Nasab
atau nisbah, artinya adalah hubungan. Setiap orang tidak akan selamat di
akhirat melainkan apabila mempunyai nisbah kepada Rasulullah. Selama ia tidak
mempunyai nisbah kepada Rasul, maka orang tersebut celaka, celaka, celaka.
Jangan
salah paham dulu! Nisbah
itu ada dua macam:
1. Nisbah
thiniyyah artinya hubungan darah dengan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang kita kenal mereka merupakan
para sayyid atau syarif.
2. Nisbah
diniyyah adalah hubungan agama dengan
Rasulullah, dan itu adalah hubungan umumnya muslimin.
Nisbah
thiniyyah tidak akan membawa manfaat apa-apa
tanpa diiringi nisbah diniyyah, sebagaimana kita ketahui dari Allah
dalam Al-Qur’an tentang anak Nabi Nuh. Dan manakala seseorang mempunyai kedua
nisbah ini, maka sudah jelas dia lebih mulia daripada yang hanya mempunyai satu
nisbah, sebab ini merupakan kemuliaan dari Allah Ta’ala yang telah menjadikan
rumah tangga mereka sebagai rumah tangga ilmu dan kenabian, rumah tangga
akhlak, serta syama’il dan kewalian. Manakala seorang sayyid telah
memutus dirinya dari rumah tangga tersebut, maka ia akan hancur
berkeping-keping dan menjadi hina, serta binasa.
Berkata
seorang muhibbin kepada Habib Abdullah bin Husin bin Tohir,
“Ya
Habib Abdullah, saya tidak bersedih kalau saya ini bukan seorang sayyid, sebab
sayyid itu kedudukannya tinggi sejak ia dilahirkan. Apabila sayyid tersebut
menyimpang berarti telah menjatuhkan dirinya dari tempat yang tinggi, seperti
orang yang jatuh dari gunung pasti hancur berkeping-keping. Adapun saya kalau
menyimpang, maka hanya seperti jatuh dari meja dan tidak terlalu parah.”
Berkata
Habib Abdullah,
“Perkataan
orang inilah yang telah mendorongku untuk tetap menjunjung tinggi nasabku
dengan mengikuti jejak datuk-datukku.”
Kita
melihat banyak sayyid sekarang yang hanya membanggakan nasab dan leluhurnya, akan
tetapi menyimpang jauh dari jalan leluhurnya. Sayyid, tapi tidak sholat.
Sayyid, tetapi tidak puasa. Sayyid, tapi tidak tahu syurutil wudhu.
Bahkan tidak mengetahui sejarah Rasulullah, siapa anak-anak dan istri-istri
beliau. Jadi kalau ada yang bilang, “Sayyid tidak tahu kalau dirinya
sayyid,” maka inilah orangnya.
Habib
Abdullah Alhaddad berkata,
ثم
لا تغتر بالنسب لا ولا تقنع بكان ابي
Kemudian
jangan tertipu dengan nasabmu, jangan!
dan jangan merasa puas dengan perkataan
“Dahulu ayahku begini atau begitu”
dan jangan merasa puas dengan perkataan
“Dahulu ayahku begini atau begitu”
Dalam
qasidah yang lain, beliau berkata,
لقد
تأخر أقوام وما قصدوا نيل المكارم واستغنوا بكان ابي
Sesungguhnya
telah ketinggalan suatu kaum,
yang mana mereka tidak berusaha mencapai kemuliaan dan kehormatan,
dan merasa cukup dengan ucapan-ucapan
“Dahulu ayahku orang besar, atau ini dan itu”
yang mana mereka tidak berusaha mencapai kemuliaan dan kehormatan,
dan merasa cukup dengan ucapan-ucapan
“Dahulu ayahku orang besar, atau ini dan itu”
Dikatakan
oleh Habib Umar bin Hafidz,
“Membanggakan
mereka sebagai leluhur bagi orang yang berjalan mengikuti jejak mereka
merupakan suatu kehormatan dan kemuliaan. Adapun bagi orang yang menyimpang
dari jalan mereka, merupakan ghurur/tertipu (memalukan).”
Paling
tidak, kalau kita tidak bisa menjadi seperti mereka, maka tirulah sedikit demi
sedikit dari amalan mereka.
Habib Jindan bin Naufal Bin Jindan
Posting Komentar