Imam Syafi’I berpendapat bahwa lelaki yang punya wudlu
ketika bersentuhan kulit dengan perempuan yang bukan mahram adalah batal
wudlunya, baik yang disentuh maupun yang menyentuh. Hal ini sebagaimana
terungkap dalam Kitab Fiqih Manhajy:
ﻟﻤﺲ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺯﻭﺟﺘﻪ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻷﺟﻨﺒﻴﺔ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺣﺎﺋﻞ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻨﻘﺾ ﻭﺿﻮﺅﻩ
ﻭﻭﺿﻮﺅﻫﺎ ﻭﺍﻷﺟﻨﺒﻴﺔ ﻫﻲ ﻛﻞ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻳﺤﻞ ﻟﻪ ﺍﻟﺰﻭﺍﺝ ﺑﻬﺎ ( ﺍﻟﻔﻘﻪ ﺍﺍﻟﻤﻨﻬﺠﻲ 1/63 )
“Laki-laki yang menyentuh istrinya dan perempuan ajnaby dengan
tanpa penghalang, maka sesungguhnya adalah bisa membatalkan wudlunya dan wudlu
yang disentuh. Dan yang dimaksud dengan perempuan ajnaby adalah tiap-tiap perempuan
yang halal baginya dinikah.”
Qaul ini adalah berlandaskan pada Firman Allah SWT:
ﻭﺇﻥ ﻛﻨﺘﻢ ﻣﺮﺿﻰ ﺃﻭ ﻋﻠﻰ ﺳﻔﺮ ﺃﻭ ﺟﺎﺀ ﺃﺣﺪ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﺎﺋﻂ ﺃﻭ ﻻﻣﺴﺘﻢ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ
ﻓﻠﻢ ﺗﺠﺪﻭﺍ ﻣﺎﺀ ﻓﺘﻴﻤﻤﻮﺍ ﺻﻌﻴﺪﺍ ﻃﻴﺒﺎ
Dan jika kalian sakit atau sedang bepergian atau seseorang
yang dilanda hajat buang air besar, atau kalian menyentuh para istri kalian,
kemudian tidak menemukan air, maka bertayamumlah dengan menggunakan debu yang
baik.”
Dalil di atas secara shorih menunjukkan perintah bertayammum
setelah menyentuh istri. Mafhum muwafaqahnya, berarti perintah berwudlu untuk
kasus yang sama jika didapati adanya air.
Dalam Kitab Al Muwatha’ Imam Malik, disampaikan sebuah
hadits:
ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ : ﻗﺒﻠﺔ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ
ﻭﺣﺴﻬﺎ ﺑﻴﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻼﺍﺑﺴﺔ , ﻓﻤﻦ ﻗﺒﻞ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﺃﻭ ﺣﺴﻬﺎ ﺑﻴﺪﻩ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ( ﺍﻟﻤﻮﻃﺄ ,
2/65 )
Dari Abdullah bin Umar R.A., sesungguhnya dia berkata:
menciumnya suami ke istrinya dan meraba tangan dengannya, atau menyentuhnya,
[dalam hal ini] maka barangsiapa [seseorang] mencium istrinya dan meraba
tangannya, maka bagi dia wajib berwudlu.”
Masalahnya, lantas bagaimana cara kita memahami hadits yang
menjelaskan bahwa Nabi SAW menyentuh sebagian dari istri-istri beliau padahal beliau
punya wudlu? Sebagaimana hadits:
ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺯﻭﺝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻧﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ : ﻛﻨﺖ ﺃﻧﺎﻡ ﺑﻴﻦ
ﻳﺪﻱ ﺭﺳﻮ ﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺭﺟﻼﻱ ﻓﻲ ﻗﺒﻠﺘﻪ ﻓﺈﺫﺍ ﺳﺠﺪ ﻏﻤﺮﻧﻲ ﻓﻘﺒﻀﺖ ﺭﺟﻠﻲ ﻓﺈﺫﺍ
ﻗﺎﻡ ﺑﺴﻄﺘﻬﻤﺎ ( ﺻﺤﻴﺢ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ : 369 )
"Dari Siti Aisyah R.A. istri Nabi SAW berkata: Suatu ketika
aku sedang tidur di hadapan Rasulullah SAW [yang sedang sholat], dan kedua
kakiku berada di arah Qiblat beliau. Ketika beliau hendak bersujud, beliau
mengangkatku [kedua kakiku/menyingkirkannya] dan lantas aku menahannya [kaki],
dan selanjutnya ketika beliau berdiri, maka aku juntaikan keduanya lagi.”
Terhadap hadits ini, wajib bagi kita memahaminya bahwa
menyentuhnya Nabi terhadap kaki Siti Aisyah adalah dengan adanya penghalang dan
bukannya bersentuhan kulit secara langsung. Maksud dari hadits ini secara jelas
disampaikan oleh Imam Nawawy dalam Kitab Beliau Al-Majmu’, sebagaimana
pernyataan beliau:
" ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ ﻋﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ ﻓﻲ ﻭﻗﻮﻉ ﻳﺪﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﺑﻄﻦ
ﻗﺪﻡ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﻓﻮﻕ ﺣﺎﺋﻞ ( ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ , 2/22 )
“Jawab terhadap permasalahan dari Hadits Aisyah R.A. pada
kasus jatuhnya tangan beliau di atas bathin kaki Nabi SAW adalah di atas suatu
penghalang.”
Jadi, terdapatnya penghalang yang menghalangi persentuhan
kulit inilah yang menyebabkan tidak batalnya wudlu Nabi SAW di tengah beliau
sedang sholat dan secara tidak sengaja kejatuhan tangan Siti Aisyah yang sedang
tidur di samping beliau.
PISS-KTB

Posting Komentar