Memupuk amal
shalih semestinya dilakukan sejak muda. Dengan begitu, perjalanan hidup kita
akan sarat dengan amal kebaikan sebagai syarat mencapai khusnul khatimah, akhir
kehidupan yang baik. Namun, kalau
usia ditakdirkan sampai lanjut, lalu belum juga menyadari pentingnya memupuk
amal baik, tentu ini suatu musibah dan perlu diingatkan.
Tidak sedikit orang yang mendapat petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
ketika usia senja. Tapi karena dia mampu manfaatkan seluruh waktu sisanya untuk
beramal baik, akhirnya bisa mendapatkan khusnul khatimah.
Orang tersebut sangat mensyukuri petunjuk yang diperoleh itu. Dia terima
sebagai satu karunia besar sebagai bukti kasih sayang Allah kepadanya. Dia
begitu ngeri membayangkan betapa celakanya seandainya masih berlarut-larut
dalam kezhaliman sampai tiba ajalnya.
Kalau seseorang memperturutkan keinginan hawa nafsu, sampai kapanpun tidak akan
berhenti. Tidak sedikit orang yang sampai tua tidak pernah berpikir untuk
melakukan amal baik sebagai bekal paling berharga untuk hari esok yang abadi.
Tidak memanfaatkan uangnya, misalnya, untuk membantu kesulitan orang lain dan
kemaslahatan umat.
Kegembiraannya adalah bila harta bendanya terus bertambah. Dengan sejumlah
harta yang dimiliki itu, alangkah indahnya kalau sebagian disalurkan kepada
orang-orang miskin. Jelas, itu berarti membahagiakan sekian banyak orang
sekaligus bakal mendatangkan ganjaran di sisi Allah.
Tentu saja tidak dilarang mencari dan meraup apa saja yang mampu diperoleh,
asal dengan cara yang benar dan tidak bakhil. Orang bakhil diancam oleh Allah
dengan neraka.
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ
الَّذِي جَمَعَ مَالاً وَعَدَّدَهُ
يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ
كَلَّا لَيُنبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ
“Kecelakaanlah bagi
setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan
menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.
Sekali-sekali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam
huthamah (neraka).” (Al-Humazah: 1-4)
Sebenarnya, selain ancaman kecelakaan di akhirat yang sudah sangat pasti, di
dunia inipun orang tersebut akan merasakannya. Sejumlah uang dan harta yang
dikumpulkan akan mengganggu pikiran dan perasaannya dikala sudah renta. Sebab
pada saat seperti itu, kebutuhan terhadap makanan yang enak-enak sudah menurun.
Demikian pula keinginan untuk berjalan-jalan, misalnya, sudah terganggu oleh
mata yang makin kabur. Pendengaran juga sudah tidak jelas. Lalu apa yang bisa
dinikmati dan dibangga-banggakan?
Malah bisa jadi anak dan cucunya akan bergantian datang memperbodohnya agar
dapat menguras seluruh harta kekayaannya!
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan, “Anak cucu Adam akan menjadi tua renta,
namun ada dua hal yang masih tetap bersamanya, yaitu rakus dan panjang
angan-angan.” (Riwayat Muslim)
Oleh karena itu, kedua hal di atas tidak boleh dituruti. Itu adalah tantangan
yang harus dilawan dengan keimanan dan keyakinan yang terpatri di dalam jiwa.
Sebagai orangtua, siapapun harus berpikir positif. Kecenderungan untuk rakus
terhadap dunia hendaknya dibendung dan diredam. Apalagi kalau kebiasaan menipu
dan meraih kekayaan dengan manipulasi masih dipertahankan, na’udzu billahi min dzalik.
Angan-angan yang masih jauh beterbangan untuk membangun istana yang lebih indah
daripada yang ada sekarang, hendaknya sudah diikat dan diarahkan kepada
cita-cita untuk mendapatkan istana di surga. Untuk itu, memiliki harta di usia
lanjut itu adalah karunia yang harus disalurkan ke jalan yang diridhai Allah. Hal lain yang tak kalah penting adalah memanfaatkan waktu untuk banyak
berdzikir, merenung, dan istighfar.
Kehidupan Abu Dzar Al-Ghiffari, salah seorang sahabat Nabi, sangat patut
dijadikan pelajaran. Pada usia tuanya, dia memilih tinggal di sebuah kemah yang
jauh dari keramaian. Hari-harinya lebih banyak diisi dengan puasa, dzikir,
membaca, dan berpikir.
Seorang sahabat mengunjunginya lalu bertanya, “Dimana kekayaan duniamu?”
Dia menjawab, “Aku tidak membutuhkan dunia di rumahku. Bukankah Rasulullah
telah berpesan kepada kita bahwa, ‘Di depan nanti akan ada tantangan yang
sangat berat dan hanya orang yang tidak dibebani dunia yang mampu
melewatinya’?”
Ibnu Taimiyyah, di masa tuanya tidak punya rumah, kekayaan,
pangkat, dan kedudukan. Tempat tinggalnya cuma sebuah kamar kecil yang menempel
di Masjid Jami’ Bani Umayyah. Sehari hanya makan sepotong roti, pakaiannya
hanya dua lembar, dan terkadang tidurnya di masjid. Tapi dia ceritakan tentang
dirinya, “Surgaku ada di dalam dadaku, kematianku adalah syahid, penjara bagiku
adalah tempat merenung, dan pengusiran diriku adalah sebuah perjalanan wisata.”
Mungkin kehidupan seperti itu sulit kita ikuti. Tapi, marilah menyadari betapa
indahnya kehidupan orang yang tidak diperbudak oleh dunia. Demikianlah kondisi
orang yang telah mampu mematri iman di dalam dadanya dan mengerti hakikat hidup
yang sebenarnya. Yang demikian ini kebahagiaannya jauh melebihi orang-orang
yang masih mudah tertarik gebyar dunia.
Ust. Manshur Salbu

Posting Komentar