Beberapa pekan jelang menikah, saya yang kala itu masih
berusia 22 tahun, meguru pada ibu. Apa yang perlu dilakukan agar pernikahan
berjalan damai?
Ibu menjawab tanpa berpikir panjang. Seolah pertanyaan yang
saya ajukan se sepele resep sayur lodeh.
“Nikah ki yo anggere wani ngalah..” (Nikah itu pokoknya
berani mengalah)
Dua kata yang menggedor batin saya: BERANI dan MENGALAH
Kata BERANI biasanya disandingkan dengan hal yang berat,
bahkan horor. “Berani mati” misalnya. Tapi ibu menyandingkan kata itu dengan
MENGALAH. Saya mulai memahaminya sebagai tugas berat, yang tidak semua orang
mau dan mampu menjalankannya.
Mengalah, Dan ini yang pada akhirnya saya jumpai, lalu saya pelajari
dari lelaki yang sejak 18 tahun lalu saya dapati memiliki kepribadian baik.
Saat pernikahan masih serba kekurangan, dia akan lebih dulu
mengambil piring plastik agar saya bisa menggunakan piring beling. Saat anak belum lulus toilet training, dia yang akan bangun
di tengah malam untuk menatur si kecil, padahal yang anak panggil saat itu
adalah ibunya. Saat makan di luar, dia akan makan dengan terburu-buru agar
bisa cepat bergantian menggendong si kecil. Demi kuah bakso di mangkok saya
tidak keburu dingin. Saat mendapati satu bacaan yang menarik, dan saya tertarik,
dia akan mengangsurkan bacaan itu. “Bacalah lebih dulu. Aku sudah selesai”
Saat memasak dan jumlah masakan itu terbatas. Bukan saya
yang menyisihkan untuk bagiannya, tapi dia yang akan mengambilkan lebih dulu
untuk saya, dalam jumlah yang lebih banyak darinya. “Aku sudah kenyang..” dan
saya tahu itu bohong. Saat ada sepotong roti, dia akan membaginya tidak sama
besar. Tapi saya yang lebih besar. “Kamu kan menyusui. Butuh lebih banyak
kalori..” dan kami akan berdebat panjang, lalu diakhiri dengan saya tidak akan
memakan bagian yang besar itu sampai dia tarik kembali agar beratnya sepadan.
Saat saya akan memakai kamar mandi belakang (yang ukurannya
lebih kecil dari kamar mandi depan) dia yang sedang berada di kamar mandi depan
segera keluar dan meminta saya menempatinya. “Aku di belakang aja. Nanti kamu
kaget kalau banyak kecoa..” Saat saya marah, meski kemarahan itu tidak masuk akal, dia
yang mendekat, mengangsurkan tangan dan meminta maaf. Padahal masalah
sebenarnya pun belum terang ia cerna.
Ini akhlak. Ini ngalah. Dan ini cinta. Entah bagaimana caranya dia tidak bosan mengalah, dan tidak
pula berdendang “Mengapa s’lalu aku yang mengalah..”
Enteng saja dia menjalani itu. Ikhlas saja. Senang-senang
saja. Tapi dampaknya sangat besar buat saya.
Apa itu? Penghormatan, penghargaan, dan respek.
Untuk segi kematangan emosional, saya tertatih-tatih di
belakangnya. Marah dan mau menang sendiri, selalu menjadi bagian saya. Tapi sikap ngalah yang dia tunjukkan, lambat laun jadi
mematangkan emosi itu. Sekaligus membuat saya juga jadi ingin mengalah. Ngalah
untuk tidak memancing sikap ngalahnya, yang saya rasa sudah berlebihan dia beri
pada saya.
Ya..ya.. pernikahan memang selaiknya menjadi hubungan yang
take and give. Saling memberi saling menerima. Saling menutupi dan memahami. Tentu jika hanya satu pihak saja yang terus mengalah, dan
pihak yang lain memanfaatkan sikap ngalah itu, kedamaian hanya jadi angan.
Karena pasti ada bom waktu di balik sikap ngalah itu.
Namun mengalah adalah seni untuk memenangkan hati pasangan.
Dan pasangan yang baik (baca: tahu diri) pasti akan menyambut sikap ngalah ini
dengan suka cita, kesyukuran, lalu menghargai usaha dari pasangannya.
Mungkin ini yang membuat ibu menjawab “ngalah” sebagai kunci
kedamaian berumah tangga.
Dan kini saya pun bertanya padanya, si lelaki pengalah itu.
“Mengapa kamu selalu mengalah padaku?”
Jawabannya sederhana saja. Se-sederhana resep sayur lodeh, “Aku tidak pernah merasa ngalah. Yang aku lakukan hanyalah
menjaga agar kita tidak pernah terpecah belah..” Untukmu yang berani mengalah.
Tulisan Mbak Wulan Darmanto
Posting Komentar