“Perumpamaan
seorang muslim dengan muslim lainnya seperti satu tubuh, jika satu bagian sakit
maka semua akan merasakan sakit.”(HR.
Buhkhari, Muslim)
Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT. sebagai rasul terakhir
penyempurna agama yang dibawa rasul-rasul sebelumnya. Beliau merupakan mahluk
Tuhan yang sudah dijamin masuk surga. Dan tidak kalah pentingnya adalah,
pemersatu manusia yang awalnya terpecah-belah. Sehingga persaudaraan ummat
Islam lambat laun tampak hingga kuat. Hal tersebut dapat diketahui dalam
kisah-kisah yang hingga kini tersebar di mana-mana. Sejarah telah menulisnya.
Dan tak dapat dipungkiri hal tersebut memang nyata.
Tak ada perbedaan status sebagai pembatas hubungan
kekeluargaan ummat islam saat itu. Pemimpin senantiasa berbaur dengan
rakyatnya. Kepala Negara senantiasa dipatuhi dan dihormati. Yang kaya menolong
yang miskin. Selalu ada timbal balik dari kalangan mereka, dan saling
melengkapi satu dengan yang lain. Tak hanya sampai di situ, mereka, kaum
muslimin pada saat Rasulullah SAW dan para sahabatnya juga menghormati pemeluk
agama lain. Karena tak mengenal perbedaan-perbedaan ini pulalah, agama islam
dengan mudahnya masuk dan berkembang di Indonesia. Dan kini disebut sebagai
Negara dengan penduduk mayoritas muslim.
Nah, begitu dijunjungnya rasa persaudaraan pada zaman
Rasulullah, sampai-sampai harta, nyawapun rela dikorbankan. Seteguk air minum
saja, direlakan untuk sesamanya kaum muslim padahal mereka sama-sama
membutuhkan. Saat kaum muhajirin berhijrah ke Medinah, kaum anshar dengan suka
rela menerima kedatangan mereka, membiarkan kaum muhajirin untuk tinggal dan
menganggap Medinah sebagai tempat tinggal mereka sendiri. Begitu tingginya rasa
persaudaraan pada zaman itu. Dengan mudahnya kaum ansar menerima kaum
muhajirin, lalu kemudian bersatu.
Saudara dalam artian sempit adalah orang yang mempunyai
pertalian darah, dari sudut pandang biologis. Dan jika dilihat dari sudut
pandang islam, maka akan lebih meluas lagi defenisinya, karena semua ummat
islam bersaudara.
Tapi, yang mengherankan zaman sekarang ini tak jarang, malah
orang-orang yang memiliki hubungan darah, saling membenci satu dengan yang
lain, tak jarang ditemukan saudara saling membunuh memperebutkan harta orang
tuanya, anak kandung tega membunuh ayahnya, menzalimi ibunya, atau sebaliknya,
ayah yang dengan mudahnya meniduri anaknya sendiri. Dan lebih menyedihkan lagi
para pelakunya adalah orang islam.
Jika melihat kondisi islam saat ini, timbul pertanyaan
sekarang, berlakukah persaudaraan zaman lslam Berjaya dulu dengan sekarang??
Pertanyaan mudah dengan jawaban yang mudah pula. Yang sulit saat melakukan
perubahan.
Orang-orang yang berlalu lalang, ke sana ke mari dengan
mobil mewah, rumah-rumah indah laksana membangun surga dunia, adakah mereka melihat
orang-orang kecil di bawahnya?. Pernahkah mereka berfikir untuk berbagi dengan
mereka?. Dan berjuta pertanyaan muncul di baliknya.
Berbeda dengan semut, mahluk kecil ini senantiasa
meninggikan kerjasama, rela berkorban, dan intinya adalah kekeluargaan. Mereka
mencari makan bersama, membuat sarang bersama, bahkan saling menolong saat
menghadapi gangguan-gangguan. Dan masih banyak lagi aktivitas semut yang begitu
mengagumkan. Wajarlah kiranya mahluk dengan jumlah populasi terbanyak ini
mendapat kemuliaan dengan dituliskan namanya dalam kitab suci ummat Islam.
Dan tatkala makhluk Tuhan yang bernama manusia dapat
mencontoh sifat-sifat dari sang mahluk kecil tersebut, maka saat ini
kemungkinan munculnya musibah-musibah seperti, kelaparan, kemiskinan,
kebodohan, dan beribu-ribu masalah lainnya, dapat teratasi.
Namun, realita yang ada saat ini justru sebaliknya. Yang
kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Sebahagian orang yang merasa dirinya
kaya segala-galanya, tertawa jika di katakan hal demikian. “Masa kita nyontohin semut, yang benar aja, kita
mahluk paling mulia kali, mau dikemanain nih otak.” pandangan seperti inilah yang kemudian merusak
ummat kita pada akhirnya. Disadari atau tidak, persaudaraan kian rapuh,
khususnya persaudaraan ummat islam. Tak dipungkiri antar sesama sendiri saling
menghina, menghujat, bermusuhan. Saling menghormati, mengasihi, sudah jarang
terlihat.
