Abu Abdillah bin Salim Al-Bashri, yang bernama asli Muhammad bin
Ahmad bin Salim, dimasukkan oleh Maulana Abdurrahman Jami, dalam bukunya yang
berjudul Nafahatal-Uns, sebagai sufi yang berasal dari Bashrah. Sebab dia menetap
di Bashrah selama 60 tahun. Ketika masih muda, dia menjadi murid dan sekaligus
sebagai penganut tarekat sufisme Sahl bin Abdullah At-Tustari (200- 261
H/815-874 M). Sewaktu masa menjadi murid usai, dia masih tetap bertiikdmat kepada
Sahl hingga masa tuanya.
Ajaran Sahl yang diterimanya menitikberatkan pada ikhtiar,
mujahadah, dan latihan zuhud. Dengan mengikuti ajaran Sahl, Abu Abdillah bin
Salim ingin mencapai kesempurnaan mujahadah. Sahi pernah berucap kepada para
muridnya, termasuk dirinya, “Berusaha-keraslah untuk berucap secara
terus-menerus selama satu hari ‘Ya Allah, ya Allah, ya Allah’, dan lakukanlah
hal yang sama pada keesokan hari dan lusanya hingga kau terbiasa dengan
mengucapkan kata-kata itu.”
Kemudian Sahl memerintahkannya untuk mengulang-ulangnya di malam
hari, dan akhirnya ia terbiasa mengucapkannya sekalipun dalam keadaan tidur. Selanjutnya Sahl mengajarkan lagi, “Jangan ulangi lagi itu, tetapi
biarkan semua indramu terikat untuk berdziklr kepada Allah.”
Seorang murid, ketika dalam perjalanan pulang ke rumah, tertimpa
sebuah kayu, dan mengalirlah darah hingga menetes ke tanah. Subhanallah,
tetesan darah di tanah itu membentuk lafaz Allah.
Tarekat Sahli mendidik murid dengan perbuatan mujahadah dan
disiplin. Obyek semua disiplin keras dan amalan mujahadah adalah penolakan
kepada jiwa yang rendah, sehingga seseorang mengetahui jiwa rendahnya tersebut.
Ibnu Salim Al-Kabir, begitulah ia disebut, demi membedakannya
dengan putranya yang mendapat panggilan Ibnu Salim Ash-Shagir, pernah
mengucapkan sesuatu yang kontroversial. “Pada zaman azali (tak bermula dalam
zaman), Allah melihat (ra’a) segala sesuatu.”
Menanggapi pernyataan itu, Syaikh Abu Abdillah bin Khafif, salah
seorang sufi besar waktu itu, mengatakan, “Pernyataan itu berkonsekuensi logis
menetapkan keqidaman (tak berawalnya) zaman.”
Salah seorang sufi mengatakan, “Bisa juga yang dimaksud Syaikh Abu
Abdillah bin Salim dengan ru’yah (melihat) dalam pernyataan itu adalah
mengetahui.” Karena pernyataan Abu Abdillah bin Salim itu, masyarkat Bashrah
mendiamkan dan menjauhinya.
Pada masa tuanya, Abu Abdillah bin Salim banyak menerima
pertanyaan. Salah satunya, “Dengan ukuran apa kita bisa mengenali wali Allah
di antara sekian manusia?” Pertanyaan Inilah yang menguras pengetahuannya, sebab prinsip dan
dasar tasawuf dan pengetahuan Ilahi terdapat pada kewalian.
Wali dalam makna aktif adalah “orang yang berhasrat” (murid).
Sementara dalam makna pasif, wali menunjuk pada “orang yang menjadi obyek
‘hasrat’ Allah” (murad). Allah bisa menjadi pelindung sahabat-sahabat-Nya, dan
Dia menjanjikan perlindungan-Nya kepada para sahabat Rasul, dan menyatakan
bahwa orang yang tidak beriman tidak mempunyai pelindung (mawla).
Abu Abdillah bin Salim menjawab setiap pertanyaan dengan
kelembutan tutur, kebaikan budi, keceriaan wajah, dan kemurahan hati. la
mengasihi semua manusia, tanpa memandang baik dan buruk budi mereka. Abu Abdillah bin Salim meninggal
di Bashrah (Irak) pada tahun 297 H/910 M.
Diambil oleh Al Kisah dari Kitab Nafahat al-Uns

Posting Komentar