Jadi ustadz zaman sekarang ini berat sekali tantangannya, karena sering jadi sasaran fitnah yang keji. Yang melakukannya bahkan jamaahnya sendiri. Sungguh kurang berakhlaq mereka itu.
Sudah tahu ustadznya tidak pernah belajar ilmu fiqih, kok dituduh dan difitnah secara keji seolah-olah dia ahli fiqih. Jamaah memang sedikit kurang ajar, masak tanya-tanya masalah hukum fiqih ke ustadz, seolah-olah ustadznya pernah belajar fiqih. Ustadz, apa hukumnya ini dan apa hukumnya itu? Bukankah ini merupakan fitnah yang keji kepada sosok ustadz?
Sudah tahu ustadznya tidak pernah belajar bahasa Arab, tapi suka ajak ngomong pakai bahasa Arab? Padahal si ustadz agak terbatas perbendaharaan kosa kata bahasa Arabnya, sebatas ana, antum, syukran, jazakallah, syafakallah, afwan, ikhwan, akhwat. Dah segitu aja tidak lebih.
Kok ditanya-tanya urusan i'rabnya suatu kata dalam ayat Quran dan hadits, apakah dia rafa', nasab atau jar. Apakah suatu kata jadi fa'il, maf'ul, khabar muqaddam atau mubtada muakhhar, hal, dan lainnya. Ini jelas-jelas fitnah yang keji kepada sosok seorang ustadz.
Sudah tahu si ustadz tidak pernah mengenyam pendidikan ilmu tafsir. Eh, malah ditanya-tanya tentang tafsir suatu ayat menurut Ibnu Abbas, Ibnu MAs'ud, Mujahid, Atha, Az-Zajjaj. Pakai tanya kitab tafsir bil-ma'tsur yang rekomended kitab apa ya?
Saya kasih tahu, itu namanya penghinaan dan pelecehan saudara. Orang nggak pernah belajar tafsir kok dituduh sebagai ahli tafsir. Pakai tanya asbabun-nuzul, siyaq, munasabah suatu ayat pula. Memang jamaah ini pada keterlaluan. Fitnah semacam ini tidak bisa didiamkan. Sebab ustadznya tidak pernah belajar ilmu-ilmu Al-Quran, kok dituduh-tuduh seperti itu?
Satu lagi yang paling kebangetan dan sudah jadi kebiasaan. Jamaah itu sukanya tanya apakah haditsnya shahih apa nggak? Lah, pak ustadz itu tidak pernah seumur-umur belajar ilmu naqd hadits. Tidak tahu kitab rijalul hadits, belum paham konsep jarh wa ta'dil, kok dituduh sebagai ahli hadits abad ini? Fitnah keji semacam ini tidak bisa ditolelir lagi. Harus dibereskan dan kalau tidak akan jadi musibah sepanjang zaman.
Ustadz itu cuma baca-baca terjemahan saja, pengetahuannya terbatas, jangan suka pada ngeledek gitu dong. Informasinya sebatas hoaks di berbagai macam group sebelah. Kok diminta analisa ilmiyah atas realitas sosio-politik kekinian? Itu sangat keji dan merendahkan ukuran seorang ustadz.
Ustadz itu cuma dapat info-info dari sesama ustadz sepergaulannya saja, yang tidak jelas sumber dan keshahihannya. Kok dijadikan rujukan utama dalam semua masalah? Ini jelas sangat menyakitkan dan menginjak-injak kapabiltias seorang ustadz.
Berhentilah saudaraku dari perbuatan suka menuduh-nuduh yang tidak benar seperti itu. Jangan lagi ada fitnah-fitnah keji di tengah kita. Berhenti dan bertaubat lah, saudara.
Perlakukan seorang ustadz sesuai kapasitasnya. Kalau tadinya artis, ya tanya-tanya gosip seputar artis saja. Minimal dihargai endors-endorsnya itu. Dibeli lah biar dia senang. Apa kek, jilbab, koko, obat jenggot, minyak wangi atau kurma, jintan hitam, madu, kadal mesir atau apa lah. Menyenangkan orang kan dapat pahala. Apalagi ini usahanya ustadz lho. Dapat berkah tuh.
Kalau dia tadinya muallaf, ya tanya seputar pengalaman jadi muallaf. Jangan tanya konsep hukum jinayat apalagi negara Islam, soalnya kita malah jadi ngerjain si ustadz. Dia akan sibuk buka literatur, mana gak bisa bahasa Arab.
Kalau dia latar belakang partai politik, wajar ceramah seputar keburukan lawan politiknya. Kan memang itu peran utamanya. Oh iya, mohon pengertiannya juga. Jangan lupa setiap dia ambil nafas dalam orasinya, mohon dihargai, minimal disambut dengan pekik berjamaah : Allahu akbar. Mohon dihargai sedikit. Masak diam saja, nanti penampilannya gak kaya politikus dong.
Kalau tadinya motivator?
Kalau dia aslinya motivator, ya mudah sekali. Ikuti saja koor dan yel-yelnya : Apa kabar hari ini? Jawab yang kompak : Subhanallah, luar biasa, Allahu Akbar. Tepuk tangan plok plok plok . . .
Kalau ustadznya tukang kawin bininya banyak? Wah, yang satu itu saya no komen!!!
Ust. Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Posting Komentar