Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Kualitas Yang Sebenarnya

Kualitas Yang Sebenarnya

Di era globalisasi, perkembangan teknologi dan komunikasi begitu pesat. Berbagai aktivitas dan ukuran kemajuan juga berkembang pesat. Dulu, orang pintar sering hanya diartikan orang yang jago matematika. Sekarang, standar itu kini makin berbagai-bagai. Salah satu syarat mutlak seseorang bias eksis dalam persaingan ketat adalah memiliki keunggulan disbanding pihak lain.

Dulu, seorang tukang cukur rambut hanya perlu terampil mencukur agar bias bersaing. Tapi, kini keahlian itu harus ditambah. Selain bisa mencukur, seorang tukang cukur juga harus mampu memijat dan berkomunikasi, agar orang mau datang potong rambut ke tempatnya. 

Setiap masyarakat tentu punya kriteria keunggulan masing-masing yang dipengaruhi oleh ideology, tradisi dan cara pandangnya tentang kehidupan dunia ini. Masyarakat kapitalis tentu memiliki kriteria keunggulannya yang berbeda dibanding manusia relijius. Perbedaan ini sangat berdasar, prinsipil dan tak bisa ditawar-tawar. Kapita- lisme menilai keunggulan dari sisi kepemilikan modal, uang atau materi, jabatan dan kekuasaan. Bagi kita umat Islam, kriteria keunggulan itu bukan sebatas kemampuan fisik atau duniawi saja, semisal penguasaan teknologi, bahasa asing dan kepribadian. Tapi juga keimanan yang tercermin dari kepribadian yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Ada tiga ayat dalam al-Qur’an yang berisi pesan yang sama dalam hal yang berbeda tentang menjaga kualitas diri kita pada tingkatan terbaik. Al-Qur’an menyebutnya  dengan ungkapan “ahsan” (terbaik), yang merupakan bentuk superlatif dari kata “hasan” (baik). Ini menegaskan pada kita tentang pentingnya mengambil kualitas terbaik. Tiga hal itu adalah:

Pertama, berpenampilan terbaik. Allah telah memberikan kita nikmat yang sangat besar berupa penciptaan yang sempurna. Dibanding makhluk yang lain di muka bumi, maka manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Allah menegaskan hal itu dalam salah satu firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (manusia) dalam sebaik-baik kejadian.” (QS at-Tiin: 5)

Sebaik-baik kejadian ini adalah berupa kelengkapan panca indera kita dengan berbagai fungsinya untuk beraktivitas. Hal yang perlu kita renungkan adalah, jika Allah telah menciptakan kita dalam sebaik-baik bentuk, maka kita pun harus berpenampilan dengan kualitas terbaik, sesuai dengan nikmat yang Allah berikan.

Kedua, berbicara dengan perkataan terbaik (ahsanu qaulan). Setelah berpenampilan terbaik, kita perlu melanjutkannya dengan berbicara yang terbaik (ahsan). Allah bertanya dengan kalimat menguji. Dia memuji hamba-Nya yang mau berkata terbaik dalam arti berdakwah kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah, “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata: ‘sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri,” (QS Fushilat: 33)

Ketiga, beramal yang terbaik (ahsanu amala). Hal tertinggi dari keterbaikan kita di mata Allah adalah beramal. Jika penampilan kadang menipu orang, apa yang kita katakan bisa tak sama dengan perbuatan kita, maka amal terbaik adalah tolak ukur keterbaikan kita.

Terkait hal ini ada dua syarat yang harus kita penuhi agar amal kita tergolong amal terbaik, ikhlas dan ittiba’ (mengikuti) Rasul. Amal akan menjadi amal yang baik jika hanya dilakukan dengan ikhlas kepada Allah dan sesuai dengan hokum syariat. Karena itu, para imam dari ulama Salaf senantiasa menjelaskan dua unsure pokok ini: ikhlas dan ittiba’. 

Fudahil bin Iyyadh dalam menjelaskan firman Allah: “….agar Dia menguji kamu siapa di antara kalian yang terbaik amalnya” (QS al-Mulk: 2) mengatakan: “Yang terbaik amalnya adalah yang terikhlas dan terbenar amalnya.” Ketika ditanya, “Wahai Abu Ali, apakah yang terikhlas dan terbenar?” Dia menjawab, “Sesungguhnya amal yang benar tetapi tidak dilakukan dengan ikhlas, tidak diterima. Dan jika dilakukan dengan ikhlas tapi tidak dengan cara yang benar juga tidak diterima. Amal itu hanya bisa diterima kalau ikhlas dan benar. Ikhlas hanya bisa terwujud jika amal itu dilakukan hanya karena Allah Ta’ala.  Dan amal yang benar hanya bisa dicapai dengan mengikuti Sunnah Nabi SAW.”

Sa’id bin Zubair menuturkan, “Tidaklah diterima suatu perkataan melainkan diiringi amal. Dan tidak akan diterima perkataan dan amal kecuali disertai dengan niat. Dan tidak akan diterima perkataan, amal dan niat kecuali disesuaikan dengan Sunnah Nabi SAW”

Alangkah indahnya ucapan Umar bin Abdul Azis rahimahullah ketika beliau mengisyaratkan pengaruh dari keikhlasan seseorang kepada Allah SWT: “Kadar pertolongan Allah kepada para hamba-Nya hanyalah sesuai dengan kadar niat-niat yang mereka canangkan. Siapa saja yang sempurna niatnya, sempurna pula pertolongan Allah kepadanya. Siapa saja yang kurang niatnya, kurang pula pertolongan Allah kepadanya.

Di antara tanda-tanda keikhlasan dalam diri seseorang adalah rasa tunduk kepada kebenaran dan mau menerima nasihat, walaupun dari orang yang tidak setara dengannya. Ia pun tidak merasa sempit di dunia ini kalau kebenaran ternyata muncul dari orang lain. Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Tahdzib at Tahdzib menuturkan contoh sikap itu dalam biografi Ubaidillah bn al-Hasan al-Ambary, salah seorang pemuka penduduk Basrah yang menjadi ulama dan qadhi di sana.

Abdurrahman bin Mahdi, salah seorang muridnya, bertutur: “Ketika kami sedang mengurus jenazah, guruku ditanya tentang sebuah masalah lalu ia salah menjawab. Maka aku berkata kepadanya, ‘Semoga Allah memperbaikimu. Jawaban soal itu mestinya begini...begini.” Dia diam sejenak lalu berkata, “Kalau begitu saya akan kembali kepada kebenaran. Menjadi pengekor dalam sebuah kebenaran lebih kusukai daripada menjadi pemimpin dalam kebatilan.”

Di antara tanda keikhlasan adalah tidak gampang berfatwa dan memutuskan hukum. Karena itu, kebanyakan para ulama salaf selalu memelihara dirinya dari memberikan fatwa. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Laila bahwa ia berkata, “Aku telah bertemu dengan 120 orang sahabat Rasulullah SAW. Salah seorang di antara mereka ditanyai tentang suatu masalah lalu melemparkannya kepada yang lain lalu kepada yang lain lagi, sampai soal itu kembali ke orang yang ditanyai pertama kali. Orang yang suka ditanyai biasanya adalah orang yang tidak ahli menjawab.”

Jadi, keunggulan yang kita maksud adalah keunggulan sejati. Bukan rekayasa atau karena kemampuan manajemen semata. Bukan yang instant alias karbitan. Selamat berkompetisi.


E. Sudarmaji
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger