Si A
telah bertahun-tahun, bahkan turun temurun menempati tanah negara. Belakangan
datang si B dan meminta si A untuk mengosongkan tanah tersebut, karena
permohonan pada pemerintah untuk memiliki tanah tersebut dikabulkan. Untuk
meyakinkan si A, si B memperlihatkan bukti kepemilikan tanah yang sah. Manakah
yang berhak atas tanah tersebut?
Maka,
dalam hal ini yang lebih berhak atas tanah tersebut adalah orang yang lebih
dulu menguasai tanah tersebut dengan menunjukkan alat bukti yang sah.
Di
dalam Kitab Bughyah al-Mustarsyidin dijelaskan:
(مَسْأَلَةُ ب ش)
أَحْيَا قِطْعَةً مِنْ أَرْضٍ وَتَرَتَّبَتْ يَدُهُ عَلَيْهَا سِنِيْنَ ثُمَّ ادَّعَى آخَرُ جَمِيْعَ اْلأَرْضِ وَأَنَّ الْمُحَيِّيَ بَسَطَ عَلَى بَعْضِهَا مِنْ غَيْرِ مُسَوِّغٍ، فَإِنْ أَقَامَ بَيِّنَةَ مُؤَرِّخَةِ اْلأَحْيَاءِ بِأَنَّ اْلأَرْضَ وَمِنْهَا الْمُدَّعَى مِلْكُهُ وَرَثَهَا مِنْ آبَائِهِ مَثَلًا وَلَيْسَتْ مَوَاتًا، بَلْ لَهَا آثَارُ عِمَارَةٍ وَأَنَّ يَدَهُ مُتَرَتَّبَةٌ عَلَيْهَا بِلاَ مُنَازِعٍ أَوْ أَقَرَّ لَهُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ أَوْ رَدَّ الْيَمِينَ فَحَلَفَ هُوَ الْمَرْدُودَةَ تَبَيَّنَ أَنَّ يَدَ الْمُحْيِي عَادِيَةٌ لَكِنْ لَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِعُذْرِهِ … وَلَوْ ثَبَتَتْ أَنَّهَا مَوَاتٌ مَلَكَهَا الْمُحَيِّي لِتَرَتُّبِ يَدِهِ عَلَيْهَا
(Kasus
dari Syaikh Abdullah bin al-Husain bin Abdillah Bafaqih dan Syaikh Muhammad bin
Abi Bakr al-Ayskhar al-Yamani). Bila seseorang membuka sebidang lahan dan telah
menguasainya selama bertahun-tahun, lalu ada orang lain yang mengklaim seluruh
lahan –adalah miliknya- dan al-muhyi (orang yang membuka lahan itu) menguasai
sebagian lahan miliknya tanpa hak, maka bila ia bisa mengajukan bukti sejarah
pembukaan lahan yang menyatakan bahwa lahan dan termasuk yang diklaim adalah
miliknya, yang ia warisi dari nenek moyangnya misalnya, dan bukan termasuk
lahan bebas, bahkan terdapat tanda-tanda pernah dikelola serta penguasaannya
atas lahan itu tidak diperselisihkan, atau si terdakwa mengakuinya atau menolak
bersumpah lalu si pendakwa mau bersumpah dengan sumpah al-mardudah (yang
diberikan kepadanya setelah si terdakwa menolak bersumpah), maka menjadi jelas
bahwa penguasaan si al-muhyi adalah suatu kecerobohan, namun ia tidak berdosa
karena udzur (atas ketidaktahuannya).
Namun
jika terbukti bahwa lahan tersebut adalah lahan bebas, maka si al-muhyi berhak
memiliknya, karena ia telah menguasainya.
