Beberapa waktu setelah tragedi Karbala, Yazid bin Muawiyah
memerintahkan eksekusi terhadap beberapa orang jenderal sebab suatu masalah.
Salah satunya adalah lelaki yang juga terlibat dalam pembantaian di Karbala.
Karena merasa terancam, lelaki itu melarikan diri ke
Madinah. Di sana, ia menyembunyikan identitasnya dan tinggal di kediaman Imam
Ali Zainal Abidin bin Husein, cicit Rasulullah yang selamat dari pembantaian
Karbala.
Di rumah sosok yang dikenal sebagai 'as-Sajjad' (orang yang
banyak bersujud) ini, lelaki itu betul-betul dijamu dengan baik.
Ia disambut dengan sangat ramah dan disuguhi jamuan yang
layak dalam tiga hari. Setelah tiga hari, lelaki pembantai dalam tragedi
Karbala itu pamit pergi. As-Sajjad memenuhi kantong kuda lelaki itu dengan
berbagai macam bekal, air, dan makanan.
Lelaki itu sudah duduk di atas pelana kudanya, namun ia tak
kuasa beranjak. Ia termenung atas kebaikan sikap As-Sajjad. Ia merasa trenyuh
karena sang tuan rumah tak mengenali siapa dia sebenarnya.
"Kenapa engkau tak beranjak?" tegur As-Sajjad.
Lelaki itu diam sejenak, lalu ia menyahut, "Apakah engkau tidak mengenaliku, Tuan?"
Giliran As-Sajjad yang diam sejenak, kemudian ia berkata,
"Aku mengenalimu sejak kejadian di Karbala."
Lelaki itu tercengang. Ia tergugu dan memberanikan diri
bertanya, "Kalau memang engkau sudah mengenaliku, mengapa kau
masih mau menjamuku sedemikian ramah?"
As-Sajjad menjawab, "Itu (pembantaian di Karbala) adalah akhlakmu.
Sedangkan ini (keramahan) adalah akhlak kami. Itulah kalian, dan inilah
kami."
Dikisahkan oleh Syaikh Muhammad Tahir Ul Qadri, Pakistan.
Diterjemahkan oleh Santrijagad
Posting Komentar