Judul di atas bukan penulis maksudkan untuk berbagi lirik nasyid karya KH. Abdullah Gymnastiar yang sudah populer di kalangan masyarakat itu. Akan tetapi, judul tersebut untuk menggambarkan beberapa pesan penting dari Ibnu Attho'illah As Sakandary agar kita senantiasa berhati-hati untuk menjaga hati kita ini.
“Bagaimana hati bisa bersinar terang, jika yang selain Allah Subhânahu wata‘âlâ masih terpatri di cermin hatinya?, Bagaimana hati bisa menuju Allah Subhânahu wata‘âlâ jika ia masih terbelenggu oleh keingginan-keinginan nafsunya? Bagaimana bisa ia punya keinginan untuk dapat masuk ke Hadratillah, jika dirinya masih belum suci dari janabat ghaflahnya’? Bagaimana ia bisa memahami ilmu-ilmu rahasia ilahi, jika dirinya belum bertaubat dari dosa-dosanya?” (Imam ibnu Athoillah as-Sakandary)
Berbagai solusi yang telah diberikan Ibnu Athâ’ kepada sâlik yang memulai perjalananya menuju hadirat Ilahi. Seperti yang telah disebutkan kemarin seorang salik di permulaan sulûknya dianjurkan untuk senantiasa menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan manusia, yakni dengan melakukan uzlah (pengasingan diri) dimana hal tersebut bertujuan agar dirinya bisa lebih leluasa dalam bertafakkur, berfikir, dan merenungi aneka ragam makhluk Allah Subhânahu wata‘âlâ. Karena tafakkur itulah yang sebenarnya banyak berperan mengantarkan kesuksesan sâlik dalam usaha sulûknya.
Melalui tafakkur seseorang menjadi lebih mengagungkan kebesaran Allah Subhânahu wata‘âlâ, lebih menghormati hak-hak-Nya, lebih ringan dalam menjalankan ketaatan, serta lebih berhati-hati dalam menjauhi larangan. Dimana hal itu nantinya dapat lebih mendekatkan jarak antara dirinya dengan Tuhannya.
Oleh karenanya Ibnu Atha’illah sangat mewanti-wanti akan pentingnya tafakkur bagi sâlik. Hingga beliau menganggap uzlah sebagai jalan satu-satunya yang harus ditempuh salik. Karena uzlah adalah media termudah dan terpercaya dalam mengantarkan salik menuju keharibaan Tuhannya.
Namun apabila kenyataan yang terjadi kemudian tidak sesuai dengan harapan. Uzlah yang sejatinya sebagai pengantar menuju kebersihan hati, akan tetapi perubahan yang diharapkan tak kunjung terjadi, atau bahkan malah mengeruhkan dan merusak kondisi hatinya, maka di situ pasti terjadi kesalahan proses dan terdapat masalah mendasar yang harus dibenahi.
Ibnu Atha’illah telah mengantisipasi terhadap hal-hal yang tidak seharusnya terjadi. Di sini ditengarai setidaknya terdapat empat masalah mendasar yang harus di introspeksi oleh sâlik.
Pertama, Bayangan selain Allah Subhânahu wata‘âlâ yang masih terpatri dalam hatinya.
Maksudnya jika dirinya masih terbesit keyakinan bahwa selain Allah Subhânahu wata‘âlâ bisa memberi pengaruh; dengan artian selain Allah I bisa menghasilkan kemanfaatan atau kemudlaratan berarti hatinya masih belum sepenuhnya terlepas dari bayang-bayang makhluk (al-Akwân), maka jangan berharap hati dapat bersih dan bersinarkan cahaya ilahi. Karena sarat mutlak untuk dapat bersinar hati harus dibersihkan dari bayangan-bayang semu tersebut.
Kedua, Hawa nafsu masih membelenggu dirinya.
Bila sâlik telah bertekad untuk melakukan sulûk dengan sungguh-sungguh, maka hal pertama yang harus di perhatikan terlebih dahulu adalah memenjarakan hawa nafsunya. Hal ini bertujuan agar musuh ‘hawa nafsu’ ini tidak dapat menguasai hatinya. Karena jika hal itu terjadi maka segala tindak langkahnya akan selalu bertentangan dengan nilai-nilai kearifan. Bila hawa nafsu telah terpenjara, berarti hati telah siap untuk menjalankan misi sucinya.
Ketiga, Kelalaian yang masih menodainya.
Disebutkan di sini tidaklah pantas seorang salik berambisi masuk ke hadratillah jika masih terdapat kelalaian (ghaflah) dalam mengingat-Nya. Sâlik yang hampir sampai ke pintu hadirat ilahi tidak mungkin dapat memasukinya jika tingkat zikirnya masih belum berkesinambungan (mudâmawah). Ibarat seseorang yang masih dalam kondisi junub, dia tidak diperkenankan masuk ke masjid sebab hadas yang menghalanginya; begitu juga hadirat ilahi tidak bisa dimasuki oleh orang yang masih dalam kondisi ghaflah (lupa dalam mengingat-Nya).
Keempat, Hafawat yang masih belum ditaubati.
Hafawat di sini ialah dosa-dosa yang timbul secara tidak sengaja. Sedangkan arti daqâiqul-Asrâr adalah ilmu-ilmu ilahi yang biasa dianugerahkan kepada orang-orang Arifin. Salik yang mengharap akan pemberian ilmu ilahi tersebut hendaknya senantiasa bertaubat dari dosa-dosa hafwat yakni dosa-dosa yang secara syariat masih mendapat dispensasi karena dilakukan di luar kesadaran. Sebab ilmu ilahi ini sangat mulya maka untuk memperolehnyapun harus dengan cara termulya di mata manusia.
