Untuk itu ada dua hal penting yang harus dilakukan oleh
seseorang yang ingin melakukan amal dengan terang-terangan.
Yang pertama, harus
memiliki keyakinan atau asumsi yang kuat kalau perbuatan tersebut akan diikuti
orang lain.
Karena tidak jarang orang yang beribadah kemudian diikuti oleh
keluarganya namun tidak oleh tetangganya. Banyak juga yang diikuti tetangganya
namun tidak tiru oleh rekan kerjanya. Atau juga terkadang relasinnya ikut
melakukan ibadahnya akan tetapi masyarakat umum masih enggan mengikuti.
Seorang yang benar-benar mengerti dan ‘alim bukanlah orang
seperti itu. Akan tetapi merekalah orang-orang yang amal ibadahnya ditiru oleh
kalangan masyarakat luas. Dan orang yang tidak memiliki karakter yang demikian
maka akan rentan sekali dia melakukan riya’ dan kemunafikan ibadah. Dan sebaliknya
dia akan menjadi bahan cacian orang lain serta akan dikucilkan dari
lingkungannya. Sah sah saja orang yang ingin menampakkan amal ibadahnya dengan
niatan ingin ditiru orang lain. Namun semua itu harus dengan ketentuan bahwa
dirinya memang memiliki pengaruh dan menjadi figur masyarakat yang layak
diikuti. Di samping itu masyarakat tempat tinggalnya adalah orang-orang yang
mudah untuk mengikuti atasannya.
Yang kedua, dirinya harus selalu mengkoreksi dan mengawasi
hatinya jangan sampai terbawa arus riya’.
Karena bisa jadi semula dia melakukan
hal tersebut dengan tujuan supaya ditiru orang lain namun pada akhirnya dia
bisa dipengaruhi riya’ yang selalu menggodanya. Dan hanya orang-orang yang
memiliki kekuatan ikhlas-lah yang sanggup mengawal hatinya. Dan orang yang
demikian ini sangatlah jarang sekali.
Sehingga jangan sekali-kali orang yang tidak memiliki
keikhlasan yang kuat mencoba melakukan hal ini. Karena itu tidak ubahnya
seperti orang yang sedang tenggelam ditengah lautan bersama-sama dengan orang
baik. Sebenarnya kemampuan renangnya sangat payah. Namun dia sok jago ingin
menyelamatkan orang lain. Maka jangankan bisa menyelamatkan mereka. Untuk
menepikan dirinya sendiri ke darat dia tidak akan bisa melakukannya. Dan
akibatnya mereka akan mati bersama-sama.
Lebih mendingan kalau semua itu hanyalah kecelakaan akibat
tenggelam di tengah lautan yang rasa sakitnya akan hilang dalam hitungan jam.
Lantas bagaimana jika kecekakaan itu karena riya’? Sulit dibayangkan sampai
kapan siksa yang akan mendera mereka. Bahkan seorang ulama’ dan ahli ibadah pun
terkadang masih terjebak dalam masalah ini. Mereka berlagak seperti orang yang
kuat. Sehingga dia selalu unjuk gigi atas amal ibadahnya. Namun sayang hati
mereka masih belum kuat menjaga keikhlasan. Sehingga amal ibadahnya akan mudah
hangus terbakar api riya’.
Bagian kedua, yaitu dengan cara menceritakan amal ibadah yang telah dilakukan.
Hal ini juga pada dasarnya sama dengan melakukan ibadah itu dengan
terang-terangan. Bahkan dengan cara ini resiko terjangkiti riya’ lebih besar
dari bagian yang pertama. Karena secara materi dan fisik cara seperti ini lebih
murah dan tanpa mengeluarkan keringat sama sekali. Lagi pula kalau bercerita
akan lebih mudah untuk menamba-nambah perbuatan yang tidak dikerjakan.
Baiknya, ketika ceritanya tersebut dicampuri perasaan riya’
itu sama sekali tidak akan mempengaruhi pahala ibadah yang telah dilakukan.
Bahkan terkadang cara demikian ini sangat disunatkan bagi orang yang kuat
hatinya, sempurna keikhlasannya, tidak memperdulikan pujian dan cacian orang
lain, dan masyarakat bisa diharapkan untuk bisa mengikutinya.
Jangan Menceritakan Dosamu. Inti dari ikhlas adalah tidak membedakan antara keadaan ramai dan sepi, tidak
pandang bulu dengan makhluk lain yang ada di sekelilingnya. Untuk urusan ibadah
memang terkadang manusia boleh memamerkannya kepada orang lain asal sesuai
dengan ketentuan-ketentuan. Akan tetapi untuk masalah dosa sebaliknya. Artinya
seorang pelaku dosa itu dianjurkan untuk menyimpan dosanya sendiri dan tidak
mencerikan kepada yang lain. Apalagi untuk ukuran dosa yang malah akan
menjadikan hawa nafsunya bergejolak dan berandai-andai.
Penulis berasal dari Ponpes Langitan (Sumber: Kitab Ikhya')
Posting Komentar