. Al-‘Alamah Muhammad Shidiq Khoon dalam kitabnya “ar-Roudhot an-Nadiyyah” (3/34) berkata :

ﻭﺇﻥ ﺍﺳﺘﺨﺒﺜﻪ ﺍﻟﺒﻌﺾ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﺒﻌﺾ ﻛﺎﻥ ﺍﻻﻋﺘﺒﺎﺭ ﺑﺎﻷﻛﺜﺮ

“jika sebagian masyarakat menganggapnya khobits, sedangkan sebagian lainnya tidak, maka yang dijadikan acuan adalah suara terbanyak”.

4. Al-‘Alamah Abdur Rahman an-Najdi (w. 1392) dalam kitabnya “al-Ihkaam Syarah Ushuul al-Ihkaam” (4/406) berkata :

ﻭﻋﻨﺪ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﻗﺪﻣﺎﺀ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﻻ ﺃﺛﺮ ﻻﺳﺘﺨﺒﺎﺙ ﺍﻟﻌﺮﺏ

“menurut Imam Ahmad dan beberapa murid seniornya bahwa tidak dijadikan acuan apa yang dianggap oleh orang Arab sebagai sesuatu yang “khobits”.

Oleh karenanya, berdasarkan perbedaan pandangan dua madzhab diatas dalam menentukan kriteria khobits, maka sudah bisa dipastikan akan terjadi perbedaan didalam memandang status hukum mengkonsumsi hewan yang tidak ditegaskan oleh nash halal-haramnya dan juga tidak dikenal luas sebagai binatang yang halal atau haram. Dan itulah yang terjadi dikalangan masyarakat kaum Muslimin didalam memandang status kehalalan hewan yang masih menjadi pro-kontra ditengah-tengah masyarakat apakah menjijikan atau tidak.

Yang lebih selamat tentunya menjauhi binatang yang masih diperselisihkan halal-haramnya, sebagai tindakan preventif terjatuh di dalam keharaman, sebagaimana sabda Nabi Sholallahu 'alaihi wa Salaam :

ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻠَﺎﻝَ ﺑَﻴِّﻦٌ، ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡَ ﺑَﻴِّﻦٌ، ﻭَﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﻣُﺸْﺘَﺒِﻬَﺎﺕٌ ﻟَﺎ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻬُﻦَّ ﻛَﺜِﻴﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ، ﻓَﻤَﻦِ ﺍﺗَّﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﺍﺳْﺘَﺒْﺮَﺃَ ﻟِﺪِﻳﻨِﻪِ، ﻭَﻋِﺮْﺿِﻪِ، ﻭَﻣَﻦْ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡِ

“sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas, namun diantara keduanya ada perkara yang masih samar-samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, maka barangsiapa yang menjaga dirinya dari syubhat, maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya dan barangsiapa yang terjatuh dalam syubhat, maka ia jatuh didalam hal yang haram..” (Muttafaqun alaih, ini lafadz Muslim).



Ust. Neno Triyono
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger