Perkara menentukan suatu hewan menjijikan atau tidak akan
berbeda dari satu orang ke orang lain dari satu komunitas dengan komunitas
lainnya. Secara basic, syariat hanya menghalalkan hal-hal yang baik dan
mengharamkan hal-hal yang jelek. Allah Subhanahu wa Ta'alaa berfirman :
ﻭَﻳُﺤِﻞُّ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﻟﻄَّﻴِّﺒَﺎﺕِ ﻭَﻳُﺤَﺮِّﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢُ ﺍﻟْﺨَﺒَﺎﺋِﺚَ
“dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (QS. Al A’raf : 157).
Yang jadi inti pertanyaan adalah kepada siapakah kriteria
dalam menentukan “al-Khobits” dikembalikan? Apakah kepada per individu atau
kepada urf (kebiasaan) masyarakat setempat atau siapa lagi?
Tentunya lingkup pertanyaan diatas adalah dikecualikan dari
hewan-hewan yang sudah ternashkan kehalalan dan keharamannya. Dan juga jawaban
dari pertanyaan untuk mengecualikan hukum asal perkara kedunian yang termasuk
didalamnya mengkonsumsi daging binatang, dimana hukum asalnya adalah halal,
berdasarkan beberada dalil, seperti Firman-Nya :
ﻫُﻮَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺧَﻠَﻖَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﺟَﻤِﻴﻌًﺎ
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu ” (QS. Al Baqoroh : 29).
Jawaban dari pertanyaan itu alangkah baiknya kita hadapkan
kepada Aimah kita :
1. Imam asy-Syafi’i dalam kitabnya “al-Umm” (2/264) berkata
:
ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏَ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺗُﺤَﺮِّﻡُ ﺃَﺷْﻴَﺎﺀَ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧَّﻬَﺎ
ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺨَﺒَﺎﺋِﺚِ ﻭَﺗُﺤِﻞُّ ﺃَﺷْﻴَﺎﺀَ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻄَّﻴِّﺒَﺎﺕِ ﻓَﺄُﺣِﻠَّﺖْ
ﻟَﻬُﻢْ ﺍﻟﻄَّﻴِّﺒَﺎﺕُ ﻋِﻨْﺪَﻫُﻢْ ﺇﻟَّﺎ ﻣَﺎ ﺍﺳْﺘَﺜْﻨَﻰ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻭَﺣُﺮِّﻣَﺖْ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ
ﺍﻟْﺨَﺒَﺎﺋِﺚُ ﻋِﻨْﺪَﻫُﻢْ
“sesungguhnya orang arab mengharamkan suatu hal karena itu
dianggap “khobits” (jelek/menjijikan) dan menghalalkan sesuatu karena itu
dianggap baik, oleh karenanya dihalalkan hal-hal yang baik menurut kebiasaan
orang Arab, kecuali yang dikecualikan (oleh nash, pent.) dan diharamkan kepada
mereka hal-hal yang khobits menurut mereka” –selesai-.
Dalam hal ini Imam Syafi’i berpendapat acuan menentukan
suatu makanan itu khobits atau tidak, maka dikembalikan kepada pandangan orang
Arab yang diajak bicara oleh Al Qur’an pada saat turun.
2. Imam ibnu Qudamah dalam kitabnya “al-Mughni” (9/406)
lebih jelas dan gamblang lagi pernyataannya, dimana beliau berkata :
ﻭَﺍَﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺗُﻌْﺘَﺒَﺮُ ﺍﺳْﺘِﻄَﺎﺑَﺘُﻬُﻢْ ﻭَﺍﺳْﺘِﺨْﺒَﺎﺛُﻪْﻡُ ﻫُﻢْ
ﺃَﻫْﻞُ ﺍﻟْﺤِﺠَﺎﺯِ، ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﺄَﻣْﺼَﺎﺭِ؛ ﻟِﺄَﻧَّﻬُﻢْ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻧَﺰَﻝَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ
ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏُ، ﻭَﺧُﻮﻃِﺒُﻮﺍ ﺑِﻪِ ﻭَﺑِﺎﻟﺴُّﻨَّﺔِ، ﻓَﺮُﺟِﻊَ ﻓِﻲ ﻣُﻄْﻠَﻖِ ﺃَﻟْﻔَﺎﻇِﻬِﻤَﺎ
ﺇﻟَﻰ ﻋُﺮْﻓِﻬِﻢْ ﺩُﻭﻥَ ﻏَﻴْﺮِﻫِﻢْ، ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﻌْﺘَﺒَﺮْ ﺃَﻫْﻞُ ﺍﻟْﺒَﻮَﺍﺩِﻱ؛ ﻟِﺄَﻧَّﻬُﻢْ
ﻟِﻠﻀَّﺮُﻭﺭَﺓِ ﻭَﺍﻟْﻤَﺠَﺎﻋَﺔِ ﻳَﺄْﻛُﻠُﻮﻥَ ﻣَﺎ ﻭَﺟَﺪُﻭﺍ
“dan yang dijadikan referensi dalam menentukan
ke-khobatsi-an adalah mereka penduduk hijaz dari kalangan penduduk kotanya,
dikarenakan mereka adalah orang yang berinteraksi langsung ketika turunnya Al
Qur’an dan juga berinteraksi dengan sunnah, maka dikembalikan kemutlakan lafadz
khobits kepada urf (kebiasaannya) mereka, bukan urf masyarakat selainnya dan
jangan dijadikan rujukan penduduk kampungnya, karena dalam kondisi darurat dan
nekat, mereka makan apa saja yang ditemuinya”.
