Para ulama bersilang pendapat
mengenai nama pohon yang ada di surga ini. Ada yang mengatakan ia merupakan
pohon kemuliaan, ada lagi yang mengatakan pohon gandum, ada pula yang
mengatakan pohon tin, ada yang mengatakan pohon sunbulah, dan ada yang
mengatakannya pohon kurma. Yang jelas ialah suatu pohon di surga. Al-Qur’an dan
Sunnah tidak menyebutkan nama jenisnya. Demikianlah yang dikemukakan Ibnu
Jarir. Adapun nama pohon Khuldi(keabadian) adalah nama yang diberikan oleh
syetan dalam upayanya untuk menggelincirkan Nabi Adam as dan istrinya Hawa.
Sedangkan makna firman Allah: “
Lalu keduanya digelincirkan oleh syetan dari surga,” yakni disebabkan
keduanya memakan buah dari pohon itu sehingga keduanya menjadi jauh dan
terjerumus ke dalam kesalahan dan kedurhakaan terhadap Allah SWT.
Dari keterangan firman Allah
di atas menggambarkan kepada kita, betapa tidak mudah bagi Adam as
di dalam menjalankan perintah Allah SWT untuk menjauhi larangan-Nya yakni tidak
mendekati pohon itu dan memakan buahnya. Setidaknya itulah yang bisa kita petik
dari ‘detik-detik’ menjelang Allah menempatkan Nabiullah Adam As, ke muka
bumi.
Dari kasus di atas pula kita dapat
memetik pelajaran bahwa, ternyata untuk menjalankan perintah Allah ataupun
menjauhi larangan-Nya dalam rangka ibadah(taat) kepada Allah bukan merupakan
pekerjaan mudah.
Ada tiga syarat yang harus ditempuh,
berkaca dari ayat di atas, untuk meraih sukses beribadah:
Pertama, adanya keinginan yang kuat (azmun adhim)
Adanya dorongan yang kuat dalam
diri, akan memiliki pengaruh yang besar bagi suksesnya ibadah kita.
Energi ekstra seperti itu diperlukan mengingat setiap kali kita akan
mencanangkan kebajikan, maka di depannya pasukan syetan sudah menghadang dan
menghalangi.
Tidak adanya kemauan yang kuat, akan
menjadi celah bagi syetan untuk bisa masuk dan mempengaruhi kita agar tidak
patuh kepada Allah. Syetan akan mengambil peluang sekecil dan sesempit apapun,
terlebih dengan adanya sikap remeh dan kurang semangat dalam menjalankan
ibadah, misalnya.
Selanjutnya dari sana syetan
mengobrak-abrik keyakinan yang kita miliki. Banyak titik-titik celah yang
dinanti oleh syetan untuk menjerumuskan manusia melalui makanan, pakaian,
kekayaan, kekuasaan, seks, dan lain-lain kendaraan nafsu. Proses menjauh dari
Allah—lewat jalur nafsu ini— biasanya terjadi setahap demi setahap yang
terkadang kita tidak sadari. Melalui pintu-pintu nafsu itulah manusia kerap
digelincirkan.
Dalam firman-Nya, secara tegas Allah
SWT memerintahkan kita untuk menjalankan ajaran Islam secara kaffah dan
dilarang mengikuti langkah-langkah syetan (khutuwatis Syaithon). “
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya
syetan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS.Al-Baqarah: 208)
Disebut langkah-langkah syetan
karena syetan dapat menggelincirkan ummat manusia dengan cara yang
sungguh-sungguh halus dan bertahap-tahap, hingga di luar kesadaran kita telah
terjerat dalam bujuk rayunya. Naudzubillahimin dzalik.
Kedua, Mutaba’ah kepada Jalan Rasul
Imam Malik pernah berkata, laa
yasluhu amru hadihil ummati illa bima sholluha bihi awwaluha” bahwa
(urusan) ummat ini tidak akan kebali baik(maju/ jaya), kecuali bila mereka
mencontoh apa yang telah dilakukan oleh generasi awal(Rasulullah dan sahabat)
dengan berpegang teguh pada Qur’anul Karim. Berpegang pada
kalam(ketentuan/rambu-rambu) yang telah ditentukan oleh Allah (al-Qur’an)
merupakan kunci kedua sukses ibadah.
