Keempat: Mematikan ponsel atau mengaktifkan tanpa
nada (mode silent, shamit, diam) saat memasuki masjid.
Tujuannya agar tidak
mengganggu orang yang shalat dan mengurangi kekhusyu’an mereka. Jika terlupa
mematikan ponsel atau memasang mode silent, lalu tiba-tiba ada yang menelepon,
segeralah matikan atau hilangkan suaranya seketika itu juga. Karena sebagian
orang membiarkan ponselnya tetap berdering, bahkan dengan nada musik yang
mengganggu. Tidak dimatikan, tidak juga diredam suaranya dengan alasan takut
melakukan gerakan selain gerakan shalat. Padahal perlu dia ketahui bahwa gerakannya
mematikan ponsel tersebut adalah untuk kekhusyu’an shalatnya, bahkan untuk
jama’ah lainnya secara umum.
Sebaliknya kita juga harus
berlapang dada jika ada orang yang lupa mematikan ponselnya. Tidak serta merta
menegurnya dengan keras dan memandangnya dengan sinis. Terutama jika dia orang
yang mudah tersinggung, atau mudah marah. Karena mungkin saja dia tidak sengaja
dan hanya lupa. Sehingga tidak seharusnya diperlakukan dengan perlakuan yang
menyakitkan.
Cukuplah bagi kita teladan yang
baik pada diri Rasulullah ketika beliau sangat berlemah lembut terhadap seorang
Badui yang kencing di masjid. Beliau memerintahkan untuk menyiram bekas air
kencing itu dengan setimba air.
Abu Hurairah berkata: “Seorang
badui berdiri lalu kencing di masjid. Seketika itu juga orang-orang yang hadir
menghardiknya. Tapi Nabi berkata pada mereka: “Biarkan dia selesai. Lalu
siramlah kencingnya dengan setimba air. Sesungguhnya kalian diutus untuk
mempermudah, bukan untuk mempersulit.” (HR. Bukhari)
Kelima: Menghindari penggunaan nada dering lagu/
musik yang mengganggu.
Karena di dalamnya terdapat larangan keharaman dan celaan terhadap akal
orang yang menggunakan nada lagu dan musik tersebut. Karena hal ini sangat
mengganggu, terlebih jika sampai dipergunakan di dalam masjid atau majlis-majlis
umum.
Keenam: Tidak menggunakan ponsel pada saat berada
di majelis ilmu atau pada forum-forum besar secara umum.
Karena hal itu bisa
mengurangi wibawa majelis dan mengganggu orang yang sedang menuntut ilmu.
Menyakiti perasaan pembicara yang sedang menyampaikan pelajaran atau materi,
dan menimbulkan cercaan terhadap pengguna ponsel tersebut.
Disarankan agar tidak menelepon
atau menjawab telepon ketika sedang berada dalam suatu pertemuan yang dipimpin
oleh orang yang mulia, diisi oleh pembicara tunggal, atau terdapat orang yang
lebih tua dan dimuliakan. Karena menelepon atau menjawab panggilan telepon pada
saat itu bisa memutuskan pembicaraan dan mengganggu konsentrasi hadirin. Serta
merusak etika berbicara dan bermajlis.
Abu Tammam berkata:
“Siapakah yang engkau buat murka atau kau bodohi, sedangkan ia
membalasnya dengan kesabaran dan kearifan kau lihat dia memperhatikan
pembicaraan dengan sungguh-sungguh dan dengan sepenuh hatinya padahal ia
mungkin lebih memahaminya”
Menelepon atau menjawab telepon
pada kondisi di atas dimaklumi apabila memang darurat atau ada kebutuhan
mendesak yang dikhawatirkan hilangnya kesempatan setelah itu. Tentu dengan
tetap menjaga agar tidak memperpanjang percakapan.
Dimaafkan juga bagi pemimpin
majlis atau orang tua untuk menelepon atau menjawab panggilan telepon. Begitu
pula pada pertemuan biasa dengan keluarga atau teman-teman, maka tidak mengapa
menerima atau menelepon.
Sangat bijaksana jika seseorang
yang akan menelepon untuk minta izin terlebih dulu dan keluar dari forum.
Sumber: Al Jawaalul Adaab Wa Tanbihaat atau Adabul Hatif (adab menelepon)
Posting Komentar