Kasus terjadi, sebuah kumpulan keluarga mengadakan sumbangan
dengan tujuan qurban. Mereka menabung setiap bulan, jika sudah mencukupi,
dananya digunakan untuk membeli hewan qurban. Tabungan itu sifatnya individu.
Artinya, tiap orang menabung hanya untuk dirinya sendiri, bukan berkelompok.
Tiap anggota dipastikan kebagian jatah berkurban jika tabungannya cukup.
Cara qurban di atas bukan bagian
dari nadzar. Qurban berubah wajib jadi nadzar jika diucapkan dengan lafadl
(perkataan). Niat saja tidak cukup disebut nadzar karena belum ada bukti ikrar
secara lisan. Dalam menyatakan nadzar, orang tidak harus menggunakan kata
nadzar atau aku bernadzar, “yang penting di sana ada kalimat iltizam ala Allah,
menyanggupi atas nama Allah, bisa disebut nadzar".
Contoh nadzar misalnya mengatakan falillahi alayya an
atashoddaqo/ aku niat sedekah wajib karena Allah, atau falillahi alayya an
usholliya/ karena Allah saya wajibkan diri untuk sholat. Pada dua susunan
kalimat tersebut tidak disebut kata nadzar, tapi sah dibuat sebagai nadzar.
Ini berbeda dengan kasus perkataan “ini kambingku” untuk
menjawab pertanyaan orang lain “ini kambing untuk apa”. Bentuk kalimat tersebut
masih diperdebatkan masuk jenis nadzar atau tidak. Ada yang menyebutnya ja’lu
(pernyataan kepemilikan individu), ada juga yang menyebutnya nadzar. Keterangan
itu bisa dilihat dalam Kitab al-Bajuri, I’anatuth Thalibin maupun Bughyatul
Musytarsyidin. Menurut Ain Syin (Ali Syibromalisi), itu bukan termasuk nadzar.
Sebab itu kalimat lumrah yang biasa terjadi di masyarakat.
Jika Anda dari pasar membawa kambing, lalu ditanya orang di
tengah jalan, “itu kambing untuk apa kang?”, jika Anda jawab kalau hewan itu
“untuk qurban sunnah”, maka Anda selamat dari perdebatan ulama. Sebab ada ulama
yang mengatakan jika hanya menjawab “untuk qurban”, ada ulama yang menyebut
sudah jadi nadzar Qurban.
“Yang paling selamat lagi kalau ada orang yang bertanya
kambing itu untuk apa? Lalu dijawab; pengen tahu aja atau pengen tahu banget?
Itu selamat dari khilaf”.
Sah juga misalnya ada 7 orang sepakat bergantian menerima
jatah hewan qurban setiap tahun walau uang yang digunakan untuk membeli hewan
tersebut adalah gabungan dari puluhan orang, “itu sah karena sudah menjadi
milik kita, sama seperti arisan".
Lalu bagaimana jika satu hewan qurban digunakan untuk
kepentingan beragam. “Itu tidak apa-apa, tapi semuanya
harus diberikan kepada muslim".
Terjadi masalah jika ada yang qurban nadzar dan qurban
sunnah dalam kasus pencampuran niat di atas. Misalnya, si A berniat
melaksanakan qurban sunnah, si B untuk qurban nadzar, si C melaksanakan aqiqah
sunnah, si D berniat aqiqah nadzar, sementara si D hanya ingin mayoran dan
seterusnya, maka untuk mempermudah distribusi daging qurban, caranya harus ada
pembagian sepertujuh per niat masing-masing.
Bagi yang beraqiqah, jika daging yang dibagikan itu nantinya
mentah semua, tetap sah. Cuma yang paling baik jika dibagikan dalam kondisi
matang. Sebagaimana qurban juga lebih baik jika dagingnya dibagikan dalam kondisi
mentah. Justru jika daging qurban dibagikan semuanya dalam kondisi matang, jadi
tidak sah. Harus ada sebagian dari daging qurban itu yang mentahan.
Dan ingat, hewan yang diniatkan qurban harus miliknya
sendiri. Pernah kejadian lucu ketika seorang pejabat bertanya via
telpon. Ketika itu ia menerima sumbangan dua ekor kerbau dari sebuah pabrik
rokok, “daripada dipotong kok eman, bagaimana kalau panitia meniatkan saja jadi
hewan qurban?” Kiai Arifin hanya menjawab, “lha iku kebone sopo kang kok angger
mbok niati". Kiai Arifin menjelaskan jika pabrik rokok tersebut
memberikan sumbangan, lalu diterimakan kepada kita misalnya, itu baru bisa
diniatkan jadi qurban.
KH. Arifin Fanani adalah pengajar fiqih di MA TBS Kudus dan
pengasuh PP. MUS Yanbuul Qur'an Kudus
Posting Komentar