Sebuah pernikahan didahului oleh pilihan bebas yang penuh kesadaran dan
tanggung jawab. Masa awal-awal pernikahan merupakan masa dimulainya perjuangan
untuk memupuk rasa simpati dan menyuburkannya menjadi cinta.
Al-Quran menyebut cinta antara Suami-Istri dengan kata afdha. Maknanya,
seperti keterbukaan angkasa raya. Dalam cinta yang demikian, tak ada lagi sikap
yang penuh pura-pura. Suatu kali, mungkin kita akan mendatangi istri dengan
setumpuk masalah dan kita tak sedikitpun ragu untuk mengeluhkan beban dan
bahkan mungkin menangis di pangkuannya. Meski, ketika kita di luar rumah, kita
tetap tegar dengan air muka yang selalu ceria. Suatu ketika, Nabi agung
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Bunda Khadijah radhiallahu
‘anha dalam keadaan gelisah dan ragu seusai mendapat wahyu pertama. Dengan
kelembutannya, Bunda Khadijah ra menenangkan dan menguatkan hati Nabi.
Saya tercengang dengan kalimat Umar ibn Khattab ra. Katanya, seorang
laki-laki akan menjadi anak-anak ketika ia hanya berdua bersama Istrinya.
Sebaliknya, Nabi juga memiliki sikap yang sangat hangat kepada setiap
Istrinya. Saat itu Nabi bersama beberapa sahabat. Seorang utusan datang membawa
nampan makanan. Ketika mengetahui nampan itu berasal dari Ummu Salamah ra,
Aisyah ra langsung menampakkan kecemburuannya yang luar biasa. Nampan itu ia
lempar sehingga pecah. Nabi tersenyum dan beliau hanya bilang sekedarnya saja
pada para sahabatnya, “Ibu kalian sedang cemburu”. Ada teladan luar biasa dalam
setiap jengkal hidup Nabi.
Suatu ketika, ada sahabat yang mengadu pada Umar ra perihal Istrinya yang
marah-marah kepadanya. Sahabat itu mendapatkan jawaban Umar ra yang tak
disangka. “Istriku juga marah kepadaku, tapi aku diam saja. Ia yang mengurus
rumahku, mencuci pakaianku, memasak makanan untukku dan merawat anak-anakku. Ia
berhak untuk marah kepadaku kalau aku juga tak menurut kepadanya.” Ada teladan
yang tak biasa dalam setiap jengkal hidup para sahabat.
Setiap pasangan tentu selalu mendambakan lahirnya cinta sejati. Demikian
juga kita, saya yakin pasti juga merindukannya. Bagi saya, teladan cinta sejati
adalah cinta yang dimiliki dan disuguhkan oleh Muhammad shalallahu ‘alaihi wa
sallam pada Bunda Khadijah radhiallahu ‘anha. Bukan putri Cinderella dan pangerannya.
Bukan pula Romeo dan Juliet. Atau kisah-kisah asmara dalam buku dan
sandiwara-sandiwara picisan.
Tentu saja, cinta pasangan Nabi dan Ibu kaum mukminin itu terlalu sempurna
buat kita. Barangkali jaraknya sejauh bumi dan langit. Tapi, setidaknya kita punya
cermin utama bagaimana kelak kita harus mengambil sikap, melahirkan cinta itu
dan kemudian merawatnya dengan hangat. Jika Allah menghendaki Nabi sebagai
uswah hasanah manusia, maka teladan itu pasti bisa diraih. Sesulit dan sesusah
apapun pasti bisa digapai. Dari sini perjuangan untuk melanggengkan pernikahan
dimulai.
Dari sini perjuangan untuk tetap setia pada mitsaqan ghalizha menjadi
nyata. Dari sini, semoga doa Nabi untuk mempelai bisa terwujud, ada ketenangan,
cinta kasih dan rahmah. Ada sakinah, ada mawaddah, dan ada rahmah.
Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, memantaskan kita untuk
dikejutkan dengan hadiah dari langit, pasangan yang shalih dan shalihah. Amin.
Rahmad

Posting Komentar