Puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah yakni pada
tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang artinya
bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada
hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun.
Dikatakan hadits ini dloif (kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.
Dikatakan hadits ini dloif (kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Puasa pada
hari tarwiyah menghapuskan (dosa) satu tahun, dan puasa pada hari Arafah
menghapuskan (dosa) dua tahun”(HR.
Imam Dailami di kitabnya Musnad Firdaus (2/248) dari jalan Abu Syaikh dari Ali
bin Ali Al-Himyari dari Kalbi dari Abi Shaalih dari Ibnu Abbas ra. marfu’ (yaitu sanadnya sampai kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam)
Hadits tentang puasa tarwiyah dikatakan dho’if karena sanad hadits ini ada kelemahan.
Pertama, Kalbi (sanad ketiga) yang namanya : Muhammad bin
Saaib Al-Kalbi. Dia ini seorang rawi pendusta. Dia pernah mengatakan kepada
Sufyan Ats-Tsauri, “Apa-apa
hadits yang engkau dengar dariku dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas, maka
hadits ini dusta” (Sedangkan
hadits di atas Kalbiy meriwayatkan dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas).
Imam Hakim berkata,“Ia
meriwayatkan dari Abi Shaalih hadits-hadits yang maudlu’ (palsu)”
Tentang Kalbi ini dapatlah dibaca lebih lanjut di kitab-kitab Jarh Wat Ta’dil.
Kedua, Ali bin Ali Al-Himyari (sanad kedua) adalah seorang
rawi yang majhul (tidak dikenal).
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang
paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist
Qudsi: Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia
telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu,
Rasulullah SAW bersabda:"Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan
Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api
neraka selama tujuh puluh tahun." (HR Bukhari Muslim).
Dan puasa pada hari Arafah –aku mengharap dari Allah- menghapuskan (dosa) satu
tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan datang. Dan puasa pada hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram) –aku mengharap dari Allah menghapuskan (dosa) satu
tahun yang telah lalu”. [Shahih
riwayat Imam Muslim (3/168), Abu Dawud (no. 2425), Ahmad (5/297, 308, 311),
Baihaqi (4/286) dan lain-lain]
Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits itu bukan Maudhu’ melainkan hanya dho’if. Yaitu riwayat dari jalur
lainnya yaitu dari jalur Ibnu Najjar.
صَوْمُ يَوْمَ التَّرْوِيَّةِ
كَفَارَةُ سَنَة
“Puasa pada
hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu.”
(مختصر إرواء الغليل:
1: 184)
Oleh Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih.
Dan kita tahu bahwa jumhurul ulama sepakat boleh mengamalkan hadits dho’if dalam fadhoil a’mal. Kemudian puasa Tarwiyah
tidak bisa dibilang bid’ah sehingga
haram dilakukan, karena haditsnya dari jalur lain bertaraf dho’if bukan maudhu’, dan dalil-dalil umum sudah cukup
menjelaskan kebolehannya melakukan puasa di hari Tarwiyyah.
"Dari Siti Hafshah r.a. ia berkata, ada empat macam
yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah SAW: Puasa Asyura (tanggal 10
Muharram), puasa sepuluh hari (di bulan Dzulhijjah), puasa tiga hari pada
setiap bulan dan melakukan salat dua rakaat sebelum salat subuh." (Riwayat
Ahmad dan Nasa-i dalam kitab Fiqhus Sunnah, juz I, halaman 380; dan Sunan
Nasa-i, juz IV, halaman 220)
M. Khoirul Anam
Posting Komentar