Adi bin Hatim adalah kepala suku Thai yang disegani. Dia mewarisi
kepemimpinan bapaknya. Sebagaimana kepala suku, Adi menerima seperempat penghasilan
kaumnya sebagai pajak. Hidupnya tenang dengan kekayaan yang melimpah.
Dia sangat membenci Rasulullah SAW, kendati dia
belum pernah bertemu. Adi semakin gelisah setelah mendengar kabar pengaruh
Rasulullah semakin kuat di jazirah Arabia. Beberapa kepala suku sudah memeluk
Islam dan bergabung dengan Madinah. Adi khawatir kedatangan Rasulullah SAW akan
mengancam kepemimpinannya.
Satu hari, hamba sahayanya melaporkan bahwa dia melihat bendera tentara
Muhammad di sekeliling perkampungan mereka. Dengan tergesa-gesa, Adi
mengumpulkan keluarganya dan segera lari meninggalkan Thai menuju utara, Syam.
Tetapi, saudara perempuannya tertinggal. Dia tidak berani kembali. Dia hanya
bisa berharap saudara perempuannya dapat menyusul.
Harapannya terpenuhi. Saudara perempuannya muncul bersama rombongan yang
baru datang dari Madinah, sambil marah. “Engkau tinggalkan kami. Engkau zalim.
Istri dan anak-anakmu engkau bawa, tetapi saudara perempuanmu dan yang lainnya
engkau tinggalkan.” Adi berusaha menenangkan kemarahan saudara perempuannya.
Setelah tenang, dia bercerita akan kemuliaan Nabi Muhammad.
“Setelah negeri kita diserang, aku dan berapa penduduk lain dibawa ke
Madinah,” kata saudara perempuannya itu. “Di sana kami ditawan di dekat masjid.
Ketika Rasulullah lewat aku menyapanya. Wahai Rasulullah. Bapakku telah tiada,
yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkanlah karunia yang dikaruniakan
Allah kepada Anda.” Rasulullah bertanya, “Siapa yang menjamin engkau?” Aku
menjawab, “Adi bin Hatim.” Kata Rasulullah, “Dia lari dari Allah dan
Rasul-Nya.”
Kemudian, Rasul SAW berlalu. Besoknya, terjadi lagi dialog yang sama. “Pada
hari ketiga, Rasulullah lewat tetapi aku tidak menyapa beliau lagi sampai
seorang laki-laki -yang kemudian kuketahui adalah Ali bin Abi Thalib- memberi
isyarat kepadaku untuk menyapa beliau. Kali ketiga itulah permintaanku
dipenuhi. Rasulullah berkata, “Engkau jangan terburu-buru pergi sebelum engkau
dapatkan orang yang dapat dipercaya untuk mengantarkanmu.” Setelah mendapatkan
orang yang dipercaya, Rasulullah memberiku pakaian, unta untuk kendaraan, dan
belanja secukupnya. Akhirnya dengan rombongan yang dipercaya, aku sampai di
sini,” tuturnya.
Adi disarankan untuk menemui Rasulullah. “Datangilah segera. Jika dia
seorang Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya akan beruntung. Dan jika
dia seorang raja, tidak ada hinanya engkau berada di sampingnya. Engkau juga
seorang raja.”
Akhirnya Adi pergi ke Madinah. Dia masuk ke majelis Nabi SAW ketika beliau
berada di masjid. Mengetahui yang datang adalah Adi bin Hatim, Rasulullah
berdiri menyongsongnya. Menggandeng tangan Adi, membawanya ke rumah beliau,
dipersilakan duduk di atas bantal kulit. Sedangkan Rasulullah sendiri duduk di
tikar biasa. Adi berguman, “Ini bukan kebiasaan raja-raja.”
Setelah berdialog beberapa saat akhirnya Adi mengucapkan dua kalimah
syahadat. Kebenciannya luluh oleh kemuliaan hati Rasulullah SAW.
Ust. Jefri Al Bukhory
Posting Komentar