Rukyah sebagai sistem penentuan awal bulan qomariyah dengan cara melakukan
pengamatan/observasi terhadap penampakan hilal di lapangan, baik dengan mata
telanjang maupun dengan menggunakan alat seperti teropong, pada hari ke 29
malam ke-30 dari bulan yang sedang berjalan. Apabila ketika itu hilal dapat
terlihat, maka pada malam itu dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar
Rukyatul hilal. Tetapi apabila tidak berhasil melihat hilal, maka malam itu
adalah tanggal 30 dari bulan yang sedang berjalan dan kemudian malam berikutnya
dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar Istikmal (menggenapkan 30 hari
bagi bulan sebelumnya).
Ada pendapat bahwa rukyah itu hanya berlaku bagi masyarakat ummi/awam yang
tidak mengetahui ilmu hisab, tetapi bagi masyarakat modern cukup dengan ilmu
hisab tidak perlu rukyah. Pendapat ini mendasarkan pada hadits :
اِنَّا اُمَّةٌ اُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا
وَهَكَذَا (متفق عليه). قَالَ اْلبُخََارِيُّ : يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً
وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً ثَلاَثِيْنَ
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan tidak
dapat menghitung (menghisab). Umur bulan itu sekian dan sekian,” (HR. Muttafaq
‘alaih). “Menurut al-Bukhari “sekian dan sekian” ialah “kadang 29 hari dan
kadang 30 hari.””
Pendapat demikian ini menunjukkan adanya pemahaman terhadap hadits tersebut
secara hitam putih. Padahal sesungguhnya di balik hadits ini terdapat hikmah
yang mendalam, yaitu:
Sifat keummian itu justru menunjukkan secara yakin tentang otentitas
ad-dinul islam dibangun atas dasar wahyu, bukan dibangun atas dasar hasil
pemikiran.
Hadits itu mengajarkan, bahwa usia bulan Qomariyyah kadang 29 hari dan
kadang 30 hari, berbeda dengan umur bulan syamsiyah. Nabi SAW. mengajarkan rukyah sebagai kemudahan untuk umatnya.
Rukyah mempunyai nilai ibadah jika hasilnya digunakan untuk pelaksanaan
ibadah seperti shiyam, ‘id, sholat gerhana, dan lain-lain.
Rukyah, pengamatan dan observasi benda-benda langit seperti letak matahari
terbenam, posisi dan tinggi hilal, dan jarak antara hilal dan matahari dapat
menambah kekuatan iman.
Rukyah itu ilmiah. Rukyah, pengamatan dan observasi benda-benda langit
ribuan tahun lamanya dicatat dan dirumuskan, kemudian lahirlah ilmu astronomi
dan ilmu hisab. Rukyah melahirkan hisab. Tanpa rukyah tak ada hisab.
Pendapat yang mengatakan tidak perlu rukyah tetapi cukup hisab tersebut,
sesungguhnya belum dapat memberi jalan keluar atas terjadinya perbedaan pada
metode dan kriteria hisab. Metode dan kriteria hisab mana yang harus digunakan?
Pendapat yang mengatakan cukup dengan ilmu hisab, tidak sejalan dengan nash
Mafhuumul ayat S. Al-baqarah a.185 dan a.189, Yunus a.5, dan Yasin a.39
Tidak kurang dari 23 hadits tentang rukyah diriwayatkan oleh al-Bukhari,
Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Malik, Ahmad bin
Hanbal, ad-Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan
lain-lain.
Rukyah dan hisab tidak perlu dipertentangkan. Keduanya dapat digunakan
bersamaan. Rukyah sebagai penentu dan hisab sebagai pendukung. Hisab yang
berkualitas tahqiqi/tadqiqi/’ashri dan memenuhi kriteria imkanurrukyah dapat
dijadikan sebagai pendukung, pemandu, dan pengontrol rukyah, sehingga
menghasilkan rukyah yang berkualitas. Sebaliknya, rukyah dapat dijadikan
sebagai sarana uji verifikasi atas hipotesis hisab.
Kriteria imkanurrukyah itu, secara empirik memenuhi ketentuan tinggi hilal 2
derajat, umur bulan 8 jam / jarak antara Matahari dan Bulan 3 derajat. Kriteria
inipun sudah disepakati untuk kriteria Taqwim dan kriteria rukyah oleh
Ormas-Ormas Islam dalam Lokakarya Hisab Rukyah yang diselenggarakan oleh Sub
Direktorat Hisab Rukyah dan Pembinaan Syari’ah Kemenag RI, di Cisarua tahun
2011, yang kemudian disempurnakan dalam Lokakarya di Semarang tahun itu juga.
Kriteria imkanurrukyah ini bukan dimaksudkan untuk mengganti rukyah, tetapi sebagai instrumen untuk menolak apabila ada laporan terlihatnya hilal ketika mayoritas ahli hisab menyatakan bahwa hilal pada hari itu belum imkanurrukyah.
Kriteria imkanurrukyah ini bukan dimaksudkan untuk mengganti rukyah, tetapi sebagai instrumen untuk menolak apabila ada laporan terlihatnya hilal ketika mayoritas ahli hisab menyatakan bahwa hilal pada hari itu belum imkanurrukyah.
Dari seluruh paparan tersebut, diharapkan dapat
menjadi masukan dalam rangka mencari titik temu atas perbedaan yang serba
majmu’ dalam menentukan awal Ramadlan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah.
Sumber: Makalah KH. Ghozali Masroeri yang disampaikan dalam acara Mudzakarah di Aula TK Islam Al-Azhar
lt.II Kampus Al-Azhar Kebayoran Baru, Senin 2 Juli 2012, yang dipanel dengan
Prof. DR. Thomas Djamaluddin (Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN), dan
Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.(Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah). Moderator : Dr. HM. Hartono, MM (Ka. Sekretariat Masjid Agung Al
Azhar)
Posting Komentar