Di era globalisasi, perkembangan teknologi dan komunikasi
begitu pesat. Berbagai aktivitas dan ukuran kemajuan juga berkembang pesat.
Dulu, orang pintar sering hanya diartikan orang yang jago matematika. Sekarang,
standar itu kini makin berbagai-bagai. Salah satu syarat mutlak seseorang bias
eksis dalam persaingan ketat adalah memiliki keunggulan disbanding pihak lain.
Dulu, seorang tukang cukur rambut hanya perlu terampil mencukur agar bias bersaing.
Tapi, kini keahlian itu harus ditambah. Selain bisa mencukur, seorang tukang
cukur juga harus mampu memijat dan berkomunikasi, agar orang mau datang potong
rambut ke tempatnya.
Setiap masyarakat tentu punya kriteria keunggulan masing-masing yang
dipengaruhi oleh ideology, tradisi dan cara pandangnya tentang kehidupan dunia
ini. Masyarakat kapitalis tentu memiliki kriteria keunggulannya yang berbeda
dibanding manusia relijius. Perbedaan ini sangat berdasar, prinsipil dan tak
bisa ditawar-tawar. Kapita- lisme menilai keunggulan dari sisi kepemilikan
modal, uang atau materi, jabatan dan kekuasaan. Bagi kita umat Islam, kriteria
keunggulan itu bukan sebatas kemampuan fisik atau duniawi saja, semisal
penguasaan teknologi, bahasa asing dan kepribadian. Tapi juga keimanan yang
tercermin dari kepribadian yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya
sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Ada tiga ayat dalam al-Qur’an yang berisi pesan yang sama dalam hal yang
berbeda tentang menjaga kualitas diri kita pada tingkatan terbaik. Al-Qur’an
menyebutnya dengan ungkapan “ahsan” (terbaik), yang merupakan bentuk
superlatif dari kata “hasan” (baik). Ini menegaskan pada kita tentang
pentingnya mengambil kualitas terbaik. Tiga hal itu adalah:
Pertama, berpenampilan terbaik. Allah telah memberikan kita nikmat yang sangat
besar berupa penciptaan yang sempurna. Dibanding makhluk yang lain di muka
bumi, maka manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Allah menegaskan hal
itu dalam salah satu firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu
(manusia) dalam sebaik-baik kejadian.” (QS at-Tiin: 5)
Sebaik-baik kejadian ini adalah berupa kelengkapan panca indera kita dengan
berbagai fungsinya untuk beraktivitas. Hal yang perlu kita renungkan adalah,
jika Allah telah menciptakan kita dalam sebaik-baik bentuk, maka kita pun harus
berpenampilan dengan kualitas terbaik, sesuai dengan nikmat yang Allah berikan.
Kedua, berbicara dengan perkataan terbaik (ahsanu qaulan). Setelah
berpenampilan terbaik, kita perlu melanjutkannya dengan berbicara yang terbaik
(ahsan). Allah bertanya dengan kalimat menguji. Dia memuji hamba-Nya yang mau
berkata terbaik dalam arti berdakwah kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah, “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata: ‘sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri,” (QS Fushilat: 33)
Ketiga, beramal yang terbaik (ahsanu amala). Hal tertinggi dari keterbaikan
kita di mata Allah adalah beramal. Jika penampilan kadang menipu orang, apa
yang kita katakan bisa tak sama dengan perbuatan kita, maka amal terbaik
adalah tolak ukur keterbaikan kita.
Terkait hal ini ada dua syarat yang harus kita penuhi agar amal kita tergolong
amal terbaik, ikhlas dan ittiba’ (mengikuti) Rasul. Amal akan menjadi amal yang
baik jika hanya dilakukan dengan ikhlas kepada Allah dan sesuai dengan hokum
syariat. Karena itu, para imam dari ulama Salaf senantiasa menjelaskan dua
unsure pokok ini: ikhlas dan ittiba’.
Fudahil bin Iyyadh dalam menjelaskan firman Allah: “….agar Dia menguji kamu
siapa di antara kalian yang terbaik amalnya” (QS al-Mulk: 2) mengatakan: “Yang
terbaik amalnya adalah yang terikhlas dan terbenar amalnya.” Ketika ditanya,
“Wahai Abu Ali, apakah yang terikhlas dan terbenar?” Dia menjawab,
“Sesungguhnya amal yang benar tetapi tidak dilakukan dengan ikhlas, tidak
diterima. Dan jika dilakukan dengan ikhlas tapi tidak dengan cara yang benar
juga tidak diterima. Amal itu hanya bisa diterima kalau ikhlas dan benar.
Ikhlas hanya bisa terwujud jika amal itu dilakukan hanya karena Allah
Ta’ala. Dan amal yang benar hanya bisa dicapai dengan mengikuti Sunnah
Nabi SAW.”
Sa’id bin Zubair menuturkan, “Tidaklah diterima suatu perkataan melainkan
diiringi amal. Dan tidak akan diterima perkataan dan amal kecuali disertai
dengan niat. Dan tidak akan diterima perkataan, amal dan niat kecuali
disesuaikan dengan Sunnah Nabi SAW”
Alangkah indahnya ucapan Umar bin Abdul Azis rahimahullah ketika beliau
mengisyaratkan pengaruh dari keikhlasan seseorang kepada Allah SWT: “Kadar
pertolongan Allah kepada para hamba-Nya hanyalah sesuai dengan kadar niat-niat
yang mereka canangkan. Siapa saja yang sempurna niatnya, sempurna pula
pertolongan Allah kepadanya. Siapa saja yang kurang niatnya, kurang pula
pertolongan Allah kepadanya.
Di antara tanda-tanda keikhlasan dalam diri seseorang adalah rasa tunduk kepada
kebenaran dan mau menerima nasihat, walaupun dari orang yang tidak setara
dengannya. Ia pun tidak merasa sempit di dunia ini kalau kebenaran ternyata
muncul dari orang lain. Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Tahdzib at Tahdzib
menuturkan contoh sikap itu dalam biografi Ubaidillah bn al-Hasan al-Ambary,
salah seorang pemuka penduduk Basrah yang menjadi ulama dan qadhi di sana.
Abdurrahman bin Mahdi, salah seorang muridnya, bertutur: “Ketika kami sedang
mengurus jenazah, guruku ditanya tentang sebuah masalah lalu ia salah menjawab.
Maka aku berkata kepadanya, ‘Semoga Allah memperbaikimu. Jawaban soal itu
mestinya begini...begini.” Dia diam sejenak lalu berkata, “Kalau begitu saya
akan kembali kepada kebenaran. Menjadi pengekor dalam sebuah kebenaran lebih
kusukai daripada menjadi pemimpin dalam kebatilan.”
Di antara tanda keikhlasan adalah tidak gampang berfatwa dan memutuskan hukum.
Karena itu, kebanyakan para ulama salaf selalu memelihara dirinya dari
memberikan fatwa. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Laila bahwa ia berkata,
“Aku telah bertemu dengan 120 orang sahabat Rasulullah SAW. Salah seorang di
antara mereka ditanyai tentang suatu masalah lalu melemparkannya kepada yang
lain lalu kepada yang lain lagi, sampai soal itu kembali ke orang yang ditanyai
pertama kali. Orang yang suka ditanyai biasanya adalah orang yang tidak ahli
menjawab.”
Jadi, keunggulan yang kita maksud adalah keunggulan sejati. Bukan rekayasa atau
karena kemampuan manajemen semata. Bukan yang instant alias karbitan. Selamat
berkompetisi.
E. Sudarmaji
Posting Komentar