Bagaimana jika kita memiliki harta
untuk membeli sesuatu semisal mobil, kemudian di sisi lain saudara-saudara kita
tertimpa musibah?
Ketika kita dihadapkan pada dua perkara, maka kita harus menilai dan
mendahulukan yang lebih penting dan lebih bermanfaat. Oleh karena itu, apabila
pembelian mobil masih bisa ditunda, maka akan lebih baik disalurkan untuk kaum
dhu’afa’ dari muslimin. Bahkan jika sudah menjadi suatu kewajiban (ta’ayyana
‘alaihi) seperti tidak ada lagi yang bisa membantu kecuali dia, maka haram
membeli mobil.
Diceritakan bahwa, Abdullah bin Mubarak ketika akan melaksanakan haji, di
perjalanan menemui seorang wanita yang sedang mencabuti bulu bangkai ayam, maka
Abdullah bin Mubarak menegurnya dan memberitahukan bahwa memakan bangkai itu
haram.
Perempuan itu menjawab : “berangakatlah kamu haji !. karena bagimu bangkai
ini haram namun bagiku halal”.
Abdullah bin Mubarakpun bertanya : “mengapa
demikian?”.
Jawabnya : “karena aku dalam keadaan mudhthar (terpaksa) dirumahku
ada beberapa anak yatim sedang kelaparan, maka halal bagiku memakannya”.
Abdullah bin Mubarak mulai curiga dengan ilmu agama perempuan tersebut.
Beliaupun akhirnya bertanya : “siapa anda?” .
Maka ia menyabut nama orang tua
kakek dan seterusnya, ternyata ia seorang wanita keturunan Rasulullah SAW.
Akhirnya Abdullah bin Mubarak menyatakan : “bagaimana aku akan melaksanakan
haji dan berziarah kepada Nabi sedangkan aku membiarkan cucu-Nya dalam keadaan
menderita seperti ini”.
Kemudian ia memberikan segala yang ia miliki termasuk
perbekalan hajinya kepada perempuan tersebut. Maka batallah keberangkatannya untuk
haji. Ketika orang-orang yang berhaji pulang, Abdullah bin Mubarak datang
kepada mereka untuk memberikan tahni’ah dengan mengucapkan : “Hajjan Mabrur
(mudah-mudahan hajinya mabrur), sa’yan masykur (mudah-mudahan sa’inya dibalas
kebaikan oleh Allah)”.
Mereka pun mengatakan: “kamu juga wahai Abdullah bin
Mubarak, mudah-mudahan hajimu mabrur”.
Abdullah bin Mubarak menjawab: “ tahun
ini aku tidak jadi haji”.
Sebagian dari mereka mengatakan: “kamu haji, aku
melihatmu ketika thawaf”. Ada juga yang mengatakan : “ya, akupun menyaksikanmu
ketika sa’i, bahkan aku bersama kamu ketika wuquf di Arafah”.
Kejadian ini
membuat Abdullah bin Mubarok terheran hingga ketika tertidur, beliau bermimpi
bertemu Rasulullah seraya berkata “ya Abdullah bin Mubarak, kamu telah memperhatikan
cucuku hingga kau batalkan hajimu, maka Allah mengutus malaikat yang
menyerupaimu untuk menghajikanmu setiap tahunnya hingga hari kiamat”.
Kisah ini menjadi satu gambaran betapa pentingnya bagi kita untuk
memperhatikan amalan yang paling afdhal, paling baik dan paling besar
pahalanya.
Apakah Dibenarkan menghubungkan
ayat-ayat Al qur’an dengan musibah yang terjadi, seperti waktu gempa di padang
dengan nomor surat dan ayat dalam Alquran
Mentafsiri Al-Qur’an tidak bisa dilakukan oleh semua orang, akan tetapi
harus dilakukan oleh orang-orang khusus yang ilmunya telah mumpuni. Oleh karena
itu tidaklah benar mentafsiri Al-Qur’an dengan rekaan saja. Nabi SAW bersabda :
مَنْ فَسَّرَ الْقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“ barang siapa mentafsiri Al-Qur’an dengan akal pikirannya, berarti dia telah
menyiapkan tempat siksaannya di neraka”
Kita harus melihat tafsir dari pakar-pakar tafsir yang mereka ambil dari
riwayat hadits Rasulullah atau sahabat dalam kaitan ayat-ayat tersebut. Yang
demikian lebih tepat daripada mereka-reka. Oleh karena itu, saya kurang setuju,
karena Al-Qur’an kitab Allah tidaklah diturunkan untuk main-main apalagi
sekedar untuk hitung-menghitung.
Habib Taufiq Assegaf
Posting Komentar