“Ikhlas itu adalah rahasia dari semua rahasia dan
AKU menempatkannya dihati hamba yang menjadi kekasih-Ku.”
Demikian firman Alloh SWT sebagaimana disabdakan Nabi
Muhammad SAW. Berkaitan dengan itu, cucu Nabi Muhammad, Ja’far Shodiq bin
Muhammad Baqir memberi penjelasan bunyi surat Al Mulk ayat 2 ;
الَّذِي خَلَقَ
الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ
الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji siapa
diantara kamu yang paling baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.
Menurut Ja’far Shodiq yang dimaksud surat dan ayat tersebut
bukanlah siapa yang paling ‘banyak’ amalnya, melainkan siapa yang paling bermutu
(Ahsan) dalam tindakannya. Ahsan merupakan kedekatan kepada Alloh SWT dan niat,
jelas ahsan adalah kualitas bukan kuantitas. Ja’far Shodiq menambahkan lebih
sulit bertahan dalam keadaan selalu ikhlas dalam bertindak daripada melakukan
tindakan itu sendiri. Keikhlasan bergantung apakah anda menginginkan seseorang
memuji atau hanya bertindak Alloh SWT semata. Begitu pentingnya niat, membuat
beliau mengatakan,
“Sesungguhnya niat itu lebih penting daripada tindakan
itu sendiri.”
Ia kemudian membacakan ayat ini ;
قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلَى
شَاكِلَتِهِ , فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْد’ى سَبِيْلاً
Katakanlah (Muhammad), Setiap orang berbuat sesuai
dengan pembawaannya masing-masing, maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang
lebih benar jalannya. (QS. Al Isroo : 84.)
Shakilah itu artinya niat, kita rupanya harus berhati-hati
sebab adakalanya yang sudah beramal secara sempurna tanpa riya’ atau ujub
pada awalnya, setelah beberapa lama, terperosok sehingga amalnya dicemari riya’.
Ayah Ja’far Shodiq, Muhammad Baqir mengatakan ;
“Bertahan dalam niat baik untuk sebuah amal lebih baik
daripada amal itu sendiri.”
Ketika ditanya apa maksudnya bertahan dalam niat baik,
beliau menjawab ; Seseorang melakukan amal baik kepada familynya atau
member demi mencari ridho Alloh SWT, ia mendapatkan ganjaran yang dicatat
baginya. Belakangan ia menceritakan hal itu kepada orang lain, maka apa yang
sudah dicatat itu dihapuskan sehingga ia tidak punya lagi catatan ganjaran amal
itu. Kemudian, ia kembali menyebutkan soal amal itu lagi (untuk kedua kalinya),
ia dicatat sebagai melakukan riya’, sementara catatan amal baiknya malah sudah
tidak ada sama sekali.”
Dengan demikian, ikhlas merupakan tahapan tertinggi cinta
dan pengabdian kepada Alloh SWT.
Menurut Abdulloh Al Anshowi, ikhlas berarti menggugurkan
semua ketidak murnian, dan ketidak murnian itu adalah keinginan menyenangkan
diri sendiri atau orang (makhluk) lain.
“Jika orang masih berada dihabitat rasa suka diri, ia
belumlah masuk golongan ‘yang menuju kepada Alloh SWT’ (Musafir ilalloh), dan
termasuk golongan yang masih ingin langgeng di bumi (Mukholladun fil ardhi).”
Dan yang dikhawatirkan Nabi Muhammad SAW dan para salafush
sholihin adalah munculnya syirik dalam ibadah pada berbagai tingkatannya. Jika
seseorang melakukan suatu amal demi kepuasan diri sendiri, ia itu termasuk ujub,
kalau itu demi kepuasan orang lain, ia adalah riya’.
Didalam pandangan orang-orang arif, hal ini dianggap telah
membatalkan ibadah dan menjadikannya tidak diterima oleh Alloh SWT. Misalnya
Tahajud ‘demi’ memperbaiki kualitas hidup atau memberi Zakat ‘demi’
meningkatkan kekayaan, meski semua ibadah itu “SAH” dan orang yang
melaksanakannya berarti telah melaksanakan kewajiban syari’at, ia dianggap
belum melakukan penyembahan kepada Alloh SWT secara ikhlas dan tidak pula
memiliki kemurnian tujuan.
Bagi para arifin, semuanya itu merupakan ibadah yang sekedar
untuk mencapai maksud-maksud melepas kewajiban saja.
Ust. Akmal Bin Husain
Posting Komentar