Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Tiga Kunci Sukses Beribadah

Tiga Kunci Sukses Beribadah

Para ulama bersilang pendapat mengenai nama pohon yang ada di surga ini. Ada yang mengatakan ia merupakan pohon kemuliaan, ada lagi yang mengatakan pohon gandum, ada pula yang mengatakan pohon tin, ada yang mengatakan pohon sunbulah, dan ada yang mengatakannya pohon kurma. Yang jelas ialah suatu pohon di surga. Al-Qur’an dan Sunnah tidak menyebutkan nama jenisnya. Demikianlah yang dikemukakan Ibnu Jarir. Adapun nama pohon Khuldi(keabadian) adalah nama yang diberikan oleh syetan dalam upayanya untuk menggelincirkan Nabi Adam as dan istrinya Hawa.

Sedangkan makna firman Allah: “ Lalu keduanya digelincirkan oleh syetan dari surga,” yakni disebabkan keduanya memakan buah dari pohon itu sehingga keduanya menjadi jauh dan terjerumus ke dalam kesalahan dan kedurhakaan terhadap Allah SWT.

Dari keterangan firman Allah  di atas menggambarkan kepada kita, betapa tidak mudah bagi  Adam as di dalam menjalankan perintah Allah SWT untuk menjauhi larangan-Nya yakni tidak mendekati pohon itu dan memakan buahnya. Setidaknya itulah yang bisa kita petik dari ‘detik-detik’ menjelang Allah menempatkan Nabiullah Adam As, ke muka bumi. 

Dari kasus di atas pula kita dapat memetik pelajaran bahwa, ternyata untuk menjalankan perintah Allah ataupun menjauhi larangan-Nya dalam rangka ibadah(taat) kepada Allah bukan merupakan pekerjaan mudah.

Ada tiga syarat yang harus ditempuh, berkaca dari ayat di atas, untuk meraih sukses beribadah:

Pertama, adanya keinginan yang kuat (azmun adhim)

Adanya dorongan yang kuat dalam diri, akan memiliki pengaruh yang besar bagi suksesnya  ibadah kita. Energi ekstra seperti itu diperlukan mengingat setiap kali kita akan mencanangkan kebajikan, maka di depannya pasukan syetan sudah menghadang dan menghalangi. 

Tidak adanya kemauan yang kuat, akan menjadi celah bagi syetan untuk bisa masuk dan mempengaruhi kita agar tidak patuh kepada Allah. Syetan akan mengambil peluang sekecil dan sesempit apapun, terlebih dengan adanya sikap remeh dan kurang semangat  dalam menjalankan ibadah, misalnya.

Selanjutnya dari sana syetan mengobrak-abrik keyakinan yang kita miliki. Banyak titik-titik celah yang dinanti oleh syetan untuk menjerumuskan manusia melalui makanan, pakaian, kekayaan, kekuasaan, seks, dan lain-lain kendaraan nafsu. Proses menjauh dari Allah—lewat jalur nafsu ini— biasanya terjadi setahap demi setahap yang terkadang kita tidak sadari. Melalui pintu-pintu nafsu itulah manusia kerap digelincirkan.

Dalam firman-Nya, secara tegas Allah SWT memerintahkan kita untuk menjalankan ajaran Islam secara kaffah dan dilarang mengikuti langkah-langkah syetan (khutuwatis Syaithon). “ Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS.Al-Baqarah: 208)

Disebut langkah-langkah syetan karena syetan dapat menggelincirkan ummat manusia dengan cara yang sungguh-sungguh halus dan bertahap-tahap, hingga di luar kesadaran kita telah terjerat dalam bujuk rayunya. Naudzubillahimin dzalik. 

Kedua, Mutaba’ah kepada Jalan Rasul

Imam Malik pernah berkata, laa yasluhu amru hadihil ummati illa bima sholluha bihi awwaluha” bahwa (urusan) ummat ini tidak akan kebali baik(maju/ jaya), kecuali bila mereka mencontoh apa yang telah dilakukan oleh generasi awal(Rasulullah dan sahabat) dengan berpegang teguh pada Qur’anul Karim. Berpegang pada kalam(ketentuan/rambu-rambu) yang telah ditentukan  oleh Allah (al-Qur’an) merupakan kunci kedua sukses ibadah.

