Sebagian kalangan berpendapat, bahwa tukar uang receh ini dapat
dikategorikan ke dalam akad wakalah bil ajr (perwakilan dengan upah)
atau ijarah (suatu pekerjaan dengan upah). Dengan asumsi, bahwa si
penawar jasa penukaran adalah wakil, dan si pembeli (penukar)
adalah muwakkil. Sehingga dibolehkan ada tambahan pada penukaran uang
sejenis yang diposisikan sebagai upah kepada wakil.
Menurut penulis, hal ini tidak tepat. Karena dalam
akad wakalah, upah haruslah jelas di awal akad, tidak boleh berubah
setiap waktu. Bahkan sebagian ulama tidak membolehkan pakai persentase, harus
memakai nominal yang jelas. Adapun dalam konteks ini, si penawar jasa penukaran
bisa saja menjual kepada satu pelanggan dengan keuntungan 10% dari jumlah yang
dimaksud, dan kepada pelanggan lainnya dengan keuntungan yang lebih besar atau
lebih kecil dari 10%. Hukum supply and demand bekerja dalam hal ini.
Di sisi lain, dari awal tidak ada sama sekali perjanjian akad wakalah antar
dua belah pihak, penjual maupun pembeli. Beda kasusnya jika misalnya si Ahmad
ditugaskan oleh kantor untuk menukarkan uang receh sejumlah 10 juta kepada bank
tertentu, dengan upah 500 ribu rupiah. Tentu hal ini dibolehkan,
karena wakil dan muwakkil nya jelas, jumlah upahnya juga
jelas.
Sekali lagi, meng-qiyas-kan praktek penukaran uang receh dengan
akad wakalah bil ajratau ijarah tidak tepat.
Apakah bisa memakai kaidah darurat?
Dalam usul fikih, jika seorang muslim berada dalam keadaan sangat mendesak
dan tidak ada pilihan lain kecuali dengan melakukan keharaman, maka keharaman
tersebut menjadi boleh, dengan syarat tidak melebihi kebutuhan mendasar.
Para
ulama menyebutnya; الضرورات تبيح المحظورات dan الضرورة تقدَّر
بقدرها, kedaruratan dapat membuat halal keharaman, dan kedaruratan harus
diukur dengan kadarnya (sesuai kebutuhan).
Menurut hemat penulis, kaidah darurat juga tidak tepat digunakan dalam
konteks ini. Mari kita tanyakan kepada diri kita masing-masing,
apakah angpao/wisit begitu mendesak? Dan menjadi kebutuhan primer
pada setiap momentum lebaran?
Memang ada kaidah lainnya yang menyatakan; الحاجة قد تنزل منزلة الضرورة,
suatu hajat kebutuhan dapat menjadi kedaruratan (mendesak). Tapi sekali lagi,
memberikan angpaoini pun tidak dapat ditarik kepada kaidah ini. Dapat
dikatakan, bahwa angpao adalah kebutuhan tersier, sama sekali tidak
dosa jika kita tidak melakukannya.
Bagaimana solusinya?
Jika kita setuju dengan analisa ini, tentu kita harus menjauhi tukar uang
receh yang sedang banyak terjadi ini. Jika memang ingin menukar uang receh,
datanglah ke Bank Indonesia, karena mereka tidak memungut biaya sepeserpun
darinya, 100 ribu ditukar dengan 100 ribu. BI juga menugaskan beberapa bank
untuk membantu pelayanan tukar uang receh ini. Bahkan BI mengirimkan
mobil-mobil stan penukaran uang di beberapa titik di ibukota (Jakarta) dan
sekitarnya.
Jika memang malas mengantri atau tidak ada waktu, bisa saja kita pakai
akad wakalah bil ujrah, yaitu menugaskan satu orang untuk mengantri dengan
memberikan upah setelahnya. Tentu dengan mengindahkan rukun dan syarat
akad wakalah.
Disamping sisi-sisi syariah di atas, tukar uang baru di jalanan juga riskan
disusupi uang palsu. Hal ini diwanti-wanti juga oleh pihak BI dan kepolisian.
Pada akhirnya, tulisan ini bukan ingin menjadi penghalang rezeki
sebagian wong cilik yang ingin menambah penghasilan menjelang
lebaran. Tulisan ini hendaknya dibaca sebagai wujud kehati-hatian kita dalam
bermuamalah. Karena sesungguhnya, dosa yang ditimbulkan oleh kesalahan praktek
muamalah tidak kalah dengan dosa lainnya.
Dalam konteks riba, semua pihak yang mensukseskan terjadinya akad ribawi
terkena ancaman dari Allah. Sabda Nabi Saw.:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ
بْنُ أَبِى شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ الرِّبَا
وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“dari Jabir ra., beliau berkata: Rasulullah Saw melaknat pemakan riba,
pemberi makan riba, notulen (penulis), dan dua saksi atasnya. Rasulullah
menambahkan; mereka semua sama dalam hal ini –dosa- (HR. Bukhari)”.
Muhammad Rifqi Arriza
Posting Komentar