Shalat
memang harus dilakukan dengan cara berdiri. Tapi, jika berhalangan (udzur),
maka bisa dikerjakan dengan duduk, berbaring, atau terlentang, sesuai
dengan tingkatan halangannya.
Jika shalat
berdiri tidak bisa, maka boleh melakukannya dengan duduk. Jika tidak mampu
duduk, maka dengan tidur miring. Jika tidak mampu tidur miring maka tidur
terlentang.
Ukuran udzur (halangan) dalam
hal ini ada dua macam, yaitu hissi (ukuran indera) dansyar’i (ukuran
syariat).
Udzur hissi misalnya
ketika mengerjakan shalat dengan berdiri, dikhawatirkan bisa berakibat buruk,
misalnya sakitnya jadi parah; atau ketika shalat di atas perahu, khawatir
kepalanya pusing/mabuk laut.
Sedangkan
udzur syar’i, misalnya orang yang lumpuh, orang yang tidak mungkin
diobati kecuali dengan duduk atau tidur terlentang, orang yang dâ’im
al-hadats (selalu hadas) dan jika duduk maka hadasnya bisa
dihentikan.[1]
Adapun cara
shalat duduk, tidur miring atau terlentang adalah seperti berikut:
a. Cara
Shalat dengan Duduk
Cara duduk: mushalli boleh
memilih, antara duduk bersila atau duduk iftirâsy atau dengan
menselonjorkan kaki. Akan tetapi lebih baik dengan duduk iftirâsy.
Ada sekelompok ulama di antaranya Imam Subki dan Adzra‘i
mengatakan bahwa bersila lebih utama karena untuk membedakan antara
duduk yang mewakili berdiri dengan duduk tasyahhud. Imam Mawardi
menyatakan bahwa perempuan lebih utama duduk bersila, agar auratnya lebih
tertutup; sedangkan laki-laki lebih utama iftirâsy.
Cara rukû’: paling sedikit membungkukkan
badan sampai dahi lurus di depan lutut. Sedangkan cara yang sempurna
adalah meluruskan dahi ke tempat sujud.
Cara sujud, dilakukan sebagaimana orang yang
kuat shalat berdiri. Bila tidak mampu untuk melakukan sujud seperti biasa, maka
lakukan dengan membungkuk seperti cara rukû‘ akan tetapi lebih rendah.
Kalau tidak bisa membungkukkan tubuh, maka cukup melakukan isyarat dengan
menundukkan kepala. Isyarat dalam sujud lebih rendah daripada rukû‘.
b. Cara
Shalat dengan Tidur Miring
Cara
berbaring: 1) posisi
kepala berada di sebelah utara (tubuh bagian kanan berada di bawah); 2) tubuh
bagian depan menghadap kiblat. Kalau tidak bisa menghadap seluruhnya, maka
cukup wajah saja.
Cara rukû‘
dan sujud: dilakukan
dengan isyarat kepala. Isyarat sujud lebih rendah daripada isyarat rukû‘.
Namun apabila bisa melakukan rukû‘ dan sujud sebagaimana orang yang berdiri
maka wajib dikerjakan sebagaimana orang yang shalat berdiri. Kalau tidak
bisa menggunakan isyarat kepala, maka gerakan-gerakan shalat dilakukan dengan
isyarat mata. Dalam keadaan ini antara isyarat rukû‘ dan isyarat sujud tidak
berbeda.
c. Cara
Shalat dengan Tidur Terlentang
Cara
berbaring: kepala
berada di arah yang berlawanan dengan kiblat (di Indonesia kepala ada di
timur). Agar bagian depan tubuh bisa dihadapkan ke kiblat maka,
wajib menaruh penyangga di bawah bagian tubuhnya. Apabila sulit, maka wajib
menghadapkan wajah dan telapak kaki. Jika tidak bisa maka menghadapkan kedua
telapak kaki saja ke arah kiblat.
Cara rukû‘
dan sujud:
menggunakan isyarat kepala dengan menoleh sampai dahi atau wajahnya
didekatkan ke tempat shalat. Dalam sujud, isyarat kepala lebih rendah
daripada rukû‘. Jika tidak bisa melakukannya dengan kepala, maka
lakukanlahdengan mengedipkan mata. Dalam keadaan ini kedipan untuk rukû‘ dan
sujud tidak berbeda. Jika masih tidak bisa, maka cukup dengan isyarat di dalam
hati atau pikiran, baik itu gerakan yang wajib atau sunnat. Begitu juga, jika
tidak mampu untuk mengucapkan bacaan-bacaan shalat dengan mulut, maka
ucapkanlah dengan isyarat dalam hati
Sumber: Buku
Shalat itu Indah dan Mudah (Buku Tuntunan Shalat) oleh Pustaka SIDOGIRI (Pondok
Pesantren Sidogiri. Sidogiri Kraton Pasuruan Jawa Timur)
Posting Komentar