Nampaknya, di tengah suasana bahagia di hari Idul Fitri ini, kita tidak
boleh lupa terhadap saudara, tetangga, dan anak-anak bangsa yang kurang
beruntung. Kita juga tidak boleh melupakan sejumlah masalah nasional yang
menimpa negeri tercinta ini dalam beberapa tahun terakhir, seperti: gempa bumi, banjir
bandang, bencana anak-anak yang terkena polio, gizi buruk, busung lapar,
demam berdarah, flu burung, dan flu Babi.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sedang menghadapi krisis multidimensi
ini, semua pihak harus memiliki ”sense of crisis’ bahwa kemiskinan dan
keterbelakangan telah menghimpit hampir separuh warga bangsa kita. Bukan
masyarakat kelas bawah saja yang menderita, bahkan lapisan masyarakat
menengahpun telah terkena dampaknya. Kemiskinan yang melanda masyarakat
Indonesia merupakan ujian Allah SWT agar kita bersama pemerintah dan para
pemimpin berupaya maksimal mengentaskan kemiskinan sesuai kemampuan kita.
Satukan kekuatan dan potensi umat untuk membangun bangsa dari lilitan
kemiskinan.
Selama bulan Ramadhan, kita digembleng untuk kembali kepada Al-Qur’an,
“Tadarrus Al-Qur’an”. Saya yakin, diantara bapak dan ibu yang
hadir di sini, ada yang bisa hatam 1, 2, atau bahkan 5 kali.
Pertanyaannya kemudian, apakah kondisi yang sama bisa kita jalankan di bulan
lain di luar Ramadhan? Bagaimana dengan kualitas bacaan dan
pemahaman kita terhadap Al-Qur’an? Bukankah setelah bulan Ramadhan
berlalu meninggalkan kita, seringkali al-Qur’an hanya dijadikan pajangan,
dibiarkan kumal berdebu, dan tidak pernah disentuh lagi?
Akibatnya, banyak umat
Islam yang tidak bisa memahami Al-Qur’an, dan kemudian al-Qur’an
sebagai hukum Allah itu tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh,
ini merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Wajar, akibat kelakuan umat Islam seperti itu, Allah SWT kemudian
menurunkan musibah dan azab di negara kita, karena berani melecehkan Al-Qur’an.
Allah berfirman
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى(124)قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ
كُنْتُ بَصِيرًا(125)قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ
الْيَوْمَ تُنْسَى
Selama bulan Ramadhan, kita biasa melakukan Qiyamu Ramadhan, mulai
Sholat Tarawih/Witir/I’tikaf) dan lain-lain. Pertanyaannya
kemudian, apakah kita bisa menjaga kualitas dan kuantitas sholat kita di
bulan-bulan lain seperti halnya di bulan Ramadhan?
Bukankah kita sudah sholat,
umat Islam Indonesia juga sudah sholat, tetapi mengapa di
mana-mana terjadi mungkarat dan fakhsyak, seakan-seakan
sholat yang kita lakukan itu tidak ada auranya? Bukankah para koruptor
itu sudah sholat, para pembunuh itu juga sudah sholat, bahkan orang-orang yang
meledakkan bom itu juga sudah sholat? Tetapi, mengapa sholat yang mereka
lakukan itu tidak bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana
dinyatakan dalam surat al-‘Ankabut
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Yang meleset itu janji Allah, atau yang tidak beres sholat kita?
Menyatakan janji Allah itu meleset, merupakan pernyataan yang kurang ajar.
Mengapa?
إن الله لايخلف الميعاد
Allah tidak pernah mengingkari janji-janjinya.
Untuk itu, kita harus mawasdiri, jangan–jangan, sholat yang kita
lakukan itu tidak memancing datangnya ridha Allah, sebagaimana kita pinta
dalam do’a kita setelah sholat witir:
اللهم إنا نسئلك رضاك والجنة........
Tetapi justru menyebabkan turunnnya ويل الله.. sebagaimana dinyatakan
Allah dalam surat al-Ma’un! Ingat, gemblengen Ramadhan mestinya
mendorong kita untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas sholat kita. Agar kita
makin sholeh dan toleran.
Dr. H.
Fuad Thohari, M.A, Alumnus Pesantren Al-Falah
Ploso di Kediri, dosen tetap Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Posting Komentar