Pada saat pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an menjadi satu mushaf,
panitia memberlakukan aturan yang sangat ketat. Ketika ada orang datang dan
menyatakan bahwa dirinya hafal satu ayat Al-Quran atau mengaku memiliki catatan
satu ayat Al-Quran, pengakuan itu tidak lantas diterima. Namun ini tidak
berlaku bagi satu ayat ini.
Pengumpulan Al-Qur’an terjadi pada masa masa Khalifah Abu
Bakar. Umar ibn Khatab menetapkan keputusan bahwa setiap orang yang menyodorkan
satu ayat yang diklaim sebagai ayat Al-Quran, harus menghadirkan dua orang
saksi yang membenarkan pengakuannya. Hal ini dilakukan demi menjaga kemurnian
Al-Quran dan menghindari masuknya nash-nash yang bukan bagian dari Al-Quran.
Namun, ketika Khuzaimah al-Anshari menyodorkan ayat:
لَقَدْ
جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ
عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Telah datang kepada kalian seorang Rasul dari jenis
kalian. Terasa berat baginya apa-apa yang menyusahkan kalian. Ia sangat
berharap kebaikan bagi kalian; sangat bersikap kasih dan sayang terhadap
orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128)
Umar langsung menerima ayat itu tanpa meminta Khuzaimah
menghadirkan dua orang saksi. Umar hanya berkata, “Memang begitulah
adanya Rasulullah SAW.” Demikian tertulis dalam Tafsir
Ath-Thabari jilid 14/588.
Ayat di atas menggambarkan betapa Rasulullah sangat menyayangi
umatnya. Ia merasa sangat susah jika tahu ada umatnya yang menderita. Kisah
seperti ini sudah sangat jamak diketahui, bahkan menjelang akhir hayatnya, yang
terucap dari lisan Rasulullah adalah kalimat “Umatku, umatku!…” Jika ayat
tersebut dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian umat Islam, saya tidak
bisa membayangkan, apakah saat ini Rasulullah sedang bergembira atau sedang
sangat berduka.
Nabi Muhammad dilahirkan dan diutus ke muka bumi ini sebagai
pembimbing umat manusia ke jalan yang lurus. Ada sederet rambu-rambu yang
diberikan oleh Rasulullah kepada manusia sepanjang masa. Rambu-rambu paling
tegas adalah akhlak yang dalam sebuah hadis ditegaskan bahwa Rasulullah
bersabda, “Sungguh, aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan
akhlak.” (Imam Baihaqi, Sunan Al-Kubrâ, jilid 10/192).
Seorang manusia yang ditunjuk oleh Allah sebagai Rasul dengan
misi menyempurakan kemuliaan akhlak tentu dia sosok manusia yang memiliki
akhlak yang sangat mulia; tentu ia merupakan sosok manusia yang pantas
dijadikan suri tauladan. Tidak mungkin Allah menjadikannya sebagai penyempurna
kemuliaan akhlak sementara ia sendiri minus-akhlak. Dalam pribahasa Arab
dinyatakan fâqidu asy-sya’i lâ yu’thîhi, orang yang tidak
memiliki sesuatu tidak mungkin dapat memberikan sesuatu itu kepada orang lain!
Ust. H.M.
Taufik Lc. Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il
PWNU-DKI Jakarta.

Posting Komentar