Disarikan dari Kitab Al Hikam Karya Al Imam Ibnu Atthaillah As Sakandary
“Bagaimana hati bisa bersinar terang, jika yang selain Allah Subhânahu wata‘âlâ masih terpatri di cermin hatinya?, Bagaimana hati bisa menuju Allah Subhânahu wata‘âlâ jika ia masih terbelenggu oleh keingginan-keinginan nafsunya? Bagaimana bisa ia punya keinginan untuk dapat masuk ke Hadratillah, jika dirinya masih belum suci dari janabat ghaflahnya’? Bagaimana ia bisa memahami ilmu-ilmu rahasia ilahi, jika dirinya belum bertaubat dari dosa-dosanya?” (Imam ibnu Athoillah as-Sakandary)
Berbagai solusi yang telah diberikan Ibnu Athâ’ kepada sâlik yang memulai perjalananya menuju hadirat Ilahi. Seperti yang telah disebutkan kemarin seorang salik di permulaan sulûknya dianjurkan untuk senantiasa menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan manusia, yakni dengan melakukan uzlah (pengasingan diri) dimana hal tersebut bertujuan agar dirinya bisa lebih leluasa dalam bertafakkur, berfikir, dan merenungi aneka ragam makhluk Allah Subhânahu wata‘âlâ. Karena tafakkur itulah yang sebenarnya banyak berperan mengantarkan kesuksesan sâlik dalam usaha sulûknya.
Melalui tafakkur seseorang menjadi lebih mengagungkan kebesaran Allah Subhânahu wata‘âlâ, lebih menghormati hak-hak-Nya, lebih ringan dalam menjalankan ketaatan, serta lebih berhati-hati dalam menjauhi larangan. Dimana hal itu nantinya dapat lebih mendekatkan jarak antara dirinya dengan Tuhannya.
Oleh karenanya Ibnu Atha’illah sangat mewanti-wanti akan pentingnya tafakkur bagi sâlik. Hingga beliau menganggap uzlah sebagai jalan satu-satunya yang harus ditempuh salik. Karena uzlah adalah media termudah dan terpercaya dalam mengantarkan salik menuju keharibaan Tuhannya.
Namun apabila kenyataan yang terjadi kemudian tidak sesuai dengan harapan. Uzlah yang sejatinya sebagai pengantar menuju kebersihan hati, akan tetapi perubahan yang diharapkan tak kunjung terjadi, atau bahkan malah mengeruhkan dan merusak kondisi hatinya, maka di situ pasti terjadi kesalahan proses dan terdapat masalah mendasar yang harus dibenahi.
Ibnu Atha’illah telah mengantisipasi terhadap hal-hal yang tidak seharusnya terjadi. Di sini ditengarai setidaknya terdapat empat masalah mendasar yang harus di introspeksi oleh sâlik.
Pertama, Bayangan selain Allah Subhânahu wata‘âlâ yang masih terpatri dalam hatinya.
Maksudnya jika dirinya masih terbesit keyakinan bahwa selain Allah Subhânahu wata‘âlâ bisa memberi pengaruh; dengan artian selain Allah I bisa menghasilkan kemanfaatan atau kemudlaratan berarti hatinya masih belum sepenuhnya terlepas dari bayang-bayang makhluk (al-Akwân), maka jangan berharap hati dapat bersih dan bersinarkan cahaya ilahi. Karena sarat mutlak untuk dapat bersinar hati harus dibersihkan dari bayangan-bayang semu tersebut.
Kedua, Hawa nafsu masih membelenggu dirinya.
Bila sâlik telah bertekad untuk melakukan sulûk dengan sungguh-sungguh, maka hal pertama yang harus di perhatikan terlebih dahulu adalah memenjarakan hawa nafsunya. Hal ini bertujuan agar musuh ‘hawa nafsu’ ini tidak dapat menguasai hatinya. Karena jika hal itu terjadi maka segala tindak langkahnya akan selalu bertentangan dengan nilai-nilai kearifan. Bila hawa nafsu telah terpenjara, berarti hati telah siap untuk menjalankan misi sucinya.
Ketiga, Kelalaian yang masih menodainya.
Disebutkan di sini tidaklah pantas seorang salik berambisi masuk ke hadratillah jika masih terdapat kelalaian (ghaflah) dalam mengingat-Nya. Sâlik yang hampir sampai ke pintu hadirat ilahi tidak mungkin dapat memasukinya jika tingkat zikirnya masih belum berkesinambungan (mudâmawah). Ibarat seseorang yang masih dalam kondisi junub, dia tidak diperkenankan masuk ke masjid sebab hadas yang menghalanginya; begitu juga hadirat ilahi tidak bisa dimasuki oleh orang yang masih dalam kondisi ghaflah (lupa dalam mengingat-Nya).
Keempat, Hafawat yang masih belum ditaubati.
Hafawat di sini ialah dosa-dosa yang timbul secara tidak sengaja. Sedangkan arti daqâiqul-Asrâr adalah ilmu-ilmu ilahi yang biasa dianugerahkan kepada orang-orang Arifin. Salik yang mengharap akan pemberian ilmu ilahi tersebut hendaknya senantiasa bertaubat dari dosa-dosa hafwat yakni dosa-dosa yang secara syariat masih mendapat dispensasi karena dilakukan di luar kesadaran. Sebab ilmu ilahi ini sangat mulya maka untuk memperolehnyapun harus dengan cara termulya di mata manusia.
Disarikan dari Kitab Al Hikam Karya Al Imam Ibnu Atthaillah As Sakandary
Posting Komentar