Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Memupuk Amal di Usia Senja (1)

Memupuk Amal di Usia Senja (1)

Memupuk amal shalih semestinya dilakukan sejak muda. Dengan begitu, perjalanan hidup kita akan sarat dengan amal kebaikan sebagai syarat mencapai khusnul khatimah, akhir kehidupan yang baik. Namun, kalau usia ditakdirkan sampai lanjut, lalu belum juga menyadari pentingnya memupuk amal baik, tentu ini suatu musibah dan perlu diingatkan.

Tidak sedikit orang yang mendapat petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika usia senja. Tapi karena dia mampu manfaatkan seluruh waktu sisanya untuk beramal baik, akhirnya bisa mendapatkan khusnul khatimah.

Orang tersebut sangat mensyukuri petunjuk yang diperoleh itu. Dia terima sebagai satu karunia besar sebagai bukti kasih sayang Allah kepadanya. Dia begitu ngeri membayangkan betapa celakanya seandainya masih berlarut-larut dalam kezhaliman sampai tiba ajalnya.

Kalau seseorang memperturutkan keinginan hawa nafsu, sampai kapanpun tidak akan berhenti. Tidak sedikit orang yang sampai tua tidak pernah berpikir untuk melakukan amal baik sebagai bekal paling berharga untuk hari esok yang abadi. Tidak memanfaatkan uangnya, misalnya, untuk membantu kesulitan orang lain dan kemaslahatan umat.

Kegembiraannya adalah bila harta bendanya terus bertambah. Dengan sejumlah harta yang dimiliki itu, alangkah indahnya kalau sebagian disalurkan kepada orang-orang miskin. Jelas, itu berarti membahagiakan sekian banyak orang sekaligus bakal mendatangkan ganjaran di sisi Allah.

Tentu saja tidak dilarang mencari dan meraup apa saja yang mampu diperoleh, asal dengan cara yang benar dan tidak bakhil. Orang bakhil diancam oleh Allah dengan neraka.

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ
الَّذِي جَمَعَ مَالاً وَعَدَّدَهُ
يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ
كَلَّا لَيُنبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-sekali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam huthamah (neraka).” (Al-Humazah: 1-4)

Sebenarnya, selain ancaman kecelakaan di akhirat yang sudah sangat pasti, di dunia inipun orang tersebut akan merasakannya. Sejumlah uang dan harta yang dikumpulkan akan mengganggu pikiran dan perasaannya dikala sudah renta. Sebab pada saat seperti itu, kebutuhan terhadap makanan yang enak-enak sudah menurun. Demikian pula keinginan untuk berjalan-jalan, misalnya, sudah terganggu oleh mata yang makin kabur. Pendengaran juga sudah tidak jelas. Lalu apa yang bisa dinikmati dan dibangga-banggakan?

Malah bisa jadi anak dan cucunya akan bergantian datang memperbodohnya agar dapat menguras seluruh harta kekayaannya!

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan, “Anak cucu Adam akan menjadi tua renta, namun ada dua hal yang masih tetap bersamanya, yaitu rakus dan panjang angan-angan.” (Riwayat Muslim)

Oleh karena itu, kedua hal di atas tidak boleh dituruti. Itu adalah tantangan yang harus dilawan dengan keimanan dan keyakinan yang terpatri di dalam jiwa.

Sebagai orangtua, siapapun harus berpikir positif. Kecenderungan untuk rakus terhadap dunia hendaknya dibendung dan diredam. Apalagi kalau kebiasaan menipu dan meraih kekayaan dengan manipulasi masih dipertahankan, na’udzu billahi min dzalik.

Angan-angan yang masih jauh beterbangan untuk membangun istana yang lebih indah daripada yang ada sekarang, hendaknya sudah diikat dan diarahkan kepada cita-cita untuk mendapatkan istana di surga. Untuk itu, memiliki harta di usia lanjut itu adalah karunia yang harus disalurkan ke jalan yang diridhai Allah. Hal lain yang tak kalah penting adalah memanfaatkan waktu untuk banyak berdzikir, merenung, dan istighfar.

Kehidupan Abu Dzar Al-Ghiffari, salah seorang sahabat Nabi, sangat patut dijadikan pelajaran. Pada usia tuanya, dia memilih tinggal di sebuah kemah yang jauh dari keramaian. Hari-harinya lebih banyak diisi dengan puasa, dzikir, membaca, dan berpikir.

Seorang sahabat mengunjunginya lalu bertanya, “Dimana kekayaan duniamu?”

Dia menjawab, “Aku tidak membutuhkan dunia di rumahku. Bukankah Rasulullah telah berpesan kepada kita bahwa, ‘Di depan nanti akan ada tantangan yang sangat berat dan hanya orang yang tidak dibebani dunia yang mampu melewatinya’?”

Ibnu Taimiyyah, di masa tuanya tidak punya rumah, kekayaan, pangkat, dan kedudukan. Tempat tinggalnya cuma sebuah kamar kecil yang menempel di Masjid Jami’ Bani Umayyah. Sehari hanya makan sepotong roti, pakaiannya hanya dua lembar, dan terkadang tidurnya di masjid. Tapi dia ceritakan tentang dirinya, “Surgaku ada di dalam dadaku, kematianku adalah syahid, penjara bagiku adalah tempat merenung, dan pengusiran diriku adalah sebuah perjalanan wisata.”

Mungkin kehidupan seperti itu sulit kita ikuti. Tapi, marilah menyadari betapa indahnya kehidupan orang yang tidak diperbudak oleh dunia. Demikianlah kondisi orang yang telah mampu mematri iman di dalam dadanya dan mengerti hakikat hidup yang sebenarnya. Yang demikian ini kebahagiaannya jauh melebihi orang-orang yang masih mudah tertarik gebyar dunia.




Ust. Manshur Salbu
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger