Para malaikat menyebut Idul Fitri sebagai Hari Hadiah atau yaumul jaizah bagi mereka yang telah berpuasa. Bukan hanya
berupa kesucian jiwa, tetapi juga kesehatan raga. Sebab, puasa dapat membunuh
mikroba yang merusak tubuh manusia. Demikian, kata Ibnu Sina.
Secara lughawi ,
puasa itu berarti diam. Bukan saja diam dengan tidak minum dan makan. Namun
juga tidak menggunjing dan menebarkan kebencian. Bahkan bagi Madzhab Hanafi,
puasa akan menjadi batal jika bicaranya hanya bikin sakit hati.
Puasa itu setidaknya bergantung pada peran tiga organ
penting di badan. Ia adalah perut, mulut dan lidah. Patologi ketiganya sangat
menentukan bagaimana kehidupan manusia nanti. Perut disebutkan al-Quran
sebanyak 9 kali, mulut 13kali dan lidah 15 kali.
Patologi perut, Itu
terjadi karena di antaranya berlebihan, kurang berbagi atau bahkan makan dengan
yang haram. Misalnya, makan harta anak yatim (QS. An-Nisa’; 10). Sungguh, api
neraka telah masuk ke perut mereka sehingga rentan sakit, bahkan mati.
Patologi mulut, Mulut terbanyak rentan terserang sakit
akibat tiga hal:
Satu , mulutnya suka dusta. Yaquuluna bi afwahihim ma laysa fi qulubihim (QS Ali Imran: 167).
Dua , mulutnya jadi corong kebencian. Qad badatil baghdou min afwahihim. (QS. Ali Imran: 118).
Mari kita teladani, bagaimana Syekh Alawi al-Maliki di
setiap lebaran justru bersilaturahim kepada para ulama wahabi. Sebaliknya,
Syekh Ibnu Taymiyah setiap jumat mengunjungi rumah sakit dan mendoakan pasien,
meski mereka bukan saudaranya. Sungguh, itu semua karena menghindari kebencian.
Mari mengaca diri, mengapa para ulama dan kiayi di Jawa
lebih memilih Kitab Tafsir Baidhowi untuk diajarkan kepada para santrinya dari
pada Tafsir Al-Kasyaf? Ternyata karena penyajian Tafsir Al-Kasyaf Karena
cenderung mengajak untuk menyalahkan orang. Sedangkan Tafsir Baidhowi bahasanya
lebih santun.
Tiga , mulutnya suka memadamkan cahaya Ilahi. Yuriduuna ayyuthfiuu nuurallaahi biafwahihim (QS. At-Taubah: 32)
Sebagai contoh, sebagai akademisi, jadilah ilmuwan yang
menghidupkan cahaya Allah. Caranya? benarkan syariat agama dulu, baru dicari
hikmahnya sesuai dengan domain keilmuan yang dikuasai. Jadi, perkembangan ilmu
pengetahuan itu untuk menguatkan kebenaran agama.
Patologi lidah, yakni mulutnya sering menyebabkan
permusuhan. Wa yabsuthuu ilaikum
aydiyahum wa alsinatahum (QS.
Al-Mumtahanah: 2)
Bagaimana mengobatinya? Dengan puasa! Karena puasa menjaga
naluri, nurani dan nalar.
Pertama, puasa menjaga naluri. Manusia nalurinya ingin yang enak-enak. Anda
boleh membayangkan diri enaknya menjadi gubernur. Tapi ingat, banyak
membayangkan saja itu hanya akan membuat naluri kita menjadi keruh. Maka,
berpuasalah, karena akan menjernihkannya.
Abu Nuaim, dalam kitab Hilyatul Awliya menceritakan, bagaimana saat
Nabi Muhammad SAW tak sengaja melihat wanita cantik. Sehingga sebelum terbawa
dengan bayangan wanita cantik, Nabi segera pulang ke rumah dan mengumpuli
isterinya.
Oleh karena itu, kita kita melihat rumah mewah, mobil mewah,
maka segeralah pulang, dan kunjungi rumah masa depan kita, kuburan. Sebab,
kuburan akan menghapus bayangan kehidupan hedonism. Walaa tamudanna aynayka ilaa maa matta’naa
bihii… (QS. Thaha: 131)
Kedua, puasa itu menjaga nurani. Pernahkan kita membayangkan, bagaimana 300
orang di Chicago bersedia mendonorkan setiap 1 inchi kulitnya pada seorang
pasien yang didiagnosis terjangkit kangker kulit parah dan membutuh 145 inchi
kulit manusia. Puasa akan meningkatkan kebaikan diri pada sesama yang mungkin
belum bisa kita lakukan.
Ketiga, puasa menjaga nalar. Saat seorang da’i berdakwah ke Swedia, sebuah
negara yang melegalkan bunuh diri, dia mendapati nama Abdullah (warga Saudi
Aabia) yang mendaftarkan diri untuk
bunuh diri. Setelah dinasehati, Abdullah diajak ke masjid dan tertidur selama
tiga hari.
Setelah bangun, Abdullah mengaku bahwa dirinya sudah 20 hari
tidak bisa tidur. Sehingga dirinya merasa kehilangan kendali dan ingin bunuh
diri. Nasehat dan berdiam diri di masjid membuatnya tertidur. Puasa membantu
kita bagaimana seharusnya menjalani kehidupan.
Gus Qoyyum
Posting Komentar