Uang yang disimpan, entah di bawah tempat tidur atau di bank, alias tidak diputar untuk modal usaha tetap wajib dikeluarkan zakatnya jika telah mencapai nisab atau jumlah tertentu sehigga wajib zakat (senilai harga 85 gram emas murni).
Zakat uang simpanan dikeluarkan
setiap tahun, selama jumlah uang masih mencapai satu nishab, dipersamakan
dengan emas dan perak yang setiap tahunnya bisa berubah nilainya.
Hal ini
didasarkan pada keterangan dalam kitab Bajuri-Fathul Qorib Juz I dan Bujairimi-Iqna’,
bahwa pada benda-benda tambang yang berpotensi untuk tetap mempunyai nilai
tambah seperti emas dan perak wajib dizakati selama barangnya masih ada dan
mencapai satu nishab. Sementara pada biji-bijian zakatnya hanya setahun sekali
saja walaupun biji-bijian tetap ada selama beberapa tahun.
Tahun pertama pengeluaran zakat
dihitung setelah seseorang menyimpan uangnya selama satu tahun.
Tahun kedua
dihitung setelah melewati satu tahun dari tahun pertama, begitu seterusnya.
Besarnya zakat yang dikeluarkan tiap tahunnya adalah 2,5 persen, sama dengan
zakat barang dagangan.
Jika asumsi harga emas murni hari
ini adalah Rp. 150.000,- per gramnya maka nishab zakat uang simpanan adalah 85
gram emas murni x Rp. 150.000,- = Rp. 12.750.000,-. Zakat yang dikeluarkan
= 2,5 % x jumlah uang simpanan.
Misalnya seorang menyimpan uang pada
tanggal 29 Desember 2005 sejumlah Rp.50.000.000,- Pada tanggal 29 Desember 2005
uang simpanan berjumlah Rp.45.000.000,- (masih satu nishab) maka zakat yang
harus dikeluarkan adalah 2,5 % X Rp.45.000.000,- = Rp.1.125.000,-.
Jika pada tahun berikutnya uang
simpanan masih mencapai satu nishab (berdasarkan perhitungan harga emas murni
waktu itu) maka tetap wajib dikeluarkan zakatnya seperti pada perhitungan di
atas.
Sebagai catatan, seorang muslim
tidak diperkenankan untuk melakukan trik tertentu agar tidak mengeluarkan
zakat.
Misalnya membelanjakan uangnya habis-habisan menjelang satu tahun kepemilikan hartanya sehingga kurang dari satu nishab. Orang seperti ini disebut sebagai orang yang bakhil, atau dalam bahasa fikih yang tegas disebut sebagai orang yang ingkar terhadap perintah Allah SWT.
Misalnya membelanjakan uangnya habis-habisan menjelang satu tahun kepemilikan hartanya sehingga kurang dari satu nishab. Orang seperti ini disebut sebagai orang yang bakhil, atau dalam bahasa fikih yang tegas disebut sebagai orang yang ingkar terhadap perintah Allah SWT.
Sumber: Keputusan Muktamar ke-8
Nahdlatul Ulama di Jakarta, tanggal 12 Muharram 1352 H./ 7 Mei 1933 M
Posting Komentar