Bagaimana hukum orang
yang menerima gadai dengan mengambil manfaatnya, misalnya, sebidang tanah yang
digadaikan, kemudian diambil hasilnya dengan tanpa syarat pada waktu akad
diadakan demikian itu, baik sudah menjadi kebiasaan atau sebelum akad memakai syarat
atau dengan perjanjian tertulis, tetapi tidak dibaca pada waktu akad, hal
demikian itu apakah termasuk riba yang terlarang atau tidak?.
Dalam masalah ini
terdapat tiga pendapat dari para ahli hukum (ulama):
1. Haram, sebab termasuk
hutang yang dipungut manfaatnya (rente).
2. Halal, sebab tidak ada
syarat pada waktu akad, sebab menurut ahli hukum yang terkenal, bahwa adat yang
berlaku itu tidak termasuk syarat.
3. Syubhat (Tidak tentu
jelas halal haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat.
Dan yang lebih
berhati-hati ialah pendapat yang pertama (haram), sesuai dengan keputusan Muktamar
Nahdlatul Ulama.
Dalam Kitab Asybah Wa
al-Nazha’ir dijelaskan sebagai berikut:
لَوْ عَمَّ فِي النَّاسِ
اِعْتِيَادُ إِبَاحَةِ مَنَافِعِ الرَّهْنِ لِلْمُرْتَهِنِ فَهَلْ يَنْزِلُ مَنْزِلَةَ
شَرْطِهِ حَتَّى يَفْسُدَ الرَّهْنُ قَالَ الْجُمْهُوْرُ لاَ وَقَالَ الْقَفَّالُ نَعَمْ.
Seandainya sudah umum
di masyarakat kebiasaan kebolehan memanfaatkan barang gadai bagi pemberi
pinjaman/penerima gadai, apakah kebiasaan itu dianggap sama dengan
menjadikannya sebagai syarat, sehingga akad gadainya rusak? Jumhur ulama
berpendapat: “Tidak diposisikan sebagai syarat.” Sedangkan al-Qaffal
berpendapat: “Ya (diposisikan sebagai syarat).
Selanjutnya, dalam Fath
al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin dijelaskan sebagai berikut:
وَجَازَ لِمُقْرِضٍ نَفْعٌ
يَصِلُ لَهُ مِنْ مُقْتَرِضٍ كَرَدِّ الزَّائِدِ قَدْرًا أَوْ صِفَةً وَاْلأَجْوَدِ
لِلرَّدِئِ (بِلاَ شَرْطٍ) فِي الْعَقْدِ بَلْ يُسَنُّ ذَلِكَ لِمُقْتَرِضٍ إِلَى أَنْ
قَالَ وَأَمَّا الْقَرْضُ بِشَرْطِ جَرِّ نَفْعٍ لِمُقْتَرِضٍ فَفَاسِدٌ لِخَبَرٍ كُلُّ
قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا. (قَوْلُهُ فَفَاسِدٌ) قَالَ ع ش، وَمَعْلُوْمٌ
أَنَّ مَحَلَّ الْفَسَادِ حَيْثُ وَقَعَ الشَّرْطُ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ. أَمَّا لَوْ
تَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلاَ فَسَادَ .
Diperbolehkan bagi si
pemberi pinjaman untuk memperoleh keuntungan (sesuatu kelebihan) dari peminjam,
seperti pengembalian yang lebih dalam ukuran atau sifatnya, dan yang lebih baik
pada pinjaman yang jelek, asalkan tidak disebutkan dalam akad sebagai
persyaratan, bahkan disunatkan bagi peminjam untuk melakukan yang demikian itu
(mengembalikan yang lebih baik lagi dibandingkan barang yang dipinjamnya).
Adapun peminjaman
dengan syarat adanya keuntungan bagi pihak pemberi pinjaman, maka hukumnya
fasid, sesuai dengan hadis “Semua peminjaman yang menarik sesuatu manfaat
(keuntungan bagi pemberi pinjaman) maka termasuk riba.”
Dengan demikian
diketahui bahwa rusaknya akad tersebut jika memang disyaratkan dalam akad.
Sedangkan jika keduanya si peminjam dan pemberi pinjaman secara kebetulan
(melakukan praktik tersebut), dan tanpa disyaratkan dalam akad, maka akad itu
tidak rusak (boleh).
Ahkamul Fuqaha No. 28/Keputusan
Muktamar Nahdlatul Ulama ke-2 di Surabaya pada 12 Rabiuts Tsani 1346 H./9
Oktober 1927 M)

Posting Komentar