Makin hari kian marak tindakan kriminal, di sana-sini
terdengar jeritan-jeritan tangis kelaparan, teriakan takut akan keadaan. Tak ada
rasa saling menjaga, kesibukan pada urusan diri sendiri yang makin meraja.
Ditambah pula rong-rongan dari luar Islam yang selalu ingin menghancurkan
persaudaraan kaum muslimin, mulai dari misi-misi nyata sampai cara halus
sekalipun. Dimana ketelaudanan nabi yang pernah dicontohkan pada ummatnya?
Hilangkah ia bagai baju indah berganti baju compang-camping penuh noda? Atau
terkuburkah ia bersama serpihan-serpihan puing dunia?.
Mengapa kita masih santai berpangku tangan di tengah ambang
kehancuran persaudaraan kita sendiri? Buka mata, akankah penyesalan yang kita
ingikan di akhir waktu? Atau melakukan pencegahan sebelum hal-hal tak
diingankan terjadi. Semua pilihan ada pada diri setiap individu. Tugas
selanjutnya memikirkan langkah yang akan diambil, lalu bangkitkan lagi rasa
ukhuwah islam yang sudah pernah ada.
Memberi salam misalkan, itu dianggap hal yang kecil, padahal
manfaatnya sangatlah besar. Disamping mendoakan saudara sesama muslim, juga
akan mempererat tali persauaudaraan, nah, lebih-lebih jika ditambahkan senyum
tulus, wah, akan lebih menggugah hati bagi yang menjawabnya. Jikalau memang
hanya itu yang dapat dilakukan, dari situ juga kita mulai, karena semua hal
butuh proses. Dan yakinlah, berbagi kebahagian kepada sesama senantiasa akan
mendatangkan kebahagiaan-kebahagian baru, begitupun dengan berbagi problema
hidup, dengan sendirinya akan berkurang, atau teratasi dengan mudahnya.
Satu hal yang penting, jangan mengharapkan seseorang
melakukan apa yang kita perintahkan tanpa dimulai dari diri peribadi dulu.
Rasulullah SAW sebagai nabi terakhir juga mencontokan hal ini, beliau yang
pertama melaksanakan perintah Allah swt. lalu menyuruh sanak keluarganya,
kemudian sahabat-sahabatnya. Dan akhirnya menyebar luas. Begitu pentingnya
memulai kebaikan pada diri sendiri dulu, karena merupakan suatu penilain juga,
dan yang paling penting merupakan contoh bagi orang lain.
“Nantilah,”
“Bentar,”
“Tunggu bulan
depan deh,”
“ Atau tahun
depan aja ya”
“ Ah masih
muda nih, ntar aja pas udah tua.”
Dan sederet alasan perpanjangan waktu lain yang terucap,
atau tersimpan dalam hati, merupakan penghambat terlaksananya sebuah keinginan.
Berawal dari niat memang, tapi bukan berarti niat yang terulur-ulur, karena
Jika yang ada hanya penunda-nundaan maka akan menanti juga penyesalan tanpa
akhir. Jika tidak melakukan perubahan sekarang, kapan lagi. Lebih cepatkan
lebih baik, kata salah seorang tokoh politik Indonesia.
Menunggu bukti yang lebih besar untuk bertindak, sama saja
membiarkan sebuah penyakit berkembang biak, dan pada akhirnya melumpuhkan diri.
Bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati. Walau kenyataan yang ada
penyakit renggangnya persaudaraan itu sudah tampak, setidaknya langsung ditangani
dengan pengobatan yang ampuh. Itu jika keadaan ummat muslim sekarang diandaikan
sedang terjangkit penyakit.
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar
kamu mendapat rahmat.” (QS. Al
Hujarat:10). Salah satu firman Allah SWT dalam Al Qur’an merupakan bukti bahwa tiap-tiap orang Islam itu
bersaudara, yang ikut merasakan penderitaan, rasa sakit yang dialami sesamanya,
dan senantiasa saling menolong, dan berdamai saat ada perbedaan pendapat. Nabi
Muhammad SAW telah mencontohkannya dengan para sahabat beliau dan pengikut
agama islam di masa lampau.
Kini generasi pelanjut ajaran agama Islamlah yang mengambil
alih untuk melanjutkan ajaran agama yang dibawa oleh putra Abdullah tersebut.
Termasuk menjaga persaudaraan islam. Membangkitkannya kembali dari
keterpurukan, dan membangunkannya kembali dari tidur panjangnya, hingga Islam
kembali berjaya di atas persaudaraannya yang utuh. Tidak pincang lagi, tapi
benar-benar berdiri tegak. Setegak batu karang di tengah amukan ombak laut.
Nahlatulazhar Mardiyah
Posting Komentar