Jauh sebelum berdirinya Kerajaan Islam di
Demak, terjadilah kejadian yang menggemparkan di daerah Kudus. Peristiwa itu
terjadi pada diri Kanjeng Sunan Sungging. Pada suatu hari Kanjeng Sunan
Sungging bermain layang-layang tersiratlah niat beliau untuk melihat dan
berkeliling Wilayah Nusantara. Maka mulailah beliau merambat melalui benang
layang-layang yang sedang melayang di angkasa. Pada waktu Kanjeng Sunan Sungging
sampai di tengah-tengah angkasa, putuslah benang tersebut dan melayanglah
beliau bersama layang-layang tersebut hingga sampai ke Tiongkok, konon hingga
di daerah Yunan.
Selang beberapa tahun, Kanjeng Sunan Sungging mempersunting seorang gadis Tiongkok. Dalam beberapa tahun kemudian hamil-lah istrinya itu dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama The Ling Sing. Setelah The Ling Sing menginjak dewasa, maka ayahandanya Kanjeng Sunan Sungging memberi petuah kepada anak tersebut. Apabila engkau ingin menjadi orang yang mulia di dunia dan akhirat, maka ikutilah jejakku. Apakah yang ayahanda maksudkan? Pergilah kau ke Kudus yang termasuk wilayah Nusantara, di sanalah aku pernah berdiam.
Maka berangkatlah The Ling Sing ke Tajug. Setelah ia sampai ke tempat yang dituju, maka mulailah The Ling Sing menyiapkan diri untuk membenahi sekelilingnya dan berdakwah. Dimana pada waktu itu masyarakat Tajug masih kuat memeluk agama Hindu.
The Ling Sing, tiba pada sekitar awal abad ke-15. Konon, beliau datang ke Pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah Jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
Di Jawa, The Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Kyai Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai Tanggulangin dan Sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya mengajarkan agama Islam, melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah. Sebuah seni mengukir kayu dengan gaya Sung Ging sebagai sebuah maha karya ukiran kayu yang terkenal akan kehalusan dan keindahannya.
Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kyai Telingsing, termasuk Raden Ja’far Sodiq (Sunan Kudus), putra sahabatnya Raden Usman Haji (Sunan Ngundung). Dimana kemudian bersama-sama dengan Raden Usman Haji dikenal sebagai pendiri kota Ngundung (Undung) yang juga disebut Tajug dan kemudian dikenal sebagai Kudus. Sehingga, ia pun kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Kudus atau Kyai Gede Kudus.
Kyai Telingsing yang telah lama berdakwah telah lanjut usia dan ingin segera mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri (atau dalam bahasa Jawa Ingak-Inguk) seperti mencari sesuatu. Tiba-tiba Ja’far Shoddiq (Sunan Kudus) muncul dari arah selatan, dan secara tiba-tiba pula konon Sunan Kudus membangun masjid dalam waktu yang amat singkat, bahkan ada yang mengatakan masjid itu muncul dengan sendirinya. Berhubung dengan hal tersebut maka desa tempat masjid tersebut berdiri kemudian dinamakan desa Nganguk dan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali. Akhirnya kedua tokoh tersebut bekerja sama dalam mengembangkan dakwah di Kudus. Dan dengan taktik dan siasat dari Kyai Telingsing dan Ja’far Shoddiq (Sunan Kudus) akhirnya berhasil-lah cita-cita keduanya untuk menyebarkan Islam di Kudus.
Pada suatu hari Sunan Kudus akan kedatangan rombongan tamu dari Tiongkok. Maka dipanggillah Kyai Telingsing untuk membuat sebuah kenang-kenangan kepada tamu tersebut. Oleh Kyai Telingsing dibuatlah sebuah kendi yang bertuliskan kata-kata indah di dalamnya. Setelah kendi tersebut jadi, maka segera diberikan kepada Sunan Kudus. Sunan Kudus setelah melihat kendi yang menurutnya kurang bagus dan biasa-biasa saja yang tidak pantas untuk dihadiahkan kepada tamu dari Tiongkok tersebut, wajahnya berubah sinis dan menerimanya dengan kurang berkenan dan dilemparkanlah kendi tersebut. Setelah kendi tersebut pecah, tampaklah lukisan yang indah, dimana ditengah-tengahnya tertulis kalimat syahadat.