Termasuk dalam beribadah, maka kita
tidak boleh mereka-reka sendiri. Semua panduan sudah ditentukan oleh Allah lewat
jalan Rasul-Nya. Perkara shalat dari takbir hingga salam, termasuk wirid
setelah shalat, sudah diajarkan, kita tinggal menjalankannya tanpa menambah
atau mengurangi. Demikian dalam hal pembagian harta waris, cara berpakaian,
hidup berkeluarga, bertetangga, berdagang, akhlak berkomunikasi, dsb ada
garis-garis besar yang telah dijelaskan yang jika dijalankan, insya Allah
akan mengantarkan kita kepada jalan keselamatan.
Bukankah dalam syahadat kita
menyatakan adanya dua kepatuhan? Yakni taat kepada Allah sebagai Sang Khalik
dan patuh kepada titah yang telah ditempuh dan ditetapkan Rasul. Asyhadu alla
ilaha illallahu wa asy hadu anna muhammadan rasulullah.
Allah berfirman,” Katakanlah jika
kamu(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan
mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS.Ali
Imran: 31).
Bila semangat patuh ini telah
menjadi jalan kaum muslimin, maka akan kita dapati perbedaan yang mencolok.
Secara lahiriyah dapat disaksikan dengan jelas antara orang-orang yang telah
memilih Islam sebagai jalan hidupnya dengan orang-orang yang mengaku Islam akan
tetapi tidak jelas mana tindakan dan perilaku islaminya.
Ketiga, Ikhlas dan Lillahi Ta’ala
Ikhlas (lillahi ta’ala) menjadi
kunci utama bagi ibadah seseorang. Adanya dorongan yang kuat(azmun adhim),
disertai dengan mengetahui ilmunya sesuai dengan petunjuk Rasul Saw (mutaba’ah)
harus dilanjutkan dengan sifat ikhlas. Dengan ikhlas maka amal yang kita
lakukan tidaklah akan sia-sia. Dengan kata lain, ikhlas menjadi kuncinya
amal.
Allah SWT berfirman: “ Maka
sembahlah Allah dengan mengikhlaskan (memurnikan) ketaatan kepada-Nya.” (QS.
Az-Zumar: 2) Masih dalam surat yang sama Allah menjelaskan: “ Katakanlah,”
Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan
(memurnikan) ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama.” (QS. Az-Zumar:
11).
Sayangnya, orang kerap
mempersepsikan ikhlas dengan sikap lemah atau asal-asalan, tidak teratur. Dan
bahkan, tak jarang diperhadapkan dengan sikap profesional: begini-begini yang
penting ikhlas, biar sedikit yang penting ikhlas dst. Padahal, semestinya jika
untuk dan karena Allah, sudah seharusnya kita melakukan yang terbaik dari apa
yang kita miliki. Itu baru ikhlas yang benar. Bukan sebaliknya.
Jika berderma maka berikan yang
terbaik yang kita miliki dan kita cintai. Jika beribadah maka dengan menyediaan
waktu yang terbaik(cukup-sepenuh hati) dari waktu yang kita punya.
Begitulah seterusnya.
Bukankah yang memiliki kita tidak
lain adalah Allah Aza wa Jalla? Bukankah Dia yang memberikan setiap
peluang dan juga rezeki yang kita nikmati? Lebih dari itu bukankah dalam setiap
waktu shalat kita telah mengungkapkan ikrar kesetiaan kita kepada-Nya bahwa
ibadah kita, hidup dan mati kita sepenuhnya kita sandarkan kepada Allah SWT.
Dalam hal ini, kita memang kerap lalai.
Jadi, sudah semestinya orang yang
ikhlas adalah orang yang beramal dan bekerja secara maksimal (penuh tanggung
jawab) untuk mengharapkan keridhaan dari Allah SWT., bukan yang sebaliknya;
asal-asalan dan tidak teratur. Orang yang sempurna keimananya tentu akan
melakukan apa saja yang terbaik di mata Allah SWT. Orang yang seperti ini yang
akan disempurnakan pahala amalnya oleh Allah sebagaimana firman-Nya: “Adapun
orang-orang yang beriman dan berbuat amal sholeh, maka Allah akan
Menyempurnakan Pahala mereka dan Menambah untuk mereka sebagian dari
karunia-Nya…” (QS. Al-Maidah: 173).
Hidayatullah
Posting Komentar