“Bangga” adalah sifat yang suka memamerkan kemuliaan yang ada di luar badan, sebagaimana “ Ujub” adalah sifat yang suka membanggakan yang berada di dalam badan. Misalnya ada seorang yang satu kampung dengan seseorang yang berpangkat tinggi dan ternama, maka bila disebut nama orang itu, dengan hidung bengah si orang tersebut dengan bangga akan mengatakan bahwa “dia sekampung dengan saya”.
Kemudian datang yang seorang lagi mengatakan orang itu iparnya. Datang seorang lagi mengatakan pamannya.
Atau ada pula seorang anak yang dimana-mana membanggakan dirinya lantaran turunan si anu; turunan Datuk Perpatih nan Sabatang yang mula-mula mencencang dan melatih negeri Minangkabau; terutama Demang Lebar Daun, yang mula-mula jadi wazir di Bukit Si Guntang Mahameru, dari turunan Raja Anusyirwan yang adil. Dan Sultan Iskandar Zulkarnain.
Sifat bangga adalah sangat tidak berfaedah, karena menurut Sayyidina Ali:
“Wa qimatu kulil-mar-‘I ma yahsununahu
(Harga tiap-tiap manusia ialah menutut kebaikan yang telah diperbuatnya.” Bukan menurut nenek moyangnya.
Nabi SAW bersabda: “Jangan engkau datang kepadaku membawa-bawa turunanmu, tetapi datanglah kepadaku membawa amalmu.”
“Bajuku indah”. Bajulah yang indah, bukan engkau. “Rumahku bagus”, rumahlah yang bagus, bukan engkau. “Hartaku banyak”, harta yang banyak, bukan engkau. “Nenek moyangku ternama”, nenek moyangmu yang ternama, bukan engkau !.
Adapun engkau ini datang dari yang kotor, dan dirimu sendiri penuh kotoran; perutmu tempat kotoran; telingamu tempat kotoran. Setelah itu kamu akan kembali ke asal kejadianmu, yaitu tanah.
Hilang badanmu, terbang jiwamu, hilang segala-galanya. Harta benda pindah ke tangan orang lain. Yang diingat orang daripadamu hanya jasa amalmu ! Kalau jasa dan amal itu ada. Kalau tidak ?
Apa yang dapat engkau banggakan.
Dinukil dan diedit dari Buku Taswauf Modern karya Buya Hamka oleh KH. Bachtiar Achmad
Posting Komentar