(مَسْأَلَةُ ي)
كُلُّ أَرْضٍ حُكِمَ بِأَنَّهَا إِسْلاَمِيَّةٌ لِاسْتِلاَءِ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَيْهَا أَوَّلاً وَإِنِ اسْتَوْلَى عَلَيْهَا الْكُفَّارُ بَعْدُ وَمَنَعُوْا الْمُسْلِمِيْنَ كَغَالِبِ أَرْضٍ جاور[3]
حُكْمُهَا حُكْمُ الْمَوَاتِ فَإِذَا أَحْيَاهَا الْمُسْلِمُ لَا غَيْرُهُ وَلَوْ ذِمِيًّا أَذِنَ لَهُ الْإِمَامُ مَلَكَهَا سَوَاءٌ عُلِمَ أَنَّهَا لَمْ تُعْمَرْ قَطُّ أَوْ شُكَّ وَلَيْسَ بِهَا أَثَرُ عِمَارَةٍ وَكَذَا لَوْ عَمَرَهَا كَافِرٌ قَبْلَ اسْتِيلَاءِ الْمُسْلِمِينَ أَوْ بَعْدَهُ وَلَمْ تَدْخُلْ تَحْتَ يَدِ مُسْلِمٍ قَبْلَ الْعِمَارَةِ أَوْ بَعْدَهَا كَمَا لَوْ شُكَّ فِي الْعِمَارَةِ هَلْ هِيَ إِسْلَامِيَّةٌ أَوْ جَاهِلِيَّةٌ وَلَمْ تَكُنْ تَحْتَ يَدِ أَحَدٍ وَإِلَّا فَلِذِي الْيَدَ وَلَوْ كَافِرًا وَإِنْ حَكَمْنَا بِعَدَمِ صِحَّةِ إِحْيَائِهِ لَهَا لِكَوْنِهَا دَارَ إِسْلَامٍ لِأَنَّ الْيَدَ دَلِيْلُ الْمِلْكِ وَاْلأَصْلُ وَضْعُهَا بِحَقٍّ إِلاَّ أَنْ يَثْبُتَ نَقِيْضُهُ
(Kasus
dari Abdullah bin Umar bin Abi Bakr bin Yahya) Seluruh tanah dihukumi sebagai
tanah Islam karena pernah dikuasai umat Islam pada awalnya, meski kemudian
sesudah itu dikuasai non muslim, dan mereka melarang umat Islam tinggal
di situ. Seperti halnya mayoritas tanah di Pulau Jawa yang hukumnya masih
berhukum lahan bebas. Maka ketika tanah itu dibuka oleh seorang muslim, bukan
selainnya meski non muslim dzimmi, yang diizini oleh penguasa, maka ia berhak
memilikinya. Baik tanah itu diketahui belum pernah dibuka sama sekali, atau
diragukan dan tidak terdapat bekas-bekas pengelolaannya.
Dan
begitu pula bila seorang non muslim membuka lahan tersebut sebelum dikuasai
oleh umat Islam, atau setelahnya dan belum pernah dimiliki oleh seorang muslim
sebelum dikelola non muslim itu, atau setelah dikelola, seperti ketika
pengelolaannya diragukan, apakah bersifat Islam atau bersifat Jahiliyah, dan
belum pernah dimiliki siapa pun. Bila tidak, maka tanah itu menjadi milik orang
yang menguasainya, meski non muslim, meski kita hukumi ketidakabsahan pembukaan
lahan itu olehnya karena Jawa merupakan wilayah Islam. Sebab, penguasaan
lahan merupakan tanda hak milik, dan hukum asalnya adalah dilakukan dengan cara
yang benar, kecuali ada yang merusaknya.