Termasuk dalam beribadah, maka kita tidak boleh mereka-reka sendiri. Semua panduan sudah ditentukan oleh Allah lewat jalan Rasul-Nya. Perkara shalat dari takbir hingga salam, termasuk wirid setelah shalat, sudah diajarkan, kita tinggal menjalankannya tanpa menambah atau mengurangi. Demikian dalam hal pembagian harta waris, cara berpakaian, hidup berkeluarga, bertetangga, berdagang, akhlak berkomunikasi, dsb ada garis-garis besar yang telah dijelaskan yang jika dijalankan, insya Allah  akan mengantarkan kita kepada jalan keselamatan.

Bukankah dalam syahadat kita menyatakan adanya dua kepatuhan? Yakni taat kepada Allah sebagai Sang Khalik dan patuh kepada titah yang telah ditempuh dan ditetapkan Rasul. Asyhadu alla ilaha illallahu wa asy hadu anna muhammadan rasulullah.

Allah berfirman,” Katakanlah jika kamu(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS.Ali Imran: 31).

Bila semangat patuh ini telah menjadi jalan kaum muslimin, maka akan kita dapati perbedaan yang mencolok. Secara lahiriyah dapat disaksikan dengan jelas antara orang-orang yang telah memilih Islam sebagai jalan hidupnya dengan orang-orang yang mengaku Islam akan tetapi tidak jelas mana tindakan dan perilaku islaminya. 

Ketiga, Ikhlas dan Lillahi Ta’ala

Ikhlas (lillahi ta’ala) menjadi kunci utama bagi ibadah seseorang. Adanya dorongan yang kuat(azmun adhim), disertai dengan mengetahui ilmunya sesuai dengan petunjuk Rasul Saw (mutaba’ah) harus dilanjutkan dengan sifat ikhlas. Dengan ikhlas maka amal yang kita lakukan tidaklah akan sia-sia. Dengan kata lain, ikhlas menjadi kuncinya amal. 

Allah SWT berfirman: “ Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan (memurnikan) ketaatan kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 2) Masih dalam surat yang sama Allah menjelaskan: “ Katakanlah,” Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan (memurnikan) ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama.” (QS. Az-Zumar: 11).

Sayangnya, orang kerap mempersepsikan ikhlas dengan sikap lemah atau asal-asalan, tidak teratur. Dan bahkan, tak jarang diperhadapkan dengan sikap profesional: begini-begini yang penting ikhlas, biar sedikit yang penting ikhlas dst. Padahal, semestinya jika untuk dan karena Allah, sudah seharusnya kita melakukan yang terbaik dari apa yang kita miliki. Itu baru ikhlas yang benar. Bukan sebaliknya.

Jika berderma maka berikan yang terbaik yang kita miliki dan kita cintai. Jika beribadah maka dengan menyediaan waktu yang terbaik(cukup-sepenuh hati) dari waktu yang kita punya. Begitulah seterusnya. 

Bukankah yang memiliki kita tidak lain adalah Allah Aza wa Jalla? Bukankah Dia yang memberikan setiap peluang dan juga rezeki yang kita nikmati? Lebih dari itu bukankah dalam setiap waktu shalat kita telah mengungkapkan ikrar kesetiaan kita kepada-Nya bahwa ibadah kita, hidup dan mati kita sepenuhnya kita sandarkan kepada Allah SWT. Dalam hal ini, kita memang kerap lalai. 

Jadi, sudah semestinya orang yang ikhlas adalah orang yang beramal dan bekerja secara maksimal (penuh tanggung jawab) untuk mengharapkan keridhaan dari Allah SWT., bukan yang sebaliknya; asal-asalan dan tidak teratur. Orang yang sempurna keimananya tentu akan melakukan apa saja yang terbaik di mata Allah SWT. Orang yang seperti ini yang akan disempurnakan pahala amalnya oleh Allah sebagaimana firman-Nya:  “Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal sholeh, maka Allah akan Menyempurnakan Pahala mereka dan Menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya…” (QS. Al-Maidah: 173).



Hidayatullah
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger