Sayyidah Fathimah menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat
usianya menginjak usia delapan belas tahun. Sebelumnya, Abu Bakar Shiddiq dan
Umar bin Khaththab pernah mengajukan lamaran kepada Rasulullah SAW, tetapi
ditolak secara halus.
Saat Imam Ali meminang Sayyidah Fathimah, dalam hadits yang diriwayatkan lkrimah, Rasulullah SAW bertanya, "Apa yang engkau miliki untuk mahar?"
Saat Imam Ali meminang Sayyidah Fathimah, dalam hadits yang diriwayatkan lkrimah, Rasulullah SAW bertanya, "Apa yang engkau miliki untuk mahar?"
"Aku tidak mempunyai apa-apa untuk diberikan sebagai mahar, ya Rasul," jawab Sayyidina Ali sambil tertunduk.
Sambil tersenyum Rasulullah bersabda, "Bukankah engkau mempunyai sebuah baju besi pemberianku?"
Sayyidina Ali menjawab, "Ya, aku punya."
Pahlawan muda Islam itu pun lalu memberikan baju besi kesayangannya sebagai mahar bagi Sayyidah Fathimah. Sayyidina Ali juga menjual seekor unta dan sebagian hartanya dengan nilai 480 dirham, untuk dibelikan wewangian dan barang kebutuhan rumah tangga.
Pernikahan Sayyidah Fathimah dan Sayyidina Ali dirayakan dengan sederhana. Jamuannya makanan dari gandum dan daging domba, sumbangan orang-orang Anshar. Pada malam pemikahan mereka, menurut Buraidah, Rasulullah SAW meminta bejana dan berwudhu dari bejana itu kemudian menuangkan airnya ke tubuh Sayyidina Ali.
Kemudian, beliau berkata, "Ya Allah, berkahilah mereka beserta keturunannya, dan limpahkanlah karuniaMu atas mereka."
Hari-hari seusai pernikahan dilalui keluarga muda itu dengan penuh kesederhanaan. Mereka tidur di atas kulit domba dengan bantal berisi jerami. Perabot rumah tangga yang dimiliki putri Rasulullah itu hanya alat penggiling gandum, bejana air, dan dua kantung kulit dari air.
Sayyidah Fathimah bahkan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangganya sendiri. Suatu hari Sayyidina Ali berkata kepada Sayyidah Fathimah, "Demi Allah, aku telah menimba air sampai dadaku sakit. Allah telah memberikan kepada ayahmu tawanan perang, pergi dan mintalah kepada beliau seorang pelayan."
Sayyidah Fathimah pun berkata, "Demi Allah, aku juga telah menumbuk gandum sampai tanganku lecet."
Kemudian, Sayyidah Fathimah berangkat me¬nemui Rasulullah. Namun, ketika sampai di hadapan ayahandanya, dia merasa segan mengemukakan maksudnya. Sayyidah Fathimah pun akhirnya pulang kembali dengan tangan hampa.
Setiba di rumah, Sayyidina Ali membujuk istrinya lagi untuk kembali menghadap Rasulullah. Sayyidah Fathimah enggan, kecuali jika sang suami mau menemaninya. Akhirnya, pasangan shalih itu menghadap Rasulullah SAW lagi dan mengutarakan maksudnya. Tetapi, Rasulullah SAW menolak permintaan mereka. Sayyidah Fathimah dan suaminya pulang dengan tangan hampa.
Pada malam harinya, saat keduanya sudah akan tidur, Rasulullah mendatangi mereka. Saat mereka akan bangkit, Rasulullah melarangnya. Beliau bersabda, 'Tetaplah di situ. Maukah kalian kuajari se¬suatu yang lebih baik dari yang kalian minta tadi siang?"
'Tentu saja," jawab keduanya bersamaan.
"Sesuatu itu adalah beberapa kalimat yang diajarkan Jibril kepadaku. Setiap selesai shalat, ucapkanlah sub-hanallah sepuluh kali, Alhamdulillah sepuluh kali, dan Allahu akbar sepuluh kali. Dan ketika kalian beristirahat di tempat tidur, ucapkanlah Sub-hanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 33 kali," sabda Baginda Nabi.
Demikianlah, rumah tangga yang berawal di bulan Shafar itu sangat berlimpah keberkahan, meski tak kaya harta. Dari pernikahan yang berlangsung selama sebelas tahun itu, lahir beberapa anak: Al-Hasan, Al-Husein, Muhassin (wafat masih kecil), Ummu Kultsum, dan Zainab. Dari keturunan merekalah, lahir para pembela dan penyebar agama Allah ke seluruh du¬nia, hingga saat ini. Sayyidah Fathimah wafat, enam bulan setelah ayahandanya berpulang. Semoga rahmat dan keridhaan Allah senantiasa menyertai mereka dan keturunan mereka. Amin.
Al Kisah
Posting Komentar