Kisah ini adalah tentang tetangga yang saya kenal saat saya
masih kuliah. Sebut saja namanya Pak Arif. Mungkin ia terlampau jujur, atau
mungkin ia memang tak berbakat curang. Tak seperti teman-temannya, tiga puluh
tahun menjadi pegawai negeri sipil, hidup Pak Arif tak kunjung berubah.
Sementara teman-temannya, entah bagaimana, sudah bisa membeli rumah dan bahkan
mobil.
Bukannya ia tak ingin kaya. Ia ingin sekali punya banyak
uang. Ia ingin pergi menunaikan haji. Dengan uang halal tentunya. Demikianlah
setiap bulan sedikit demi sedikit ia menyisihkan beberapa puluh ribu. Terkadang
bisa beberapa ratus ribu. Setiap malam ia berdoa mohon diberi rezeki bisa
menunaikan haji.
Tetapi mungkin Tuhan belum berkenan menerimanya sebagai tamu
di rumahNya, setiap terkumpul beberapa juta, uangnya selalu berkurang—terkadang habis—karena untuk biaya berobat.
Atau, mungkin karena lelaki itu terlalu baik: jika semuanya baik-baik saja,
selalu ada hal yang membuatnya mengambil tabungannya; ia sering tak tega
melihat ada orang yang kesusahan.
Kadang, ia mengambil tabungannya setiap kali melihat anak
tetangganya kesulitan membayar SPP. Atau saat ada berita bencana, ia selalu
mengambil tabungannya untuk membantu. Dan anehnya, sepertinya ia ditakdirkan
bertemu dengan orang-orang yang kesusahan.
Selama bertahun-tahun uang tabungannya yang tak banyak itu
lebih banyak dipakai untuk membantu orang. Tentu kita paham sekarang mengapa
tabungannya tak pernah cukup untuk biaya naik haji, apalagi biayanya tiap tahun
terus naik. Tetapi ia terus berdoa mohon bisa sampai ke Tanah Suci, dan terus
menabung, walau tabungannya tak pernah bertambah banyak.
Kini Pak Arif sudah pensiun. Ia tak bisa lagi menabung
banyak-banyak. Uangnya cukup untuk sehari-hari tetapi selalu bisa menyisihkan
sedikit uangnya untuk ditabung, meski pada akhirnya habis juga karena untuk
menolong orang.
Apakah ia putus asa? Tidak. Ia tetap berdoa, dengan doa yang
sama seperti tiga puluh tahun yang lalu. Hingga suatu malam pada malam tanggal
sembilan bulan haji, ia bermimpi berada di Mekah. Ia melaksanakan semua ritual
haji—tawaf, wuquf dan sebagainya.
Dalam mimpinya, saat wuquf itu ia dikunjungi Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Ia
terbangun tepat saat adzan subuh. Ia menangis, sebab ternyata itu hanya mimpi.
Tetapi ia bahagia karena bermimpi bertemu Kanjeng Nabi.
Seminggu sesudah mimpi ia pagi-pagi kedatangan tamu. Mengaku
utusan dari mantan atasannya, yang baru saja naik haji dengan ONH plus. Utusan
itu berkata kepadanya, “sesuai pesen
bapak, ini saya diutus mengantar kenangan-kenangannya yang Pak Arif minta untuk
dicetak.”
Utusan itu menyerahkan sebuah foto. Pak arif memandang foto
itu lama sekali. Ia belum pernah ke Arafah, tetapi di foto itu tampak sang
atasan duduk bersama Pak Arif memakai baju ihram di padang Arafah.
Ditulis oleh Tri Wibowo BS di Lereng Merapi, Yogyakarta
Posting Komentar