3. Namun di lain pihak ada ulama yang berpendapat kriteria
penentuan khobitsnya diserahkan kepada urf masyarakat setempat dan yang
dijadikan acuan adalah suara terbanyaknya. Al-‘Alamah Muhammad Shidiq Khoon
dalam kitabnya “ar-Roudhot an-Nadiyyah” (3/34) berkata :
ﻭﺇﻥ ﺍﺳﺘﺨﺒﺜﻪ ﺍﻟﺒﻌﺾ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﺒﻌﺾ ﻛﺎﻥ ﺍﻻﻋﺘﺒﺎﺭ ﺑﺎﻷﻛﺜﺮ
“jika sebagian masyarakat menganggapnya khobits, sedangkan
sebagian lainnya tidak, maka yang dijadikan acuan adalah suara terbanyak”.
4. Al-‘Alamah Abdur Rahman an-Najdi (w. 1392) dalam kitabnya
“al-Ihkaam Syarah Ushuul al-Ihkaam” (4/406) berkata :
ﻭﻋﻨﺪ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﻗﺪﻣﺎﺀ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﻻ ﺃﺛﺮ ﻻﺳﺘﺨﺒﺎﺙ ﺍﻟﻌﺮﺏ
“menurut Imam Ahmad dan beberapa murid seniornya bahwa tidak
dijadikan acuan apa yang dianggap oleh orang Arab sebagai sesuatu yang
“khobits”.
Oleh karenanya, berdasarkan perbedaan pandangan dua madzhab
diatas dalam menentukan kriteria khobits, maka sudah bisa dipastikan akan
terjadi perbedaan didalam memandang status hukum mengkonsumsi hewan yang tidak
ditegaskan oleh nash halal-haramnya dan juga tidak dikenal luas sebagai
binatang yang halal atau haram. Dan itulah yang terjadi dikalangan masyarakat
kaum Muslimin didalam memandang status kehalalan hewan yang masih menjadi
pro-kontra ditengah-tengah masyarakat apakah menjijikan atau tidak.
Yang lebih selamat tentunya menjauhi binatang yang masih
diperselisihkan halal-haramnya, sebagai tindakan preventif terjatuh di dalam
keharaman, sebagaimana sabda Nabi Sholallahu 'alaihi wa Salaam :
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻠَﺎﻝَ ﺑَﻴِّﻦٌ، ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡَ ﺑَﻴِّﻦٌ، ﻭَﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ
ﻣُﺸْﺘَﺒِﻬَﺎﺕٌ ﻟَﺎ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻬُﻦَّ ﻛَﺜِﻴﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ، ﻓَﻤَﻦِ ﺍﺗَّﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ
ﺍﺳْﺘَﺒْﺮَﺃَ ﻟِﺪِﻳﻨِﻪِ، ﻭَﻋِﺮْﺿِﻪِ، ﻭَﻣَﻦْ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡِ
“sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas,
namun diantara keduanya ada perkara yang masih samar-samar yang tidak diketahui
oleh kebanyakan manusia, maka barangsiapa yang menjaga dirinya dari syubhat,
maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya dan barangsiapa yang terjatuh
dalam syubhat, maka ia jatuh didalam hal yang haram..” (Muttafaqun alaih, ini
lafadz Muslim).
Ust. Neno Triyono
Posting Komentar