Kita semua tahu bahwa selain diberi
hati nurani yang senantiasa menegakkan ciri ketuhanan (al-khuluq), dalam diri
kita juga terdapat hawa nafsu yang cenderung tergiur oleh materi yang nisbi dan
instan. Setiap saat terjadi tarik menarik antara keduanya. Jika kemenangan
dipihak nafsu, manusia akan turun derajad dan moralnya. Sedangkan jika hati
nurani mampu mengungguli nafsu, orang tersebut akan naik derajadnya, moralnya
terpuji dan melebihi makhluk Tuhan lainnya.
Manusia yang terakhir inilah yang
layak menjadi wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fi al-ardhi) untuk
mengelola alam semesta. Sebaliknya, apabila dunia seisinya ini diurus oleh
tangan-tangan manusia yang bermoral rendah, yang tak mampu menyeimbangkan
antara format al-khuluq dan al-khalq, pastilah-cepat atau lambat-kehancuran dan
kebinasaan akan menimpa dunia. Kisah Qabil, Namrud, Fir’aun, Qarun, kafir
Quraisy, dan sebagainya adalah sebagian tamsil manusia yang menyalahi
karakter Ilahiyah dalam mengimplementasikan diri sebagai wakil Tuhan di bumi.
Moralitas merupakan sesuatu yang dilakukan
bukan diucapkan, tindakan bukan tulisan, pelaksanaan bukan kekuasaan,
pengamalan bukan hafalan, kenyataan bukan penataran, esensi bukan teori,
realitas bukan identitas, dan seterusnya. Eksistensinya tidak bisa dibuat-buat,
dipalsukan maupun sekedar simbolik. Canggihnya teori, banyaknya ajaran,
tingginya kedudukan dan jabatan, indahnya paras wajah, melimpahnya harta
bukanlah jaminan akan baiknya moral seseorang. Tidak mustahil, orang yang
miskin justru lebih bermoral ketimbang mereka yang berduit, rakyat jelata lebih
bermoral ketimbang pejabat.
Moralitas yang luhur merupakan
karakteristik ketuhanan yang melekat pada diri manusia dan bersifat universal,
kekal dan esensial. Allah SWT akan memilih diantara hamba-hamba-Nya yang taat
untuk menampakkan karakteristik tersebut. Perbedaan ras, golongan, suku bangsa,
bahasa, negara bahkan agama tidak menjadi penghalang bagi realisasi moralitas
mulia. Eksistensinya bersifat lintas etnis, lintas agama, budaya dan bahasa.
Tidaklah musykil, seseorang yang
secara formal mengaku sebagai penganut agama tertentu, hafal kitab sucinya,
faham norma-normanya, tapi praktiknya justru bertolak belakang. Malah orang
yang tak mengaku beragama secara formal, justru lebih bermoral. Na’udzubillahi
min dzalik.
Marilah kita bersama-sama saling mengingatkan, bahwa dunia ini hanyalah
sementara. Akhirat menenti kita selamanya. Hendaknya kita perkuat posisi hati
nurani kita dengan berpegang kepada ajaran Islam. Jika secara pribadi kita
lemah memahami Islam, marilah kita dengarkan pengajian para ustadz dan kyai.
Siapapun mereka, dari manapun organisasinya, jikalau memang yang diucapkan
bermanfaat bagi diri kita, alangkah baiknya kita ambil suritauladannya. Tidak
perlu kita memagari diri dengan mencoba melihat detail siapa yang berbicara
bukankah dia adalah mantan ketua partai A. Atau dulu kan dia direktur
Perusahaan B. Siapapun yang berbicara jika isi dan kandungan informasinya
berguna hendaklah kita hormati dan pelajari. Seperti kata pepatah arab Undzur
maqal wa la tandhur man qal. Perhatikan isinya, jangan lihat siapa yang
berbicara.
KH. Moh. Sofwan

Posting Komentar