“Apabila anda ingin Allah SWT membuka pintu harapan padamu, maka lihatlah
apa yang dianugerahkan dariNya kepadamu. Dan apabila anda ingin Allah membuka
pintu kesedihan padamu, maka lihatlah apa yang engkau lakukan bagiNya.”
Harapan
dan kesedihan, adalah dua hal yang terus berdampingan. Karena adanya
harapanlah, seseorang mulai optimis dan terbuka masa depannya. Khususnya masa
depan dengan Sang Pencipta.
Namun, sepanjang yang disebut harapan, semata juga karena dibuka oleh
Allah SWT, berupa kepatuhan dan ketaatan kita. Apa pun yang dari Allah SWT,
senantiasa membuka harapan kita, karena seluruh ketaatan kita, kebajikan kita,
semuanya dari Allah, bukan dari diri kita.
Namun juga sebaliknya, bila kita mengingat apa yang ada pada kita berupa
kontra dengan Allah SWT, kemaksiatan dan dosa-dosa kita, pastilah kita akan
sedih dan duka. Bahkan kalau toh kita menengok masa lalu kita, kita tetap saja sedih,
karena apa yang kita berikan kepadaNya, tak ada apa-apanya, apalagi jika
dibanding yang yang datang dari Allah SWT kepada kita.
Oleh sebab itu beliau melanjutkan:
“Kadang-kadang Allah memberikan makna guna kepadamu dalam kelamnya Qobdh
(Genggaman Ilahi yang mencekam), yang tidak anda dapatkan maknanya ketika anda
dalam suasana kelapangan siang hari (seperti siang yang terang).”
Betapa seringnya kita raih hikmah-hikmah yang menghantar kita untuk taqarrub
kepadanya dibalik cobaan yang mencekam, yang kita tidak dapatkan ketika kita
diberi kelapangan dada, kemudahan dan kesehatan dan murahnya rizki anda.
Disinilah para ‘arifun lebih memilih meraih Qabdhnya Allah dibanding suasana
lapang dan mudah dariNya. Sebab betapa seringnya orang tergelincir karena kemudahan
dan kelapangan. Sedangkan ketika diberi cobaan, hatinya remuk redam dalam sikap
ubudiyah kepadaNya, penuh rasa hina dina, fakir, tak berdaya dan lemah.
Ngaji Kitab Hikam

Posting Komentar