Seketika itu terperanjatlah beliau menunjukkan kekagumanya, sehingga beliau menyadari, betapa Kyai Telingsing adalah seorang yang memiliki karomah. Diantara sabda dari Kyai Telingsing, “Sholat Sacolo Saloho Donga sampurna", artinya : Sholat adalah sebagai do’a yang sempurna Lenggahing panggenan Tersetihing ngaji, artinya Menempatkan diri pada sesuatu yang benar, suci dan terpuji.
Beliau kini makamnya di kampung Sunggingan, Kudus. Ada sebagian orang yang mengatakan kalau beliau adalah seorang pemahat yang masuk dalam aliran Sun Ging. Dari nama Sun Ging inilah kemudian terjadi kata Nyungging yang artinya memahat atau mengukir, dan dari kata Sung Ging itu pulalah terjadi namanya Sungingan sampai sekarang ini.
Konon, cucunya yang bernama Jaka Tarub atau
Ki Ageng Tarub berhasil memperistri bidadari yang selendangnya ia curi, yakni
Dewi Nawangwulan. Yang kemudian melahirkan Dewi Nawangsih yang lalu menikah
dengan Raden Bondan Kejwan atau Lembu Peteng, yang adalah kakek moyang dari Ki
Ageng Sela.
Konon, keahlian ukir dan pahat Kyai Telingsing menyebar ke daerah-daerah sekitar Kudus, seperti Jepara, Demak, Rembang, Pati bahkan Blora. Namun versi lain menyebutkan bahwa khusus di Jepara, seni ukir dikembangkan oleh seorang Cina yang bernama Tji Wie Gwan yang dibawa oleh Raden Toyib setelah pulang dari berguru agama Islam di Campa selama lima tahun. Dimana kemudian Raden Toyib menikah dengan Ratu Kalinyamat dari Jepara.
Konon, keahlian ukir dan pahat Kyai Telingsing menyebar ke daerah-daerah sekitar Kudus, seperti Jepara, Demak, Rembang, Pati bahkan Blora. Namun versi lain menyebutkan bahwa khusus di Jepara, seni ukir dikembangkan oleh seorang Cina yang bernama Tji Wie Gwan yang dibawa oleh Raden Toyib setelah pulang dari berguru agama Islam di Campa selama lima tahun. Dimana kemudian Raden Toyib menikah dengan Ratu Kalinyamat dari Jepara.
Tji Wie Gwan sendiri kemudian berhasil membangun Masjid Mantingan pada tahun 1559 M, sehingga kemudian Ratu Kalinyamat dan suaminya menganugrahkan sebuah nama baru untuk Tji Wie Gwan menjadi Sungging Badar Duwung. Sungging artinya ahli ukir, Badar sama dengan batu dan Duwung artinya tatah.
Sungging Badar Duwung inilah yang dikenal sebagai cikal bakal dari seni ukir Jepara yang secara bertahap mulai dikenal diseluruh penjuru tanah air dan dunia. Konon ia juga ikut ambil bagian dari pembuatan Masjid di Loram Kudus dan Masjid Menara Kudus.
Sungging Badar Duwung menurunkan ilmunya kepada masyarakat disekitarnya baik di daerah Jepara maupun di Kudus dan memunculkan ahli-ahli ukir pilih tanding yang dari waktu ke waktu semakin bertambah jumlahnya. Keahlian tersebut secara langsung dan tidak langsung juga bermanfaat dalam proses pembuatan rumah adat Kudus.
Sedangkan nama The Ling Sing alias Kyai Telingsing, sampai sekarang diabadikan sebagai nama sebuah jalan di kota Kudus. Di seputar jalan tersebut juga terdapat sebuah kampung atau desa yang bernama Sunggingan yang diperkirakan berasal dari kata Sun Ging tersebut. Daerah tersebut dahulunya diperkirakan merupakan tempat tinggal para pengukir dan pemahat hasil didikan dari Kyai Telingsing.
Pa’e Daffa
Posting Komentar