Demikian pula di dalam Kitab Fath
al-Mu’in:
فَلَوْ شَهِدَتِ الْبَيِّنَةُ لِأَحَدِ الْمُتَنَازِعَيْنِ فِيْ عَيْنٍ بِيَدِهِمَا أَوْ يَدِ ثَالِثٍ أَوْ لاَ بِيَدِ أَحَدٍ بِمِلْكٍ مِنْ سَنَةٍ إِلَى اْلآنَ وَشَهِدَتْ بَيِّنَةٌ أُخْرَى لِلآخَرَ بِمِلْكٍ لَهَا مِنْ أَكْثَرَ مِنْ سَنَةٍ إِلَى اْلآنَ كَسَنَتَيْنِ فَتُرَجَّحُ بَيِّنَةُ ذِيْ اْلأَكْثَرِ لِأَنَّهَا تُثْبِتُ الْمِلْكَ فِيْ وَقْتٍ لا تعارضها فيه الأخرى
Maka
bila seorang saksi bersaksi bagi salah satu dari dua pihak yang berseteru dalam
barang yang sedang mereka kuasai, atau dikuasai pihak ketiga, atau tidak dia
dikuasai siapa pun, tentang hak milik mulai dari setahun lalu sampai sekarang,
dan saksi lain bersaksi bagi satu pihak berseteru lainnya, tentang hak milik
pada barang itu semenjak lebih dari setahun lalu, seperti dua tahun lalu sampai
sekarang, maka diunggulkan saksi pihak yang waktu hak miliknya lebih lama. Sebab
saksi itu menetapkan kepemilikan pada waktu yang tidak ditentang pihak lainnya
itu.
Dan dalam Kitab Hasyiyah
al-‘Ibn Qasim al-‘Abbadi juga menjelaskan kasus sebagai berikut:
(مَسْأَلَةٌ)
رَجُلٌ بِيَدِهِ رَزْقَةٌ اشْتَرَاهَا ثُمَّ مَاتَ فَوَضَعَ شَخْصٌ يَدَهُ عَلَيْهَا بِتَوْقِيْعٍ سُلْطَانِيٍّ، فَهَلْ لِلْوَرَثَةِ مُنَازَعَتُهُ ؟ الْجَوَابُ : إِنْ كَانَتْ الرَّزْقَةُ وَصَلَتْ إِلَى الْبَائِعِ اْلأَوَّلِ لِطَرِيْقٍ شَرْعِيٍّ بِأَنْ أَقْطَعَهُ السُّلْطَانُ إِيَّاهَا وَهِيَ أَرْضٌ مَوَاتٌ فَهُوَ يَمْلِكُهَا، وَيَصِحُّ مِنْهُ بَيْعُهَا وَيَمْلِكُهَا الْمُشْتَرِيْ مِنْهُ، وَإِنْ مَاتَ فَهِيَ لِوَرَثَتِهِ وَلاَ يَجُوْزُ لِأَحَدٍ وَضْعُ الْيَدِ عَلَيْهَا لِأَمْرِ سُلْطَانٍ وَلاَ غَيْرِهِ
(Kasus),
seseorang menguasai suatu razqah (bagian harta dari bait al-mal yang diberikan
penguasa pada orang tertentu seperti qadhi, mufti, muadzin dan semisalnya) yang
ia beli, lalu ia mati. Kemudian seseorang menguasainya dengan perintah
penguasa. Maka, apakah ahli waris boleh menggugatnya?
Jawab:
“Bila razqah sampai pada penjual pertama dengan cara syar’i, yakni penguasa
memberikan razqah itu kepadanya pada saat razqah itu berupa lahan bebas, maka
penjual itu memilikinya. Maka ia sah menjualnya dan pembeli bisa memiliki
darinya. Bila si pembeli mati, maka razqah itu menjadi milik ahli warisnya, dan
orang lain tidak boleh menguasainya dengan perintah penguasa atau
selainnya.
Ahkamul Fuqaha no. 428/Keputusan
Bahtsul Masail AL-Diniyyah Al-Waqi’iyyah Muktamar XXX NU di Pon-Pes Lirboyo
Kediri Jawa Timur 21 s/d 27 Nopember 1999

+ comments + 1 comments
ayo daftarkan diri anda di AJOQQ :D
menangkan jackpot dengan sebanyak-banyaknya :D
Posting Komentar