Mengucapkan selamat natal itu
sebenarnya punya makna yang mendalam dari sekadar basa-basi antar agama. Karena
setiap upacara dan perayaan tiap agama memiliki nilai sakral dan berkaitan
dengan kepercayaan dan akidah masing-masing. Oleh sebab itu masalah mengucapkan
selamat kepada penganut agama lain tidak sesedarhana yang dibayangkan.
Sama
tidak sederhananya bila seorang mengucapkan dua kalimat syahadat. Betapa dua
kalimat Syahadat itu memiliki makna yang sangat mendalam dan konsekuensi hukum
yang tidak sederhana. Termasuk hingga masalah warisan, hubungan suami istri,
status anak dan seterusnya. Padahal hanya dua penggal kalimat yang siapa pun
mudah mengucapkannya.
Demikian pula pengucapan tahni`ah
(ucapan selamat) natal kepada Nashrani juga memiliki implikasi hukum yang tidak
sederhana. Memang benar bahwa kaum muslimin menghormati dan menghargai
kepercayaan agama lain bahkan melindungi mereka yang zimmi. Tetapi yang perlu
diperhatikan adalah manakah batasan hormat dan ridha dalam masalah ini. Antara
hormat dan ridha jelas tidak sama. Ridha adalah suatu hal dan ridha adalah yang
lain.
Kita memang harus menghormati
Nasrani karena memang hal itu merupakan kewajiban. Hak-hak mereka kita penuhi
karena itu kewajiban. Tapi memberi ucapan selamat, ini mempunyai makna ridha, artinya
kita rela dan mengakui apa yang mereka yakini. Ini sudah jelas masuk masalah
akidah. Dan inilah yang namanya batasan yang jelas yang tidak boleh sekali-kali
dikaburkan.
Bila kita tidak mengucapkan
selamat natal bukan berarti kita tidak ingin adanya persaudaraan dan perdamaian
antar penganut agama. Bahkan sebenarnya tidak perlu lagi umat Islam ini diajari
tentang toleransi dan kerukunan.
Adanya orang Nasrani di Republik ini dan bisa
beribadah dengan tenang selama ratusan tahun adalah bukti kongkrit bahwa umat
Islam menghormati mereka. Toh mereka bisa hidup tenang tanpa kesulitan.
Bandingkan dengan negeri di mana umat Islam menjadi kelompok minoritas.
Bagaimana ummat Islam diteror, dipaksa, dipersulit, diganggu dan dianiaya. Dan
fakta-fakta itu bukan isapan jempol. Hal itu terjadi dimana pun umat Islam yang
minoritas, baik Eropa, Amerika, Australia dan sebagainya.
Walhasil, tidak mengucapkan
selamat natal itu justru toleransi dan saling menghormati akidah masing-masing.
Dan sebaliknya, saling memberi ucapan selamat justru menginjak-injak akidah
masing-masing karena secara sadar kita melecehkan akidah yang kita anut.
Demikian pula halnya dengan doa
bersama lintas agama yang akhir-akhir ini juga makin marak. Bahwa toleransi
yang ditolelir adalah bentuk toleransi dalam wilayah sosial kemasyarakatan.
Berdoa sejatinya bukan masalah sosial, melainkan justru merupakan intisari
sebuah ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana sabda Nabi:
Rasulullah bersabda, “Doa adalah intisari ibadah.” (HR. Imam Tirmidzi).
Orang yang berdoa kepada Tuhannya,
pasti dia meyakini bahwa Tuhannya adalah yang haq dan yang bisa mengabulkan
permintaannya. Jadi, jika dalam forum doa bersama itu seorang Nasrani berdoa
menurut keyakinannya dan orang Islam meng-amininya itu sama halnya orang Islam
tersebut telah meyakini kepercayaan orang Nasrani, begitu juga sebaliknya.
Wallahu a’lam bish showab.
KH. Ihya’ Ulumuddin, Pengasuh
PP. al-Haromain Pujon, Malang, Jatim
Beliau alumni Sayyid al-Maliki Makkah, dan PP. Langitan Tuban
Beliau alumni Sayyid al-Maliki Makkah, dan PP. Langitan Tuban
Posting Komentar