Memenuhi kewajiban membayar hutang adalah sesuatu yang
mutlak. Baik yang berhubungan dengan manusia, apalagi berhubungan dengan Allah
SWT. Sehingga orang yang meninggal dunia sebelum memenuhi kewajiban qadha’
puasa Ramadhan, sama artinya dengan mempunyai tunggakan hutang kepada Allah
SWT. Oleh sebab itu, pihak keluarga wajib memenuhinya.
Adapun dalam praktik pelaksanaan qadha’ puasa Ramadhan
tersebut, ada dua pendapat yakni;
Pendapat pertama, menyatakan bahwa;
pelaksanaan qadha’ puasa Ramadhan orang yang meninggal dunia tersebut gapat
diganti dengan fidyah, yaitu memberi makan sebesar 0,6 kg bahan makanan pokok
kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari puasa yang telah ditinggalkannya.
Sabda Rasulullah SAW:
مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ
يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ
“Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban
puasa, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada
tiap hari yang ditinggalkannya.” (HR Tirmidzi, dari Ibnu ‘Umar)
Hadits tersebut di atas, yang mendukung pendapat pertama
ini. Namun oleh perawinya sendiri yakni, Imam Tirmidzi telah dinyatakan sebagai
hadits gharib. Bahkan oleh sebagian ahli hadits dinyatakan sebagai
hadits mauquf, atau ditangguhkan alias tidak dipakai. Sehingga hadits
ini tidak dapat dijadikan hujjah.
Namun demikian, para Fuqaha yang menyatakan pendapat ini
menguatkannya dengan berbagai peristiwa seperti; bahwa masyarakat Madinah
melaksanakan hal yang seperti ini, yakni memberi makan kepada seorang miskin
untuk tiap-tiap hari yang telah ditinggalkan puasanya oleh orang yang meninggal
dunia.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa; jika orang yang memiliki
kewajiban qadha’ puasa meninggal dunia, maka pihak keluarganya wajib
melaksanakan qadha’ puasa tersebut, sebagai gantinya. Dan tidak boleh dengan
fidyah. Sedangkan dalam prakteknya, pelaksanaan qadha’ puasa tersebut, boleh
dilakukan oleh orang lain, dengan seijin atau atas perintah keluarganya.
Sabda Rasulullah SAW:
مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban
qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya.” (HR.
Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)
Pendapat kedua ini, kami kira lebih kuat lantaran hadits
yang mendasarinya shahih. Sementara pendapat pertama dinilai lemah karena
hadits yang mendasarinya marfu’, gharib atau mauquf
seperti dijelaskan di atas. Sedangkan peristiwa yang menguatkannya yakni, apa
yang dilakukan oleh masyarakat Madinah ketika itu, sama sekali tak dapat
dijadikan hujjah, lantaran bukan suatu hadits.
Bagaimana Jika Jumlah Hari yang Ditinggalkan Tidak
Diketahui?
Melaksanakan qadha’ puasa sebanyak hari yang telah
ditinggalkan merupakan suatu kewajiban. Baik qadha’ puasa untuk dirinya
sendiri, maupun untuk anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Namun dalam
hal ini, tidak mustahil terjadi bahwa jumlah hari yang harus qadha’ puasa itu
tidak diketahui lagi, misalnya lantaran sudah terlalu lama, atau memang,sulit
diketahui jumlah harinya.
Dalam keadaan seperti ini, alangkah bijak jika kita
tentukan saja jumlah hari yang paling maksimum. Lantaran kelebihan hari qadha’
puasa adalah lebih baik ketimbang kurang. Dimana kelebihan hari qadha’ tersebut
akan menjadi ibadah sunnat yang tentunya memiliki nilai tersendiri.
KH Arwani Faishal
Posting Komentar